Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7: Kabar duka
Setelah seharian penuh menikmati perjalanan dan kegiatan mereka kemarin, kini Areum, Hassa, dan Revan mulai berkemas untuk kembali ke rumah masing-masing. Rasanya sudah cukup bagi mereka menjelajahi tempat wisata dan camping itu seharian penuh.
Namun, berbeda dengan Areum. Pagi itu, ia mendapat kabar yang menyayat hati — halmeoni-nya meninggal dunia. Kabar itu datang begitu mendadak hingga Areum sempat terpaku lama menatap layar ponselnya, tidak percaya pada kenyataan yang baru saja ia dengar. Air matanya menetes pelan, lalu tanpa pikir panjang ia segera bergegas pulang untuk memberi penghormatan terakhir.
Dengan perasaan berat dan wajah murung, Revan mengantarnya sampai ke depan rumah. Meski ia dan Hassa tidak ikut serta ke rumah duka, setidaknya mereka ingin memastikan sahabat mereka tiba dengan selamat.
“Eomma... Appa...” panggil Areum terbata-bata sambil berlari ke arah kedua orang tuanya yang tengah duduk di ruang tamu. Suasana di rumah sudah berubah muram. Aroma diffuser lembut memenuhi udara, dan kedua orang tuanya terlihat telah rapi dengan pakaian serba hitam.
“Akhirnya kamu datang juga. Kenapa lama sekali, Areum-ah?” ujar sang ibu dengan suara bergetar, menatap putrinya dengan mata sembap. Areum menarik napas panjang lalu memeluk keduanya erat, mencoba menahan sesak di dadanya.
“Kenapa semuanya bisa secepat ini, Appa...” lirihnya, suaranya hampir tak terdengar. Sang ayah mengelus rambut putrinya lembut, mencoba menenangkan.
“Tuhan sayang pada halmeoni-mu, itulah sebabnya Ia memanggilnya pulang lebih dulu, nak.” ujar nya yang membuat Areum hanya menunduk. Tangannya menggenggam erat ujung pakaian ayahnya.
“Eomma... Appa... kapan kita akan pergi?” tanyanya pelan, menatap wajah kedua orang tuanya bergantian.
“Bersiaplah dulu. Kami tunggu di sini, hm?” jawab sang ibu lembut, berusaha tersenyum walau wajahnya masih basah air mata.
Areum mengangguk, lalu beranjak ke kamarnya.
Beberapa saat kemudian, ia keluar dengan mengenakan pakaian hitam sederhana — blus lengan panjang dan rok hitam selutut. Rambut hitamnya dibiarkan terurai, hanya dijepit dengan hiasan berbentuk bintang kecil di sisi kiri, hadiah dari halmeoni-nya dulu. Jemarinya sempat menyentuh jepit itu sejenak, lalu ia tersenyum tipis sebelum melangkah tergesa ke arah kedua orang tuanya yang sudah menunggu di depan.
Meskipun hubungan Areum dengan halmeoni-nya tak terlalu dekat — karena mereka jarang berkunjung kecuali saat hari besar keluarga — tetap saja ia merasa kehilangan. Terlebih saat melihat ibu dan ayah-nya yang berusaha tegar meski jelas hati mereka tengah hancur.
“Aku sudah selesai, Eomma,” ujar Areum sambil mendekati kedua orang tuanya. Mereka segera bergegas keluar dari rumah. Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya, sisa hujan semalam masih menyisakan kabut tipis yang menggantung di halaman. Napas mereka tampak berembus putih di udara dingin awal musim gugur.
Areum berjalan mengikuti langkah ayahnya menuju mobil yang terparkir di halaman. Begitu pintu mobil terbuka, ia masuk dan duduk di kursi belakang sendirian. Sementara sang ibu duduk di kursi penumpang depan, menemani sang ayah yang kini bersiap menyalakan mesin mobil.
Mobil melaju perlahan menyusuri jalanan yang masih basah oleh sisa hujan semalam. Sinar matahari yang baru naik tampak malu-malu menembus awan abu tipis, menciptakan pantulan lembut di permukaan aspal yang licin. Di dalam mobil, keheningan terasa tebal; hanya suara desau angin pagi yang sesekali terdengar.
Areum menatap ke luar jendela, memperhatikan butiran air yang menetes dari ranting pohon. Kedua orang tuanya pun tak berkata apa-apa. Untuk pertama kalinya, Areum merasa canggung di antara mereka—seolah ada jarak halus yang membentang di udara.
Hingga akhirnya, keheningan itu dipecah oleh suara berat sang ayah.
“Kita mungkin akan menginap di sana. Banyak saudara yang mungkin datang juga, jadi mau tidak mau, kita harus bertemu mereka,” ucapnya sambil sekilas menatap sang istri. Sang ibu menghela napas pelan.
“Aku berharap ini selesai hari ini. Tapi kalau memang harus menginap, aku tidak keberatan… asal tidak ada masalah lain,” ujarnya lirih, suaranya terdengar sedikit bergetar.
“Mereka tidak akan datang, kurasa,” sahut sang ayah pelan.
Sang ibu hanya mengangguk kecil, seolah tak ingin memperpanjang percakapan itu.
Sementara itu, Areum hanya diam mendengarkan, tanpa benar-benar memahami maksud dari pembicaraan kedua orang tuanya.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya mobil keluarga Min tiba di rumah duka—sebuah aula kecil di kompleks kuil keluarga (사당 / sadang) yang terletak di pinggiran kota. Udara pagi yang lembap bercampur aroma dupa dan bunga krisan putih yang biasa digunakan dalam upacara duka di Korea.
Areum turun dari mobil dengan langkah perlahan. Suara gumaman pelayat dan lantunan doa terdengar samar, berpadu dengan rintik air yang menetes dari atap kayu tradisional ke batu paving di bawahnya. Suasana itu begitu khidmat, seolah seluruh dunia ikut berduka.
Begitu mereka melangkah masuk ke aula utama, aroma dupa dan bunga krisan segera memenuhi udara. Suasana begitu hening; hanya terdengar isakan pelan, desah napas tertahan, dan suara kayu lantai yang berderak setiap kali seseorang melangkah.
Di tengah ruangan, berdiri altar putih sederhana dengan foto ibu dari ayah Areum yang dibingkai hitam di bagian atas. Di bawahnya tersusun meja bertingkat tiga—tempat lilin menyala, mangkuk nasi putih dengan sumpit menancap di atasnya, serta setangkai bunga putih yang ditata rapi. Di samping altar, diletakkan mangkuk kecil berisi tteok dan buah pir sebagai persembahan—sebuah kebiasaan yang biasa dilakukan dalam upacara pemakaman di Korea.
Sang bibi berdiri di sisi altar, mengenakan hanbok duka berwarna putih gading, rambutnya terikat rapi, mata sembab dan semburat lelah masih terlihat jelas di wajahnya. Di sisi lain, suaminya—adik dari ayah Areum—terus membungkukkan badan dalam-dalam setiap kali pelayat datang memberi penghormatan.
Areum ikut menunduk hormat. Ia berjalan perlahan bersama Eomma dan Appa-nya, lalu memberi salam di hadapan altar.
“Berdoalah dalam hati. Ucapkan terima kasih pada almarhum,” bisik sang ibu lembut di telinganya.
Areum mengangguk pelan. Tatapan matanya tertuju pada foto neneknya. Ia tidak merasa memiliki ikatan yang kuat dengan wanita di foto itu—meski tahu bahwa wanita itu adalah ibu dari ayahnya. Seingatnya, ia hanya beberapa kali diajak bertemu dengan Halmeoni Min, itu pun sesekali. Setiap kali kedua orang tuanya berkunjung ke rumah nenek, ia justru sering ditinggal di rumah.
Namun begitu, Areum tetap menuruti arahan sang ibu. Ia menunduk dalam diam, menautkan jari-jari di depan dada. Dalam hatinya, ia berbisik pelan,
“Terima kasih... karena telah menjadi cahaya untuk Eomma dan Appa selama ini. Dan mungkin juga... untuk ku.” ujar nya dengan mata terpejam, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang samar—campuran rasa kehilangan dan rasa ingin mengenal sosok yang kini hanya tinggal dalam bingkai foto hitam putih itu.
Di sudut ruangan, satu per satu tamu datang—sebagian mengenakan jas hitam, sebagian lagi memakai hanbok formal berwarna putih dan abu-abu lembut. Suara isakan kecil terdengar di antara desah napas panjang, membuat udara semakin berat. Musik tradisional samhyeon yukgak (삼현육각) pelan mengalun dari pengeras suara kecil di sudut aula, menambah suasana muram yang menggantung.
Areum memperhatikan bibinya, So-yeon, berdiri tegak di dekat altar dengan kedua tangan terkepal rapat di depan tubuh. Wajahnya pucat, mata sembab, tapi dagunya terangkat seolah berusaha tetap kuat di tengah badai. Namun, Areum tahu—di balik tatapan itu, dunia bibinya sedang runtuh perlahan.
Melihat hal itu, Nam Hyerin melangkah mendekat, menunduk sopan sambil mengucapkan belasungkawa. Namun begitu mata mereka bertemu, Areum dapat melihat jelas bagaimana tatapan sang bibi berubah tajam—dingin dan penuh penolakan.
“So-yeon, aku turut berduka cita atas kepergian eomanim. Kepergiannya terlalu cepat untuk kita semua, bukan?” ujar Nam Hyerin pelan, mencoba tetap ramah di tengah isak tangis yang masih terdengar di sekeliling mereka. Namun suara balasan sang bibi justru terdengar kaku dan penuh amarah.
“Kakak, sudah aku bilang... jangan pernah membawa anak itu kemari. Dia hanya anak pembawa sial.” Nada suaranya cukup keras hingga beberapa kepala menoleh. Nam Hyerin spontan menatap putrinya yang berdiri diam sedikit jauh di belakangnya—Areum tampak diam bersama sang ayah, seolah tidak mendengar. Dengan cepat, Nam Hyerin kembali menatap adik iparnya, berusaha meredam amarahnya.
“Oh ayolah, So-yeon... sampai kapan kamu akan terus berkata begitu? Itu sudah berlalu bertahun-tahun, tapi kamu terus menyalahkan anakku atas sesuatu yang bahkan bukan salahnya. Aku bisa bersabar selama ini, tapi jangan uji batas kesabaranku. Jika kamu menyakitinya, artinya kamu juga menyakitiku.” Nada suara Nam Hyerin mulai bergetar, tapi sorot matanya tajam—seorang ibu yang melindungi anaknya tanpa ragu.
Suasana di ruang duka mendadak berubah tegang. Para pelayat yang tadinya berdoa kini hanya menatap diam-diam, berpura-pura tidak mendengar pertikaian kecil yang mulai membakar udara. Tapi mereka akhirnya memilih acuh.
“Putri? Putri yang kakak maksud? Semua orang juga tahu, Areum bukan anak kandung kalian!” seru So-yeon dengan nada tinggi, hal itu membuat Nam Hyerin geram karena dia takut Areum akan mendengar ucapan itu. Dia segera melangkah maju, menahan diri agar tidak kehilangan kendali di tempat suci itu.
“Jaga ucapanmu. Sekalipun itu benar, jangan pernah berani mengatakannya di depan putriku. Aku bisa menjadi wanita paling sabar di dunia, tapi demi dia, aku bisa berubah menjadi siapa pun yang perlu aku jadi.” Wajahnya memerah, tangan mengepal erat hingga buku-bukunya memutih. Tepat saat itu, —suaminya—datang menghampiri dengan langkah tenang namun penuh wibawa.
“Yeobo... apa yang terjadi?” tanyanya pelan namun tegas, matanya bergantian menatap sang istri dan adik perempuannya. Nam Hyerin menghela napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata dan emosi yang nyaris tumpah.
“Aku sudah katakan padamu, aku tidak ingin datang ke tempat ini. Setiap kali kita membawa Areum, dia selalu dihina. Aku tidak bisa lagi menahan diri. Jika bisa, mari kita pulang malam ini. Kita tetap bisa datang untuk pemakaman besok, tapi aku tidak ingin berada di bawah atap yang sama dengan wanita ini.” Ucapan itu disertai getar emosi yang menekan dadanya.
Sejak lama, Nam Hyerin memilih untuk tidak membawa Areum ke rumah keluarga suaminya. Ia tahu, di mata mereka, gadis itu bukan darah daging mereka. Ia tak ingin mengambil risiko—tak ingin putrinya mendengar kata-kata yang seharusnya tak pernah sampai ke telinga seorang anak.
“Kau tahu, Sooyeon, ada banyak cara untuk menghargai orang lain. Kalau kau tak menyukai seseorang, setidaknya diamlah. Semakin bising ucapanmu, semakin murah nilaimu,” ujar Taesik dingin.
Nada suaranya rendah, tapi cukup tajam untuk membuat udara di sekitar mereka membeku. Ia kemudian menggamit tangan istrinya, melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun.
Areum, yang berdiri agak jauh dari tempat itu, hanya melihat ayah dan bibinya berbicara. Ia tak mendengar satu pun percakapan mereka, hanya menangkap ekspresi tegang di wajah eommanya yang kini perlahan mendekat. Wajah Hyerin masih tampak kaku—sisa emosi tadi belum benar-benar mereda, meski bibirnya mencoba melengkungkan senyum.
“Eomma, ada apa?” tanya Areum pelan, suaranya penuh rasa ingin tahu.
“Tidak ada… eomma hanya sedikit lelah,” jawab Hyerin lembut sambil mengusap bahu putrinya. Senyumnya tipis, seperti upaya menenangkan diri sendiri.
“Eomma, kita akan menginap di sini?” tanya Areum lagi, kini menatap ke arah ayahnya yang berdiri di samping mereka.
“Iya,” jawab Taesik akhirnya, nada suaranya tenang tapi datar. “Untuk malam ini, kita tinggal di sini dulu. Tidak sopan meninggalkan keluarga di saat seperti ini.” lanjut nya.
“Baiklah, Appa,” ujar Areum sambil menunduk kecil. Ia mengikuti langkah kedua orang tuanya menuju kamar tamu yang disediakan.
Namun, sesekali matanya melirik ke arah bibinya yang masih berdiri di dekat altar, wajahnya keras tanpa ekspresi. Ada sesuatu di balik tatapan itu—sesuatu yang membuat dada Areum terasa sesak, meski ia tak tahu apa.
•••
Sementara itu, di kediaman keluarga Park.
“Hyung! Hyung!” Teriakan seorang pria muda menggema di seluruh penjuru rumah besar bergaya modern itu. Langkah kakinya terdengar terburu-buru menuruni tangga marmer yang mengilap, hampir terpeleset karena terlalu tergesa. Nafasnya terengah-engah, dada naik turun, tapi ia terus berlari.
Di ruang tengah, seorang pria lain duduk santai di sofa, matanya terpaku pada ponsel di tangannya. Wajahnya datar, seperti sudah terbiasa dengan kegaduhan yang sama setiap pagi.
“Hyung!” serunya lagi, kini tepat di hadapan sang kakak.
“Apa?” sahut pria yang dipanggil Hyung itu tanpa mengangkat wajah, suaranya tenang tapi terdengar malas.
“Hyung tidak mau ikut ke acara pemakaman keluarga Min?” tanya Jungwoo sambil menjatuhkan diri duduk di sebelahnya. Nafasnya masih belum teratur. Ji-sung menurunkan ponselnya sebentar, lalu menghela napas pelan.
“Aku tidak akan pergi. Hoseon-hyung mungkin akan datang mewakili. Aku banyak urusan dengan Taeyoon hari ini.” ujar nya.
“Tapi Hyung, bukankah mereka masih kerabat jauh dari Appa?” Jungwoo menatap sang kakak dengan kening berkerut.
“Kerabat jauh? Lagipula selama ini mereka tidak pernah peduli pada kita.” Ji-sung tersenyum miring, matanya dingin. Hening sesaat. Hanya suara detak jam dinding dan hembusan angin dari jendela yang sedikit terbuka.
“Aku paham... Kita memang tidak beruntung. Setelah ditinggalkan Eomma dan Appa, kita juga dibuang oleh keluarga sendiri—bahkan oleh kerabat yang seharusnya menampung kita.” ujar Jungwoo lirih, Ji-sung terdiam. Tatapan matanya perlahan meredup, lalu ia bersandar ke sandaran sofa.
“Itulah, Jungwan…” ucapnya akhirnya, dengan suara rendah namun tajam. “Wajah asli keluarga akan terlihat… setelah pilar utamanya roboh.” lanjut nya yang membuat udara di ruang itu terasa berat. Dari luar, suara burung terdengar samar, menambah kesan muram di antara dua bersaudara yang kini tenggelam dalam kenangan pahit masa lalu.
“Oh iya... Bukankah Hyung juga akan merekrut banyak karyawan baru untuk kafe baru itu?” tanya Jungwoo sambil menatap kakaknya berusaha mengalihkan suasana sebelum nya.
“Iya, tapi aku masih pikir-pikir dulu. Sebenarnya aku hanya ingin merekrut lima sampai tujuh orang saja, tapi Taeyoon bilang kita butuh lebih dari itu,” jawab Ji-sung pelan, pandangannya masih tertuju pada cangkir kopi panas di meja.
“Aku bisa bantu cari, Hyung,” ujar Jungwoo cepat, seolah ingin menunjukkan ia bisa diandalkan. Ji-sung menatapnya sekilas.
“Aku butuh orang yang benar-benar serius bekerja, bukan yang asal coba.” ujar nya tegas dan Junho mengangguk yakin.
“Kali ini percaya saja padaku, Hyung. Ouh ya, Hyung temanku yang dulu pernah kita tolong itu... dia meninggal,” ucap Jungwoo pelan, suaranya menurun di akhir kalimat. Ji-sung mengerutkan dahi.
“Mark?” tanyanya, berusaha mengingat.
“Ya... Dia melompat dari jembatan Sungai Han. Tapi waktu polisi melakukan autopsi, mereka menemukan jejak obat dalam dosis tinggi di tubuhnya. Kemungkinan dia depresi... atau melompat karena pengaruh obat itu,” jelas Jungwoo lirih, hal itu membuat Ji-sung menghela napas panjang.
“Ada alasan kenapa Hyung selalu melarangmu bergaul dengan orang yang tidak jelas. Negara kita sudah lama jadi salah satu dengan angka bunuh diri tertinggi, Jungwoo. Ini bukan hal sepele.” ujar nya yang membuat Jungwoo terdiam. Matanya menerawang ke arah jendela, menatap langit Seoul yang mulai mendung.
“Dia sama sepertiku, Hyung... tidak punya ibu, tidak punya ayah. Tapi aku masih lebih beruntung karena punya kakak seperti kalian—yang selalu menjagaku. Sedangkan dia... dia hidup sendiri, melakukan apa pun sesukanya tanpa ada yang peduli.” ujar nya lagi.
Ji-sung tak menimpali lagi. Ia hanya menatap adiknya dengan sorot mata sayu. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara hujan tipis yang mulai turun di luar jendela.
Keesokan harinya nya setelah semua pemakaman selesai semua keluarga Min kembali ke rumah nya masing masing begitu juga dengan Areum yang sangking lelah nya sampai tertidur selama perjalanan dia bahkan belum sempat beristirahat semenjak kepulangan nya dari tempat camping bersama Revan dan Hassa.
Di tambah lagi dia baru saja mendapatkan kabar jika dia harus menghadiri sesi tes sebelum resmi bekerja di cafe yang memang sudah lama dia bekerja sebagai pekerja paruh waktu.