Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.
Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Kehidupan Raisa
“Pak tunggu sebentar ya, mau ketemu orang sebentar di dalam.”
Mobil yang disopiri oleh Pak Dadang berhenti di parkiran rumah sakit. Tentu saja rumah sakit tersebut sudah familier bagi Raisa, tempat dia dirawat. Baik jiwa dan raganya.
Langkah kaki Raisa menyusuri koridor rumah sakit. Aroma obat-obatan menyeruak menusuk indra penciuman. Tempat yang pertama dia datangi adalah ruangan di mana raganya berada. Belum sampai meraih tempat ruangan dia berada, Raisa berhenti. Dari jarak kurang dari tiga meter dia mampu melihat seorang perempuan dan laki-laki duduk bersandingan sedang mengobrol. Wajahnya terbaca sarat akan kepenatan.
Raisa langsung murung ketika melihatnya. Dua orang tua itu adalah orang tuanya.
Ingin sekali dia merengkuh raga mereka dan teriak sekencang-kencangnya, bilang kalau dia rindu.
"Mbak nyari siapa, ya?"
Suara yang Raisa kenali terdengar oleh telinganya. Ibunya dari tempatnya menatap penuh keramahan.
"Mbak apa temannya Raisa juga?"
"Erm...," gumamnya, memikirkan kata apa yang harus dia ucapkan. "Bukan, Bu. Saya lagi nungguin temen kontrol, dia baru diperiksa jadi karena bosen saya keliling dulu sebentar, liat-liat aja," bohong Raisa. Tanpa sadar dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Oalahh, begitu ya... Sini, Mbak, bisa duduk bareng saya. Biar nggak bosen-bosen lagi dan ada temen nunggunya."
Memang itulah tujuan sebenarnya Raisa ke sini.
Tentu saja dengan semangat penuh Raisa mendekati ibunya. Mereka duduk berdampingan.
"Pak, itu buah sama bolu yang dikasih temennya Raisa tadi bawa ke sini biar kakak cantik ini juga ikutan makan."
Dua kotak masing-masing berisi buah potong beraneka macam dan bolu cokelat terhidang di hadapan Raisa. Dia mengangguk dan mengambil sepotong bolu yang disodorkan padanya.
"Terima kasih, Bu."
"Sama-sama, Mbak."
Sejak tadi dia duduk tidak pernah sekalipun mata Raisa menghentikan lirikan pada kedua orang tuanya. Mata sayu menghiasi wajah mereka. Kerutan di dahi semakin kentara. Hari ini dia kembali tersadar bahwa orang orang tuanya menua.
"Temannya cewek apa cowok, Mbak?" Pertanyaan terlontar, kali ini muncul dari ayahnya.
"Cowok, Pak." Mendengar itu ayahnya mengangguk, mengerti.
"Kita di sini baru nunggu anak, Mbak." Raisa terperangah, tidak menyangka akan secepat itu topik ini dibawa. "Itu, anak kita ada di situ. Ngeyel banget dia udah saya sama istri ajak ngobrol tiap hari, minta tolong buat cepat sadar. Nggak tahu kenapa dia nggak dengerin kita." Ayahnya berbicara. Mendengar itu membuat bolu yang ada di tenggorokannya susah untuk tertelan. Dia tertohok.
"Doa-in ya, Mbak. Anak kita segera sadar dari komanya. Kasihannn sekali, dia diumurnya yang menginjak dua puluh empat tahun tidak sempet pulang buat rasain yang udah saya siapin." Kali ini giliran ibunya yang menyambung.
"Semoga, Bu. Anaknya semoga segera bangun dan bisa kumpul lagi."
Ibunya menatap dia, pandangan mereka bertemu. "Terima kasih, Mbak."
"Sama-sama, Ibu."
...****************...
Kali ini Raisa sudah kembali ke dalam mobil. Sejak tadi keluar dari pintu rumah sakit air matanya lolos seketika tanpa ada rem. Sesekali Pak Dadang menanyai kondisinya tetapi Raisa memilih tidak menjawab. Ingatannya terputar kembali kepada kalimat yang dilontarkan oleh kedua orang tuanya. Seumur-umur dia tidak tahu bahwa ayah dan ibunya ternyata memikirkan dia sebegitunya.
"Saya tuh bangga sama anak saya, Mbak. Karena dia sudah mampu bertahan sejauh ini, saat dunia sering kali tidak berpihak kepada dia. Kalau saya lihat dia diam-diam menangis di kamarnya itu saya pengen banget meluk dan bilang kalau ayahnya ada buat dia. Tapi apalah, gengsi saya terlalu tinggi." Kalimat itu yang dia ingat, menempel di pikirannya dan tak mau pergi.
Saya bangga sama anak saya. Haha. Rasanya seluruh beban sedalam tulang rusuknya luruh seketika.
Saya bangga sama anak saya. Bahkan, Raisa asli yang belum jadi apa-apa saja bisa membuat ayahnya berkata demikian.
Sungguh, jika ada dia harus memilih, dia mau menjadi anak mereka lagi.
Selain pada kalimat itu, pikiran Raisa kembali pada saat netranya menangkap dan menyadari bahwa ada benda familier yang yakin sekali pernah dia lihat. Sebuah kotak. Kotak yang ada di sebelah ayahnya duduk. Adalah kotak yang sama yang dia temukan di kamarnya dan Ardan, yang dia lihat isinya sehingga membuat Ardan marah, dan kotak sama yang kemarin Ardan sembunyikan di belakang punggung saat melihatnya.
".... Pak, itu apa ya?"
Ayahnya langsung mengarahkan pandangan ke mana maksud Raisa. Saat menemukan apa yang dimaksud, benda itu langsung dibawa oleh ayahnya ke pangkuan. Membukanya.
"Oh, ini tadi dari teman anak saya. Sejak anak saya kecelakaan dia ada di sini nemenin terus, bahkan dari kemarin sampai hari ini." Kalimatnya terhenti. "Baru aja dia satu jam lalu pergi dan menitipkan ini ke saya, katanya buat Raisa, anak saya. Haha, ternyata anak saya punya temen seperhatian itu."
Mendengarnya Raisa langsung mengernyit. Teman? Seperhatian itu? Dan... Raisa juga yakin itu adalah Ardan, mengingat benda di pangkuan ayahnya adalah bukti. Seratus persen dia sangat yakin. Bertambah yakin saat ibunya melanjutkan.
"Teman yang sama, yang nabrak anak saya sih, Mbak."
Mendengar dan melihat itu banyak kalimat tanya yang muncul dalam benaknya. Sejak kapan Ardan jadi temannya? Raisa saja tidak tahu menahu soal dia sebelumnya. Dan... Sering menunggu raganya sadar? Kenapa begitu?
...****************...