NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:400
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 — Rahasia Pak Darmo

Rendra tidak menggali malam itu.

Setelah menyaksikan Dimas ditarik ke dalam Kuburan Air oleh tangan-tangan tak terlihat—atau mungkin oleh lumpur yang dimanipulasi oleh Yang Basah—kemarahan Rendra membeku menjadi tekad dingin. Ia tahu, menggali di bawah akar pohon Waringin Raksasa pada malam hari akan membuatnya menjadi korban berikutnya.

Ia kembali ke penginapannya, membersihkan lumpur yang menempel di tubuhnya, dan duduk di kamar yang kini terasa seperti jebakan basah. Ia membiarkan kemarahan itu menjadi bahan bakar. Dimas membayar hutang darah yang seharusnya menjadi milik orang dewasa yang korup di desa ini.

Saat fajar pertama menyentuh Desa Waringin—fajar yang sama kelabunya dengan senja—Rendra sudah bergerak. Ia tidak menyentuh makanan atau minuman. Hanya kamera ayahnya, sekop lipat, dan foto-foto yang ia cetak.

Ia tidak menuju Kuburan Air untuk mencari jasad Dimas. Ia menuju rumah Kepala Desa. Ia tahu, ia harus menghancurkan lapisan penyangkalan Pak Darmo sebelum ia bisa mengungkap kebenaran di bawah tanah.

Di luar, hujan kembali ke intensitasnya yang konstan dan monoton. Bau besi di udara terasa begitu tajam, seolah semalam darah yang tumpah itu belum sepenuhnya terlarut.

Rendra tiba di rumah Kepala Desa tepat saat ayam jantan berkokok samar di kejauhan, suara yang cepat teredam oleh hujan. Pintu rumah Pak Darmo tertutup, tetapi kali ini Rendra tidak mengetuk dengan sopan. Ia menggebrak pintu itu keras-keras.

“Pak Darmo! Buka! Aku tahu apa yang kau lakukan semalam!” teriak Rendra, suaranya parau karena emosi dan dingin.

Keheningan yang mencekam sesaat diikuti oleh gesekan kayu di dalam. Pintu itu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah Pak Darmo yang tampak lebih tua dan lebih keriput dari sebelumnya. Matanya merah, kantung matanya menghitam, dan ia masih mengenakan batik yang sama.

“Nak Rendra… kau tidak seharusnya datang pagi-pagi begini,” bisik Pak Darmo, berusaha menahan Rendra di ambang pintu.

“Dimas hilang,” potong Rendra dengan suara bergetar yang ia kendalikan. “Dia diambil semalam. Oleh Yang Basah. Aku melihatnya sendiri.”

Pak Darmo menghela napas panjang, mengeluarkan suara seperti desahan angin di cerobong asap yang basah. Ia tidak tampak terkejut. Hanya lelah.

“Lonceng berbunyi, Nak Rendra. Jiwa harus pergi. Itu adalah perjanjian yang harus kami jaga.”

“Perjanjian busuk!” Rendra mendorong pintu itu. Pak Darmo, yang lemah, tersentak ke belakang. Rendra melangkah masuk ke dalam rumah yang sama gelapnya dengan malam. “Perjanjian yang kau jaga dengan darah anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Dimas adalah anak korban! Bukan pelaku!”

Rendra membanting foto-foto yang ia cetak ke atas meja. Foto Yang Basah di Sumur Tua, foto Rani di balik hujan, dan yang paling penting, foto wajah Dimas yang polos.

“Kau bilang ini adalah pembersihan dosa. Kau bilang ini adalah pertukaran. Tapi kau berbohong! Dimas ditarik karena kau bohong tentang apa yang sebenarnya terjadi tiga puluh tahun lalu!”

Pak Darmo bergerak lambat, mengambil foto Dimas, melihatnya. Ia menggenggam tasbih kayunya erat-erat, manik-maniknya terlihat basah.

“Dia tidak seharusnya mendekat ke Kuburan Air,” gumam Pak Darmo, dengan nada penyesalan yang samar. “Dia adalah anak yatim piatu yang ditinggalkan oleh ayahnya karena dosa kami. Dia tahu terlalu banyak.”

“Ayahnya? Siapa ayahnya?”

Pak Darmo mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan mata Rendra. Tatapannya kini penuh penderitaan.

“Ayah Dimas adalah salah satu dari sedikit orang yang berani menentang ritual pengorbanan Laras. Dia mencoba menyelamatkan Laras. Tapi dia gagal. Dan karena dia berani menentang para tetua dan orang kota yang datang—” Pak Darmo menelan ludah, suaranya tercekat.

“—dia juga dibunuh. Dia adalah salah satu dari ratusan orang yang dikubur hidup-hidup di lubang rahasia di bawah akar Pohon Waringin.”

Rendra merasakan getaran dingin di punggungnya. Ratusan orang. Bukan hanya Laras. Itu adalah pembantaian massal yang disembunyikan. Dan Dimas adalah anak dari salah satu korban yang menentang kekejaman itu.

“Kenapa? Kenapa kau membunuh mereka semua?”

“Bukan aku! Itu para tetua desa, yang takut ritual pengorbanan Laras akan diketahui oleh pemerintah. Mereka takut Yang Basah tidak puas. Mereka membunuh orang-orang yang menentang, dan menyalahkan mereka atas kegagalan Laras. Mereka mengubur mereka di bawah akar Pohon Waringin agar darah mereka meresap ke dalam tanah, dan hujan akan datang! Dan Yang Basah tidak akan tahu bahwa ritualnya kotor!”

Air mata Pak Darmo akhirnya tumpah, namun air matanya bercampur dengan kelembaban di udara, membuatnya sulit dibedakan. Ia tampak hancur.

“Aku—aku hanya seorang kepala desa yang melanjutkan perjanjian yang sudah dibuat. Perjanjian untuk menenangkan Yang Basah dengan darah agar ia tidak memanggil hujan merah yang menghanyutkan seluruh desa.”

Rendra maju selangkah, mencondongkan tubuhnya ke Pak Darmo, suaranya tajam seperti pisau.

“Kau bilang ayahku terlibat dalam ritual Laras. Benar?”

“Dia terlibat. Dia datang bersama rombongan orang kota yang ingin mendokumentasikan budaya terisolasi. Dia memotret upacara pengorbanan Laras.”

“Dan apakah dia juga memotret pembantaian massal yang kau sembunyikan?”

Pak Darmo memejamkan mata, memilin tasbihnya begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih.

“Ya. Dia ada di sana. Dia memotret segalanya. Tapi dia pengecut. Dia kabur. Dia membawa film itu, membawa bukti dosa kami, dan dia tidak pernah kembali. Dia meninggalkan kami untuk menanggung kutukan ini.”

Rendra merasakan rasa mual yang hebat. Bukan hanya pengkhianatan spiritual. Tapi pengkhianatan jurnalistik. Ayahnya melihat kejahatan mengerikan, lalu melarikan diri, membiarkan desa itu tenggelam dalam hujan darah selama tiga puluh tahun.

“Dan Rani?” tuntut Rendra. “Adikku. Dia menemukan sesuatu, kan? Dia menemukan bukti yang ditinggalkan Ayahku?”

Pak Darmo mengangguk lemah, membuka matanya yang penuh kesedihan.

“Rani datang dengan membawa hipotesis aneh tentang ‘air dan memori’. Dia menemukan jurnal lama Ayahmu, yang menyebutkan tentang Sumur Tua dan pohon itu. Dia mulai mencocokkan cerita. Dia mencari lubang rahasia itu.”

“Dia berhasil?”

“Dia tidak hanya berhasil. Dia menemukan… sesuatu di sana.” Pak Darmo menunjuk ke salah satu botol air hujan di meja kecilnya. Botol yang berisi cairan keruh kemerahan. “Itu air yang Rani ambil dari lubang rahasia itu, Nak Rendra. Air itu bukan air biasa. Itu adalah memori darah.”

“Saat Rani menyentuh air itu, Yang Basah menemukannya. Dia tidak menculik Rani, Nak Rendra. Dia merasuki Rani. Dia menggunakan Rani untuk berkomunikasi. Dia menggunakan Rani untuk mencari tahu di mana sisa bukti yang dibawa Ayahmu.”

Rendra merogoh saku jaketnya, mengeluarkan foto Rani di balik hujan, dan foto Yang Basah di Sumur Tua.

“Ini! Ini buktinya! Dia tahu aku datang! Dia tahu aku punya sisa film ayahku! Dia mengawasiku! Malam tadi, dia menulis di jendelaku: ‘Aku Adikmu, Kak’!”

Pak Darmo menatap foto Rani di balik hujan. Ia bergidik.

“Dia ingin kau membawa sisa film ayahmu kembali ke desa ini. Bukan untuk menyembuhkannya. Tapi untuk mengikat kutukan itu padamu.”

“Kenapa padaku?”

“Karena kau adalah keturunan dari orang yang tahu segalanya dan melarikan diri. Kau harus membayar hutangnya. Yang Basah tidak menginginkan jiwa. Dia menginginkan kebenaran yang terkurung dalam film lama. Kebenaran yang bisa membuatnya tenang dan menghentikan hujan ini selamanya.”

Pak Darmo kemudian meraih lengan Rendra, cengkeramannya lemah.

“Pergilah, Nak Rendra. Bawa film ayahmu, tapi jangan kembali ke sini. Tinggalkan desa ini dan biarkan kami tenggelam dalam hujan dosa kami.”

Rendra menarik lengannya. Ia tidak bisa pergi. Tidak setelah Dimas lenyap di hadapannya, dan tidak setelah ia melihat mata adiknya yang dipenuhi air dingin.

“Tidak, Pak Darmo. Aku akan ke lubang itu. Aku akan menggali. Aku akan mencari tahu apa yang ayahku lihat dan apa yang dibayar Dimas dengan nyawanya.”

Rendra berbalik. Tepat saat ia mencapai pintu, Pak Darmo berbisik, suaranya penuh keputusasaan dan peringatan:

“Hati-hati, Nak Rendra. Darah yang ada di bawah Pohon Waringin… tidak pernah kering. Dan di balik semua itu, Yang Basah menunggu… menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.”

Rendra tidak menjawab. Ia melangkah keluar, langsung disambut oleh hujan yang terasa dingin dan berat. Ia berjalan menuju Pohon Waringin Raksasa. Sekop di tangannya terasa berat, dan tasbih kayu dari Nyai Melati terasa bergetar, memandunya menuju kuburan massal yang telah disembunyikan selama tiga puluh tahun di bawah hujan abadi Desa Waringin.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!