NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 Ketika Dunia Baru Bertemu Kekacauan Lama

Hari kedua di kantor baru, suasana PT Global Teknologi Cabang Surabaya terasa jauh lebih hidup dari kemarin. Seperti tubuh yang baru mulai bernafas setelah tidur panjang, gedung itu kini benar-benar terisi — oleh tawa, langkah kaki, dan semangat muda yang menular.

Dari balik pintu kaca utama, terlihat karyawan berlalu-lalang membawa laptop, map proyek, dan cangkir kopi yang masih mengepulkan uap. Aroma biji kopi sangrai dari pantry di sudut ruangan bercampur dengan wangi kayu oak dari lantai baru yang masih berkilau. Suara keyboard yang ritmis berpadu dengan obrolan ringan — sebagian tentang sistem kerja baru, sebagian lagi tentang tempat makan siang yang direkomendasikan di sekitar kantor.

Dinding kaca besar di sisi selatan membiarkan cahaya matahari masuk, menebarkan warna keemasan yang memantul di permukaan meja-meja kerja putih bersih. Tanaman hijau di setiap sudut menambah kesan segar, sementara pendingin ruangan berhembus lembut, menjaga keseimbangan antara kehangatan suasana dan kenyamanan ruang.

Di antara semua itu, terdengar sesekali suara tawa kecil dari tim desain yang sedang berebut colokan listrik, seruan dari staf IT yang sibuk menyesuaikan jaringan server, dan derap langkah Bulan yang tenang tapi berwibawa, memeriksa satu per satu sudut ruangan sambil membawa clipboard di tangan.

Hari ini kantor benar-benar terasa hidup. Bukan hanya karena peralatannya aktif, tapi karena semangat dari orang-orang yang ada di dalamnya — semangat untuk memulai bab baru, di kota baru, dengan harapan yang sama besarnya dengan impian mereka sepuluh tahun lalu saat semuanya dimulai di Jakarta.

Dari luar jendela besar, langit Surabaya bersih — hari yang sempurna untuk memulai kerja sama besar pertama dengan Arjuno Group.

“Rapat koordinasi jam sebelas, kan?” tanya Liora sambil berjalan cepat menuju ruang meeting dengan tumpukan berkas di tangan.

“Iya,” jawab Bulan yang berjalan di sampingnya. “Arsen Pramudya dari Arjuno Group yang bakal datang.”

“Yang sekretarisnya Pak Bhumi?”

“Hmm.” Bulan mengangguk ringan. “Dia yang bantu koordinasi proyek digital hotel kemarin.”

Liora mengerjap dua kali, lalu senyum geli muncul. “Sekretaris CEO Arjuno? Biasanya sekretaris tuh kayak robot—dingin, efisien, gak banyak ngomong.”

Bulan menatapnya datar. “Lo lupa lo juga dulu nyebut diri lo robot waktu awal bikin perusahaan.”

Liora mengangkat dagu bangga. “Ya bedalah, gue robot versi lucu.”

Bulan hanya menatap tak percaya kalau Liora baru saja membanggakan dirinya sendiri. Apa dia bilang ‘robot versi lucu’, kalau saja tidak ada karyawannya hampir saja Bulan melayangkan jitakan pelan kearah Liora.

Ruang Meeting – Lantai 5

Ruangan meeting itu elegan: dinding kaca dengan tirai transparan, meja panjang warna abu muda, dan layar besar di sisi dinding yang menampilkan logo Global x Arjuno Integration Project. Di atas meja sudah ada tumpukan berkas presentasi dan dua cangkir kopi hangat yang baru diseduh.

Beberapa staf IT duduk di ujung meja, menyiapkan file presentasi. Bulan berdiri di sisi kanan layar, memeriksa pointer. Liora duduk di kursi ujung meja, menggulung lengan kemejanya dengan gaya santai tapi siap beraksi.

Pukul sebelas tepat, pintu kaca terbuka.Suara langkah sepatu terdengar, tegas tapi ringan.

“Selamat pagi,” suara seorang pria menyapa — hangat tapi tegas.

Semua kepala menoleh.

Masuklah Arsen Pramudya — tinggi, rapi, dengan senyum ramah di wajahnya. Kemeja putih digulung setengah lengan, dasi longgar di leher, tablet di tangan kanan. Auranya langsung mencuri perhatian: bukan CEO, tapi jelas seseorang yang tahu cara memimpin tanpa suara keras.

“Arsen Pramudya, dari Arjuno Group,” katanya sambil menjabat tangan Bulan dan Liora bergantian.

“Saya mewakili Pak Bhumi untuk koordinasi langsung terkait integrasi sistem digital hotel Arjuno.”

Bulan membalas jabatannya dengan sopan. “Rembulan pak Arsen, sepertinya kita sudah kenalan pas meeting dihotel.”

“Saya Liora Pak,” sambung Liora dengan nada percaya diri. “semoga koordinasi kali ini mencapai final ya pak sebelum tanda tangan kontrak.”

Arsen tersenyum tipis. “Senang bertemu lagi dengan ibu ibu sekalian. Sepertinya saya akan banyak berurusan dengan Anda berdua.”

“Berurusan atau berdebat?” celetuk Liora refleks.

Arsen menahan tawa. “Tergantung siapa yang mulai duluan.”

Dan seketika, ruangan itu seperti punya percikan kecil — bukan karena tegang, tapi karena dua energi besar baru saja saling mengenali medan perang masing-masing.

*

Setengah jam berlalu. Rapat berjalan... kalau bisa dibilang “berjalan.” Lebih tepatnya, setengah diskusi – setengah talkshow.

“Kalau sistemnya kita jalankan langsung di hotel Arjuno cabang Malang, apa error datanya bisa besar?” ujar Arsen, menatap layar.

Liora menggeleng cepat. “Justru cabang Malang paling aman karena servernya stabil. Kita udah uji coba dari Jakarta, hasilnya bersih.”

“Jakarta dan Malang gak bisa dibandingkan,” balas Arsen tenang. “Server load-nya beda.”

“Kalau gitu, kita atur hybrid dulu—setengah manual, setengah sistem digital,” selip Bulan lembut di antara mereka, mencoba menengahi.

Arsen menatap Bulan, lalu mengangguk kecil. “Boleh. Itu solusi yang realistis.”

Liora menatap mereka berdua, lalu mendengus. “Ya ampun, gini aja disetujuin pas lo yang ngomong, Bul. Kalau gue yang ngomong tadi dibilang ‘terlalu agresif’.”

Arsen nyengir kecil. “Mungkin karena cara penyampaiannya, bukan idenya.”

“Jadi anda nyindir saya?”

“Enggak, saya cuma observasi.”

“Observasi my foot,” gumam Liora pelan, tapi Bulan hanya menepuk pundaknya, menahan tawa.

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka pelan.

“Permisii~!” suara cerah yang langsung bikin suasana rapat buyar.

Semua kepala menoleh — dan muncul Lintang, dengan dua kantong besar di tangan dan senyum selebar mentari Surabaya.

“Bawain makan siang!” katanya semangat. “Ayam geprek, nasi uduk, sama sambal bawang favorit Kak Bul!”

Bulan langsung menepuk dahi. “Lintang… kamu bawa segini banyak?”

“Ya buat semua orang dong!”

“Ini rapat penting,” bisik Bulan, setengah malu.

“Lah makin penting dong! Kan semua orang butuh makan,” jawab Lintang polos.

Arsen yang dari tadi memperhatikan cuma bisa nyengir — separuh terhibur, separuh kaget.

“Wah, karyawannya Ibu Bulan, ya?” tanyanya ramah. “Saya Arsen.”

Lintang menatapnya dari ujung kaki sampai kepala, ekspresi penasaran banget.

“Ohhh... haloo om Arsen, saya Lintang”

Suasana langsung hening.Liora nyaris tersedak air putihnya.Bulan menahan napas. Dan Arsen… berhenti tersenyum.

“Om?” ulangnya pelan. “Saya… apa tadi?”

“Om Arsen,” ulang Lintang polos. “Soalnya, kayaknya umurnya jauh banget dari aku. Aku belum ada duapuluh tahun, berarti lo—eh, Bapak Arsen umur berapa?”

“Dua puluh sembilan,” jawab Arsen datar.

“Nah kan! Selisihnya sepuluh tahunan. Ya cocok banget dipanggil om.”

“Enggak cocok!” sergah Arsen cepat, matanya melebar. “Saya gak setua itu!”

Liora udah ketawa ngakak di kursi. “Wah, siang siang udah ada yang kena serangan umur.”

Arsen menatapnya dengan tatapan tolong jangan ikut-ikutan.

Lintang malah makin polos. “Tapi aku sopan lho manggil om. Daripada mas, nanti dibilang modus.”

“Saya gak peduli dibilang modus, asal jangan dipanggil om!”

Bulan menutup wajahnya dengan tangan, sementara Liora menepuk meja sambil menahan tawa.

“Lintang, please, itu tamu penting kakak.” Guman Bulan pelan menunduk kearah adiknya itu.

“Tapi mukanya lucu pas ngambek, Kak,” bisik Lintang ke Bulan.

Bisikan Lintang jelas terdengar di telinga Arsen dan Arsen hanya bisa menghela napas panjang. “Ini... bukan ngambek. Tapi Ini prinsip.”

Beberapa menit berikutnya, ruang meeting yang tadinya serius berubah total jadi arena komedi.

Lintang sibuk membagikan kotak makan ke semua orang yang ada disana sambil terus memanggil Arsen dengan “Om Arsen” setiap lima menit, dan setiap kali itu terjadi, Arsen langsung refleks membalas, “Jangan om!” dengan nada frustrasi tapi gak bisa marah sungguhan.

“Bu Bulan, emang karyawannya selalu ceplas ceplos begini ya?” tanya Arsen yang mulai jengah karena Lintang selalu memanggilnya dengan sebutan Om.

Bulan belum sempat menjawab, Lintang sudah bicara duluan “Aku bukan karyawan sini om, aku adiknya kak Bulan” ucap Lintang dengan polosnya.

Bulan tentu saja hanya bisa menutup setengah mukanya denagn sebelah tangannya. Malu melihat tingkah adiknya dan rasanya Bulan ingin menarik Lintang dari sana dan menguncinya diruangannya.

Liora, tentu saja, mencatat setiap momen itu di kepala dengan wajah curiga bercampur geli. Bulan menatap adiknya dan Arsen yang mulai berdebat kecil tentang sambal terlalu pedas atau enggak, lalu berbisik ke Liora, “Gue rasa lo gak perlu cari drama minggu ini. Kayaknya Tuhan udah nyediain didepan mata kita.”

Liora mengangguk dengan ekspresi puas. “Iya. Dan kayaknya bab pertama love-hate romcom baru aja dimulai.”

**

Sore merayap perlahan di langit Surabaya. Cahaya matahari berubah keemasan, menembus kaca tinggi lantai tiga puluh Arjuno Grand Hotel, memantul lembut di dinding ruangan Bhumi Jayendra. Suasana kantor mulai lengang. Beberapa staf sudah pulang, hanya tersisa suara lembut jam dinding dan dengung pendingin ruangan yang berputar stabil.

Bhumi duduk di balik meja kerjanya, kemeja hitamnya masih rapi, meski dasinya sudah ia longgarkan sedikit. Di meja, ada secangkir kopi yang sudah separuh dingin, beberapa dokumen proyek, dan layar tablet yang menampilkan jadwal rapat. Ia sedang membaca, tapi tatapannya tidak fokus — pikirannya melayang pada hal lain, seseorang yang diam-diam masih menempati pikirannya sejak makan siang dua hari lalu.

Rembulan Adreyna.

Nama itu datang lagi seperti gema yang lembut tapi sulit diabaikan.

Suara ketukan di pintu membuatnya menoleh.

“Masuk,” ucapnya tenang.

Pintu terbuka, dan Arsen masuk sambil membawa berkas tebal dan ekspresi puas.

“Laporan koordinasi dengan PT Global Teknologi sudah selesai, Pak,” katanya, menaruh dokumen di atas meja.

Bhumi menatap sekilas. “Bagus. Gimana hasilnya?”

Arsen berdiri tegak, suaranya terdengar profesional — tapi ada sesuatu yang samar berubah di nada suaranya. “Koordinasinya berjalan lancar. Semua sistem sudah disetujui kedua pihak. Mereka cepat tanggap dan rapi banget, terutama Bu Rembulan.”

Bhumi berhenti mengetik. Matanya sedikit terangkat dari layar. Nada lembut itu — cara Arsen mengucapkan nama itu dengan suara yang seolah meluruh dari ketegasan — tak luput dari perhatiannya.

“Rembulan,” ulang Bhumi pelan. “Gimana menurut kamu?”

Arsen berpikir sebentar, lalu menjawab dengan nada jujur tapi hati-hati. “Profesional, tapi hangat. Tegas, tapi enak diajak diskusi. Beda dari kebanyakan rekan kerja yang pernah saya hadapi.”

Senyum kecil muncul di ujung bibirnya, seolah ia baru sadar kalau barusan memuji terlalu jujur.

“Intinya, Pak… koordinasi mereka efisien. Rasanya kayak kerja sama orang yang udah ngerti ritme kita.”

Bhumi menyandarkan diri ke kursinya, menyilangkan tangan di dada. Cahaya senja jatuh di wajahnya, memantulkan warna oranye ke mata gelapnya yang berkilat halus.

“Menarik,” gumamnya pelan.

“Semua sudah bersifat final,” lanjut Arsen cepat, mencoba kembali ke mode profesional. “Dalam tiga hari surat perjanjian kerja sama bisa ditandatangani. Saya sudah jadwalkan penandatanganannya di sini, di Arjuno Grand Hotel. Dan Mereka setuju.”

Bhumi mengangguk pelan. “Baik. Siapkan semua dokumen yang dibutuhkan. Pastikan legal dan administrasi ikut rapat final sebelum itu.”

“Sudah saya koordinasikan, Pak. Besok draft kontrak selesai.”

Hening sejenak. Hanya suara jarum jam yang terdengar, berdetak lambat.

Bhumi mengambil cangkirnya, menatap permukaan kopi yang sudah tak berasap.

“Arsen,” ucapnya kemudian, nadanya pelan tapi jelas.

“Ya, Pak?”

“Kalau kamu kerja sama orang yang bikin kamu ngerasa... tenang, kamu bakal tetep bisa fokus gak?”

Arsen menatapnya, sedikit bingung dengan arah pertanyaan itu.

“Tenang dalam arti… nyaman?”

“Ya.”

Arsen menimbang sebentar, lalu tertawa kecil. “Tergantung, Pak. Kalau tenangnya bikin produktif, saya pertahankan. Tapi kalau tenangnya malah ganggu fokus…” ia tersenyum nakal, “ya mungkin itu bukan tenang biasa.”

Bhumi ikut tersenyum samar, tapi matanya tak beranjak dari jendela.

Langit di luar berubah warna — dari oranye ke ungu lembut.

“Kadang,” katanya pelan, “tenang itu justru bikin bingung. Karena kamu gak tahu, itu ketenangan… atau awal dari sesuatu yang lebih ribut.”

Arsen terdiam. Ia bukan tipe orang yang sering lihat Bhumi berbicara dengan nada seperti itu — lebih reflektif, lebih manusiawi. Biasanya bosnya ini hanya bicara soal target, sistem, atau strategi. Tapi sore ini, ada sesuatu yang lain di udara.

Arsen tersenyum kecil. “Pak, kalau yang bikin ribut seindah yang ada dipikiran bapak, saya rasa gak apa-apa sih.”

Bhumi menatapnya sekilas, senyum samar di ujung bibirnya terbit. “Pergi sana, sebelum kamu tambah ngelantur,” ujarnya ringan.

Arsen terkekeh. “Siap, Pak. Tapi saya serius. Kayaknya isi kepala bapak lagi ribut banget, tapi yang saya liat ‘ribut’-nya ini bakalan seru pak.”

Ia menunduk hormat sebelum keluar ruangan, meninggalkan Bhumi sendirian lagi di ruang yang perlahan diselimuti cahaya senja.

Beberapa menit kemudian, Bhumi berdiri di depan jendela. Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya. Kota Surabaya tampak berkilau di bawah sana — lampu-lampu mulai menyala, seperti bintang yang jatuh ke bumi.

Ia menatap pantulan dirinya di kaca, lalu berbisik, “Dalam tiga hari…”

Senyumnya muncul perlahan, samar, tapi hangat. “...kita akan ketemu lagi, Rembulan.”

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Bhumi merasa menunggu sesuatu — bukan rapat, bukan laporan, bukan target.

Tapi seseorang.

**

tbc

1
Bia_
kasian si Arsen 🤣
Bia_
ow udah masuk konflik nih 🤭
KaosKaki
wk wk wk
Bia_
/Facepalm/🤣
Bia_
alurnya emang agak slow tapi Lumayan bagus, alur pdkt nya kaya di Real Life lambat tapi kena.
Bia_
suka banget pas adegan serangan hacker
Lacataya_: makasih yaaa, di bab bab selanjutnya juga ada serangan serangan manis kok 🤭
total 1 replies
Edna
Mantap!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
Khabib Firman Syah Roni
Jlebbbbb!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!