NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Antara Tenang dan Gelisah

Pagi itu, Wijaya bangun tanpa rasa berdenyut di kepalanya.

Masih ada sisa pegal di leher dan bahu, tapi dunia tidak lagi berputar. Ia duduk perlahan di tepi dipan, mengatur napas. Cahaya matahari menyelinap lewat celah dinding kayu, jatuh di lantai tanah yang dingin.

Ia berdiri. Kakinya mantap.

Dari dapur terdengar bunyi piring dan suara Ibu Surti yang sedang menanak nasi. Lia melintas sebentar, berhenti ketika melihatnya berdiri.

“Kamu sudah bangun?” tanyanya, nada suaranya menahan cemas.

Wijaya mengangguk. “Kepalaku tidak sakit lagi.”

Lia mendekat, menatap wajahnya seolah mencari sisa pucat. “Jangan memaksakan diri.”

“Aku tidak memaksakan,” jawab Wijaya pelan. “Aku hanya… ingin kembali berguna.”

Kalimat itu membuat Lia terdiam. Ia tahu, bagi Wijaya, sembuh bukan soal badan semata—tapi soal harga diri.

“Tidak usah terburu-buru,” ujar Pak Wiryo sambil menyerahkan sabit kecil. “Kerja di sawah itu bukan soal cepat, tapi sabar.”

Wijaya mengangguk. Kata sabar terasa asing namun menenangkan. Ia mengikuti langkah Pak Wiryo menuju sawah, menyusuri pematang yang dulu menjadi tempat ia ditemukan—tempat yang tak pernah ia ingat, tapi selalu memberinya rasa berdebar setiap kali melintas.

Lia berjalan di belakang mereka, membawa bekal makan siang. Ia memperhatikan Wijaya diam-diam. Ada perubahan kecil pada pria itu. Cara ia menatap sekitar, cara ia tersenyum pada orang-orang desa—lebih hidup dibanding hari-hari awal.

“Mas Wijaya!” sapa seorang petani tua.

“Pagi, Pak,” jawab Wijaya, sedikit kaku tapi tulus.

Nama itu kini tidak lagi terasa asing.

Di sawah, Wijaya bekerja perlahan. Tangannya lecet, punggungnya pegal, namun ia tidak mengeluh. Saat matahari mulai naik, ia berhenti sejenak, menatap hamparan hijau di depannya.

Entah kenapa, dadanya terasa penuh.

“Capek?” tanya Lia saat mengantarkan air minum.

Wijaya menggeleng. “Aneh. Badan capek, tapi kepala terasa… tenang.”

Lia tersenyum. “Mungkin karena kamu mulai menemukan tempatmu.”

Wijaya menatap Lia lama. Ada kata-kata yang ingin ia ucapkan, tapi tertahan di ujung lidah. Ia hanya tersenyum kecil dan kembali bekerja.

Di waktu yang hampir bersamaan, di sebuah gedung tinggi berlapis kaca, suasana justru jauh dari kata tenang.

Ruang rapat Kusuma Group dipenuhi wajah-wajah serius. Layar besar menampilkan grafik dan angka, namun perhatian semua orang tertuju pada satu kursi kosong di ujung meja.

Kursi CEO.

Kevin Kusuma duduk tegak di kursi sebelah kanan Ardian. Jasnya rapi, ekspresinya tenang. Terlalu tenang.

“Kita tidak bisa menunggu lebih lama,” ujar salah satu direktur. “Perusahaan butuh kepastian kepemimpinan.” imbuhnya.

Ardian Kusuma mengatupkan rahangnya. “Anak saya belum ditemukan.”

“Kami mengerti secara personal,” sahut yang lain hati-hati, “tapi secara bisnis...”

“Cukup,” potong Ardian tajam.

Ruangan menjadi hening.

Kevin akhirnya angkat bicara. “Aku tidak berniat menggantikan siapa pun.” Suaranya terdengar rendah dan terkendali. “Aku hanya memastikan perusahaan tetap berjalan.”

Beberapa orang mengangguk setuju.

Ardian menatap Kevin lama. “Ini hanya sementara.” sebuah kalimat halus dan juga menusuk.

“Tentu,” jawab Kevin singkat.

Di sudut ruangan, Ana Kusuma duduk diam. Tangannya menggenggam sapu tangan. Ia tidak ikut rapat, tapi tidak sanggup tinggal di rumah. Setiap keputusan yang diambil terasa seperti menjauhkan dirinya dari anak yang belum ia temukan.

Setelah rapat usai, Ana menghampiri Kevin di lorong.

“Kamu kelihatan baik-baik saja,” ujarnya pelan.

Kevin tersenyum tipis. “Harus begitu.”

Ana menatapnya lekat. “Kalau suatu hari Krisna kembali...”

Kevin menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya. “Kalau dia kembali, aku akan menyerahkan semuanya, Mama Ana.”

Jawaban itu terdengar sempurna dan melegakan.

Namun Ana tidak tahu kenapa, hatinya justru terasa dingin.

Asti, ibunya Kevin merasa tidak tenang dengan jabatan sementara itu, meski sebelumnya dia telah berusaha menyakinkan Ardian untuk mengangkat Kevin menjadi CEO.

Asti memasuki ruang kerja Ardian, dengan kepercayaan diri yang tinggi. Dia duduk di sebelah Ardian, dan memandang suaminya dengan mata yang tajam.

"Ardian, kita harus bicara tentang Kevin," kata Asti, suaranya tegas. "Kita harus memutuskan siapa yang akan menjadi CEO baru."

Ardian memandang Asti, dengan ekspresi yang serius. "Aku tahu, Asti. Aku sudah memikirkannya."

Asti tersenyum, merasa bahwa dia memiliki kesempatan untuk meyakinkan Ardian. "Kevin adalah pilihan yang tepat, Ardian. Dia memiliki kemampuan dan pengalaman yang dibutuhkan untuk memimpin perusahaan ini."

Ardian mengangguk, tapi Asti bisa melihat keraguan di matanya. "Aku tahu, Asti. Tapi, aku masih memiliki keraguan tentang kemampuan Kevin."

Asti memegang tangan Ardian, dengan mata yang memohon. "Percayakan pada Kevin, Ardian. Dia akan membuat perusahaan ini menjadi lebih besar dan lebih sukses."

Ardian memandang Asti, dengan ekspresi yang lembut. "Aku percaya padamu, Asti. Jika kamu yakin bahwa Kevin adalah pilihan yang tepat, maka aku akan mempercayakannya juga."

Asti tersenyum, merasa bahwa dia telah mendapatkan apa yang dia inginkan. "Terima kasih, Ardian. Kamu tidak akan menyesali keputusan ini."

Dan faktanya, ketika Kevin berada di ruangan rapat, hanya status sementera yang tersemat. "Ini sudah bagus, selangkah lagi jabatan itu sepenuhnya akan menjadi milik putraku." pikir Asti.

Sore hari di desa, Wijaya pulang dengan tubuh penuh lumpur dan senyum kecil yang jarang terlihat sebelumnya. Bu Surti tertawa melihat keadaannya.

“Seperti orang baru belajar hidup,” katanya sambil menyerahkan handuk.

“Mungkin memang begitu,” jawab Wijaya jujur.

Malam turun perlahan. Setelah makan malam, mereka duduk di teras rumah. Angin membawa aroma sawah yang basah.

“Lia,” panggil Wijaya pelan.

“Hm?”

“Apa kamu pernah menyesal menolong orang asing sepertiku?”

Pertanyaan itu membuat Lia terdiam. Ia menatap langit gelap beberapa saat sebelum menjawab.

“Kalau aku tidak menolongmu hari itu,” katanya, “aku yang akan menyesal seumur hidup.”

Wijaya tersenyum. Senyum yang membuat dadanya terasa hangat, sekaligus takut.

Takut karena rasa itu tumbuh terlalu cepat.

Malam semakin larut. Saat semua terlelap, Wijaya kembali terbangun. Kali ini lebih buruk.

Kepalanya berdenyut keras. Napasnya memburu. Dalam gelap, bayangan datang lebih jelas—lampu mobil menyilaukan, suara keras, tangan menarik paksa.

Ia memegangi kepalanya, menahan erangan.

Di kamar sebelah, Lia terbangun. Ia berdiri di ambang pintu, ragu sejenak, lalu masuk.

“Kamu kenapa?”

Wijaya menggeleng, suara parau. “Aku… takut.”

Lia duduk di tepi dipan. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan tangannya di lengan Wijaya. Sentuhan sederhana itu membuat napas Wijaya perlahan tenang.

“Kalau kamu belum siap ingat,” kata Lia lembut, “tidak apa-apa.”

Wijaya menatapnya. “Kalau ingatanku kembali, dan aku bukan orang yang pantas untukmu?”

Lia menggeleng pelan. “Kita hadapi nanti. Bersama.”

Kata bersama itu bergetar di udara.

Di kota, Kevin berdiri di depan jendela kantornya. Lampu-lampu malam berkilau seperti bintang palsu. Di tangannya, sebuah laporan orang hilang tergeletak.

Belum ada petunjuk.

Ia tersenyum tipis.

“Teruslah hilang,” gumamnya pelan.

Di desa, Lia mematikan lampu kamar Wijaya. Sebelum menutup pintu, ia menoleh sekali lagi.

Ia tidak tahu bahwa ketenangan yang mereka bangun perlahan itu sedang diamati dari jauh.

Tidak tahu bahwa dunia yang ditinggalkan Wijaya suatu hari akan datang menagih.

Di antara tenang dan gelisah, takdir terus bergerak—pelan, tapi pasti.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!