Dara anak seorang pembantu di jodohkan dengan seorang pewaris tunggal sebuah perusahaan karena sebuah rahasia yang tertulis dalam surat dari surga.
Dara telah memilih, menerima pernikahannya dengan Windu, menangkup sejumput cinta tanpa berharap balasannya.
Mampukah Dara bertahan dalam pernikahannya yang seperti neraka?
Rahasia apa yang ada di balik pernikahan ini?
Mampukah Dara bertahan dalam kesabaran?
Bisakah Windu belajar mencintai istrinya dengan benar? Benarkah ada pelangi setelah hujan?
Ikuti kisah ini, dalam novel " Di Antara Dua Hati"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suesant SW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 TENGGANG WAKTU PERPISAHAN
"Aku tak melakukan apa-apa." Dara menjawab dengan sedikit gentar.
"Kamu tak melakukan apa-apa, tapi kamu berada di kamarku tadi malam." Windu mengangkat telunjuknya.
Dara terdiam, dia tak tahu harus menjawab apa.
"Kenapa kamu berada di kamarku?" Tanya Windu dengan mata terpicing.
"Aku...aku...."
"Kamu memperdayaku saat mabuk, ya kan?" Nada menuduh itu membuat Dara mual mendengarnya.
"Aku tidak melakukannya!" Dara menyahut, nadanya menjadi sedikit tinggi, rasa kesalnya atas sikap Windu terasa sampai ke ubun-ubun.
"Lalu ini apa?" Windu mengacungkan sebuah benda, yaitu bra berwarna coklat muda.
Dara terperangah melihat bra miliknya itu.
"Kenapa barang ini berada di atas tempat tidurku saat aku bangun pagi ini dalam keadaan tidak berpakaian?"Tuduh Windu.
Dara tidak menjawab, mukanya merona.
"Ini milik siapa?" Tanya Windu lagi.
"Itu..." Dara semakin salah tingkah dengan pias benar-benar malu luar biasa.
"Ini milikmu, kan?" Windu bertanya dengan senyum sinis yang sangat mengejek.
"Ini hanya salah faham!"sahut Dara dengan suara tinggi. Dia yang semula terduduk di atas tempat tidur Windu beranjak dari sana lalu dengan segenap kekuatan berdiri di depan Windu.
"Salah faham? Salah faham macam apa yang membuatku suka rela menyentuhmu?"Cecar Windu, benar-benar bersikeras mempermalukan Dara.
"Kamu yang memaksaku!"Entah datang dari mana keberanian itu, sekarang Dara menjawab dengan tegas, wajahnya mendonggak menatap langsung ke mata Windu yang tak berkedip memandanginya.
"Aku memaksamu? kenapa aku tidak ingat apa-apa jika aku telah memaksamu?"Windu maju selangkah, Dara hendak mundur tapi terhalang tempat tidur. Akhirnya dia berdiri di depan Windu tak bergerak sama sekali karena terjebak di sana, membiarkan Windu berdiri hanya beberapa jengkal dari hadapannya.
"Karena kamu melakukannya dalam keadaan mabuk." Sahut Dara, gadis kecil itu mendonggak tak bergerak dari tempatnya berdiri, seolah sekarang tak lagi gentar.
"Mustahil!"Sergah Windu.
"Aku bersumpah, kamu mabuk tadi malam, masuk ke kamar ini saat aku memeriksa semua keperluanmu seperti biasa."Suara Dara memang gemetar tapi sekarang sudah kehilangan rasa takutnya lagi.
"Kamu berbohong."Hardik Windu, dia tidak suka dengan cara Dara menatapnya.
"Aku tidak berbohong!"Dara sekarang benar-benar ingin membela dirinya. Dia ingat bagaimana Windu telah mempermalukannya berkali-kali.
Dan sekarang dia bermain drama, membuat dirinya seperti korban di depan Dara, supaya perempuan itu lebih malu lagi.
Dara mulai mengerti sekarang, Windu melakukannya untuk membuatnya menyerah pada pernikahan mereka.
"Lalu kenapa kamu membiarkanku melakukannya? bukankah kamu bisa melawanku? bukankah kamu bisa menolaknya?" Windu mencibir dengan raut mengejek. Wajah Windu dari dekat memang luar biasa tampan, tapi kelakuan laki-laki ini benar-benar kurang ajar terhadap Dara, yang notebene adalah istrinya sendiri, suka atau tidak.
Dara terdiam, bibirnya gemetar, meski kepalanya mendonggak seakan ingin menyangkal semua tuduhan padanya.
"Aku tak bisa apa-apa."Kalimat pendek itu terdengar lirih, keluar dari bibirnya yang pucat.
"Alasan klise!"
Wajah mereka begitu dekat, sangat dekat. Windu seolah berusaha mengintimidasi Dara, membuat gadis itu ketakutan padanya.
"Aku terlalu takut padamu..." Sahut Dara kemudian, membuat sesungging senyum tipis di bibir Windu.
"Aku ternyata tidak salah menilaimu." Windu mencibir sambil mundur dengan jengah. Entah mengapa, tatapan Dara membuatnya sedikit terganggu.
"Kamu boleh menilaiku apa saja..." Rasa sakit yang mendera hati Dara bergelora mencapai puncaknya
Dara tahu, dia benar-benar menyukai Windu, sangat menyukainya. Dia menerima pernikahannya itu selain karena mama Windu sangat bersikeras juga karena dia telah berjanji di depan perempuan baik hati itu untuk menjaga Windu.
Tapi apa yang lebih dari sebuah janji? Ya, Dara menerimanya karena dia menyimpan perasaan cinta diam-diam pada lelaki yang di layaninya hampir empat tahun ini sebagai pelayan tuan muda itu.
Sekarang, apakah cinta menjadi sangat penting saat dirinya begitu direndahkan?
Dara mulai meragukan apakah dirinya akan bertahan dengan pernikahannya ini jika Windu benar-benar bersikap seperti ini terus menerus.
"Aku peringatkan kepadamu, kita tidak di takdirkan untuk hidup bersama. Jangan pernah bermimpi bisa menjadi istriku yang sesungguhnya." Windu mundur lagi, beberapa langkah. Dia merasa tak nyaman melihat gadis yang biasanya polos dan pendiam itu tiba-tiba menjadi sedikit menentang.
"Aku tidak pernah memimpikan apapun dalam hidupku, karena aku tahu siapa diriku." Dara mendesis dengan wajah merah padam.
"Jika kamu tidak pernah memimpikan apapun, apa arti pernikahan kita ini bagimu?" Tanya Windu tajam.
"Tahu kah kamu? Aku tak pernah berharap menikah dengan puteri seorang pelayan rumahku. Dan tidak sekalipun aku bermimpi untuk mempunyai isteri yang tidak selevel denganku."
Kata-kata Windu itu seperti hujaman di ulu hati Dara. Memakan seribu penghinaan dari orang yang dicintainya tentu lebih menyakitkan dari pada di hina oleh musuh yang dia benci.
Perlahan air mata Dara turun dari matanya yang bening itu, dia ternyata tak bisa memenuhi janjinya pada mama Windu untuk menjadi istri bagi anaknya itu.
Ku kira aku bisa bertahan dengan semua penghinaan ini, tapi ternyata tidak. Mungkin aku bahkan tak bisa melewati satu purnama untuk menjadi istrimu, yang lebih kejam dari kematian adalah mencintai tapi tidak di perdulikan!
"Aku beri waktu padamu enam bulan untuk mempersiapkan perceraian kita." Kata Windu dengan senyum sinis.
Dara sejenak terdiam, dia sedang bertanya pada dirinya sendiri apakah dia akan sanggup bersabar untuk hari itu.
"Tidak perlu menunggu selama itu,"Akhirnya Dara angkat suara.
"Aku akan meminta perceraian denganmu, dalam tiga bulan ini. Biarkan aku memenuhi janjiku pada mama, setidaknya sampai bunga di atas makamnya layu." Kalimat itu perlahan saja, namun penuh keyakinan.
"Aku tidak akan menghancurkan mimpi-mimpimu, tuan muda Windu. Setelah hari ini tuan muda tidak perlu melihatku lagi jika tidak mau. Aku akan mengirim seorang pelayan untuk mengurus keperluanmu." Air mata Dara mengalir hangat melewati pipinya yang terasa dingin.
Dengan badan yang gemetar dia melangkah melewati Windu.
Saat hendak melewati pintu, Dara membalikkan badannya. Menatap punggung Windu yang seperti membeku berada di tempatnya berdiri.
"Oh, iya tuan muda. Aku tidak akan muncul di depanmu lagi, bahkan untuk berada di meja makanpun, tuan Windu tak perlu pergi karena muak melihat wajahku!"
Kata-kata terakhir itu terdengar begitu mengiris dan terluka.
Tapi belum sempat Dara mencapai pintu, tiba-tiba saja kepalanya terasa sangat berat, matanya berkunang-kunang, badannya terasa lemas tak bertenaga, kamar itu terasa berputar-putar dan di detik berikutnya Dara terjatuh di atas lantai marmer kamar Windu.
Gadis itu pingsan tepat di depan pintu kamar yang belum sempat terbuka.
(Bagaimana kisah selanjutnya, ikutilah kisah Windu dan Dara ini pada bab berikutnya, jangan lupa dukungan like, komen dan Vote serta hadiahnya, yaaaa☺️)
...Terimakasih sudah membaca novel ini❤️...
...VOTE, LIKE dan KOMEN kalian selalu author nantikan😊...
...I love you all❤️...
Terimakasih
Rangkaian katanya indah tapi mudah dimengerti.
Karakternya tokoh2nya kuat,
Alurnya jelas, jadi tidak melewatkan 1 kalimatpun,
Sekali lagi Terimakasih 🙏🙏🙏🙏🙏
author pandai merangkai kata.
tapi tak pandai memilih visual windu, ga cocok tor sama dara haha maap ya tor 🙏