Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhitungan Cincin dan Titik Lemah
Di kediaman keluarga Wijaya, suasana malam itu terasa kontras dengan ketegangan di rumah Aldridge. Ruang keluarga besar dihiasi dengan cahaya lampu hangat.
Amara sedang duduk di sofa mewah, dikelilingi oleh beberapa katalog pernikahan terbuka di meja kopi. Di pangkuannya, sebuah tablet menampilkan berbagai desain cincin dan model dekorasi aula. Wajahnya menunjukkan konsentrasi, namun ada senyum samar yang tersungging di bibirnya.
Zayn, ayahnya, baru saja selesai dengan panggilan bisnisnya. Ia melihat putrinya duduk di ruang tengah dan menghampirinya.
"Amara, kamu sedang apa?" tanya Zayn, suaranya lembut.
"Ah, Papa," Amara mendongak, matanya berbinar. "Amara sedang cari referensi untuk cincin pernikahan dan dekorasi."
Zayn duduk di samping putrinya. "Bukannya Amelia yang akan mengurusnya? Kupikir keluarga Aldridge sudah mengatur semuanya," tanyanya, sedikit heran.
"Iya, Pa. Tadi sore Tante Amelia menghubungi Amara," jelas Amara, menata katalog-katalog itu. "Tante Amelia bilang pernikahan harus dipercepat minggu ini. Kakek Umar yang memintanya. Dan Tante Amelia ingin Amara ikut memilih detailnya, terutama cincin dan gaun."
Zayn mengangguk, alisnya sedikit terangkat. "Dipercepat? Mendadak sekali." Meskipun ia tidak menyukai ketergesaan keluarga Aldridge, ia mengerti ini adalah bisnis besar.
"Lalu, apa yang kamu suka? Sudah menemukan sesuatu?"
Amara memiringkan kepala, menunjuk ke layar tabletnya.
"Amara suka model ini, Pa. Cincin dengan desain solitaire yang klasik. Tidak terlalu berlebihan."
Zayn tersenyum melihat kesederhanaan pilihan putrinya. "Itu pilihan yang elegan, Sayang. Pasti Arya akan menyukainya."
Amara tersenyum lebih lebar. "Amara harap begitu, Pa."
Ada keheningan singkat. Zayn mengamati putrinya.
Meskipun Amara tampak bahagia dan antusias, ada sesuatu yang mengganggu pikiran Zayn.
"Amara," panggil Zayn, nadanya berubah serius. "Papa ingin bertanya sesuatu."
"Ya, Pa?"
Zayn ragu sejenak. "Pernikahan ini sangat cepat, dan Papa tahu kalian berdua... Amara, apa kamu sudah bicara baik-baik dengan Arya? Apa dia memperlakukanmu dengan baik? Papa tidak mau kamu masuk ke pernikahan ini dengan paksaan, atau merasa tidak nyaman."
Amara meletakkan tabletnya. Ia menggenggam tangan ayahnya, mencoba meyakinkan. "Papa tidak perlu khawatir. Arya memang... sibuk dan sedikit sulit dihubungi akhir-akhir ini karena tekanan dari Kakek Umar, Tante Amelia yang bilang begitu."
"Tapi Amara yakin, Arya akan menjadi suami yang baik. Dia sudah setuju untuk menikah, Pa. Dia tidak menolak," lanjut Amara, hatinya berpegangan teguh pada fakta bahwa Arya secara eksplisit menerima pernikahan ini. "Amara senang, Pa. Amara hanya ingin dia bisa melepaskan semua beban Kakek Umar setelah ini."
Zayn menatap mata Amara. Ia melihat ketulusan dan harapan yang murni di sana.
"Baiklah, Sayang. Papa hanya ingin kamu bahagia," kata Zayn, menghela napas. "Jika kamu sudah memilih cincin, berikan referensinya pada Tante Amelia. Papa akan memastikan semua berjalan lancar dari pihak keluarga kita."
"Terima kasih, Pa," kata Amara.
Zayn mencium kening putrinya sebelum bangkit. Dia lega melihat Amara bahagia, tetapi ia tetap menyimpan kecurigaan tentang Arya. Ia tahu di balik layar, pernikahan ini mungkin jauh dari kata damai.
...***...
Sementara Amara sibuk memilih detail pernikahan dengan hati penuh harapan di rumah Wijaya, sebaliknya Olivia tengah menjalankan Rencana B-nya di apartemennya.
Setelah memastikan Arya kembali terikat sebagai "kekasih rahasia," tugas logistik pertamanya adalah mengembalikan ponsel Arya kepada Nia, sesuai janjinya.
Olivia menatap ponsel Arya yang tergeletak di meja. Mengirimkannya langsung melalui Nia sangat berisiko, terutama jika Kakek Umar tahu ada komunikasi rahasia.
"Apa aku kirim lewat paket dan mengirimkannya ke kediaman Aldridge atas nama Nia, pelayan itu?" gumam Olivia, berpikir. "Ya, begitu saja. Dengan ini tidak akan menimbulkan risiko."
Olivia segera mengemas ponsel Arya menjadi sebuah paket kecil, menyamarkannya seolah itu adalah kiriman sederhana. Di alamat pengirim, ia menuliskan nama Nia, dengan alamat pengiriman acak, sehingga tampak seperti kiriman pribadi yang dikirim kembali ke kediaman Aldridge. Ia mengatur pengiriman paket tersebut untuk dijemput kurir dan dikirimkan esok hari.
Setelah masalah ponsel selesai, Olivia beralih ke inti Rencana B. Ia harus mengetahui jadwal pasti pernikahan Arya dan Amara untuk menentukan waktu yang tepat untuk menyerang.
Olivia kemudian menghubungi seseorang—seorang informan atau asisten swasta yang sering membantunya mengumpulkan data sensitif—untuk mencari tahu detail pernikahan Arya.
Telepon tersambung ke ujung sana.
"Ya, ini aku," kata Olivia, suaranya tenang, tetapi penuh otoritas. "Aku ingin kamu segera mencari tahu detail pernikahan Arya Aldridge dan Amara Wijaya. Aku butuh tanggal, tempat, dan jam berapa pastinya acara dilangsungkan."
"Itu sangat mendadak, Nyonya. Keluarga Aldridge pasti mengunci informasi seketat mungkin," balas suara di seberang telepon.
"Aku tidak peduli. Kau punya waktu sampai besok pagi untuk memberikannya padaku," potong Olivia tajam.
"Gunakan koneksimu di kantor catatan sipil, atau wedding organizer yang mungkin dihubungi Amelia Aldridge. Aku butuh kepastian. Dan satu lagi..."
Olivia terdiam sejenak, matanya menatap tajam ke kejauhan.
"Aku butuh kamu mencari tahu segala hal tentang Amara Wijaya. Detail kecil apa pun, terutama yang terjadi dalam tiga tahun terakhir. Cari titik lemahnya," perintah Olivia.
"Baik, Nyonya. Akan saya usahakan," jawab informan itu, menyadari betapa seriusnya perintah ini.
Olivia menutup telepon. Sekarang, dengan informasi detail pernikahan di tangan, dia akan memiliki senjata dan waktu yang tepat untuk menghancurkan pernikahan itu dari luar, memastikan Arya tidak pernah benar-benar mencintai Amara, dan memastikan Kakek Umar membayar mahal atas perlakuan mereka.
...***...
Di kamar mewahnya, Arya sedang merebahkan diri, pikirannya kalut mengingat percakapan teleponnya dengan Olivia. Kata-kata Olivia—"Kekasih Rahasia"—bergema di benaknya.
Entah kenapa firasatku mengatakan akan ada sesuatu yang direncanakan Olivia, batin Arya, rasa gelisah mulai merayapi hatinya. Ia tahu Olivia tidak akan diam, dan Rencana B yang disinggung Olivia terasa berbahaya.
Tiba-tiba, terdengar suara dari balik pintu.
"Apa Arya sudah makan malam?" Itu suara Amelia.
"Sudah, Nyonya. Tadi ada salah satu pelayan mengantarkan makanannya," jawab salah satu pengawal.
"Ah, begitu, baguslah. Saya ingin bicara berdua dengan Arya. Bisa tolong buka pintunya?" pinta Amelia.
"Baik, Nyonya," jawab pengawal itu.
Saat pintu kamar mulai dibuka, Arya melirik cepat ke arah ponsel Nia yang masih tergeletak di kasur.
Gawat!
Dengan secepat kilat, Arya menyambar dan menyembunyikan ponsel itu di bawah bantal.
"Arya," sapa Amelia, melangkah masuk dengan wajah khawatir.
Arya terkejut. "Mama, ada apa kemari?" tanyanya, berusaha menyembunyikan rasa bersalah dan ponsel curiannya.
"Ehm, kamu sudah makan? Mama dengar pelayan sudah mengantarkan makanannya," tanya Amelia, mencoba bersikap normal.
"Ya," jawab Arya singkat.
Amelia berjalan mendekat dan mencoba menggenggam tangan Arya, tetapi Arya segera menepisnya.
Amelia menghela napas. "Haaah... Mama tahu kamu pasti tertekan dengan semua ini. Tapi Arya, ini juga demi kehidupan kamu nantinya. Apa yang kita semua lakukan itu demi kebaikan kamu sendiri, Arya," kata Amelia, mencoba membela tindakan keluarga mereka.
Rasa frustrasi Arya memuncak. Dia sudah dipaksa menjadi boneka Kakek Umar, dan sekarang ibunya menuntut dia menerima paksaan ini sebagai 'kebaikan'.
"Heh... Kebaikan yang mana, Ma? Jelaskan padaku kebaikan yang mana!" balas Arya, suaranya meninggi.
"Arya, dengarkan Mama dulu, Nak," pinta Amelia, matanya berkaca-kaca.
"Udahlah, Mama mending keluar. Tinggalkan aku sendiri.
Toh, pada akhirnya Mama nggak akan bisa bantuin aku kan," ujar Arya, nadanya dingin dan penuh kepahitan.
Amelia terdiam, terluka oleh kata-kata kasar putranya. Dia tahu dia tidak bisa memenangkan perdebatan ini, apalagi di bawah pengawasan ketat Kakek Umar. Dia hanya bisa mengangguk pasrah.
"Baik, Sayang. Mama pergi," bisik Amelia, air mata menetes. Sebelum keluar, ia berbalik. "Tapi ingat, fokuslah. Semua akan berlalu setelah pernikahan. Kamu harus mulai bersiap."
Amelia keluar dari kamar, meninggalkan Arya sendirian lagi di tengah kebencian dan kebingungannya.
Arya segera mengeluarkan ponsel Nia dari bawah bantal. Ia menatapnya, lalu meletakkannya kembali di meja. Ia harus berhati-hati. Ia harus berpura-pura patuh di depan keluarganya sambil menunggu sinyal dari Olivia.
...***...
Setelah penolakan Arya yang menyakitkan, Amelia berjalan gontai menuju kamarnya. Ethan sedang duduk di kursi kerjanya, memeriksa beberapa dokumen, namun segera menghentikan pekerjaannya begitu melihat wajah istrinya.
"Amelia, kamu tidak apa-apa?" tanya Ethan, berdiri dan menghampiri istrinya dengan cemas.
Amelia memaksakan seulas senyum. "Ya," katanya singkat.
"Ada apa? Aku tahu pasti ada apa-apa, kan?" desak Ethan, memegang bahu istrinya. Ia tahu kunjungan Amelia ke kamar Arya tidak akan berjalan mulus.
Amelia menghela napas, senyum palsunya lenyap. Ia menceritakan penolakan dingin Arya.
"Arya, sepertinya dia sangat marah," ujar Amelia, suaranya tercekat. "Dan aku tidak tahu harus bagaimana, Ethan. Di satu sisi, aku kasihan melihatnya seperti ini, seperti tahanan bahkan di rumahnya sendiri." Air matanya mulai menggenang. "Tapi di sisi lain..."
"Di sisi lain, kita harus memastikan dia tetap menjadi pewaris," sambung Ethan, menyelesaikan kalimat Amelia dengan nada pasrah. Ia memeluk istrinya erat. "Aku mengerti, Sayang. Aku juga merasa bersalah.
Memenjarakan putra kita sendiri adalah hal terburuk yang pernah kita lakukan."
Ethan melepaskan pelukan itu, matanya dipenuhi kepenatan.
"Tapi kita tidak punya pilihan. Papa tidak akan pernah menerima Olivia. Jika kita tidak bertindak, Papa akan mencoret Arya. Dan jika Arya dicoret, seluruh stabilitas perusahaan dan masa depan kita semua terancam."
Amelia menyandarkan kepalanya di dada Ethan. "Aku tahu. Aku hanya berharap, setelah dia menikah dengan Amara, dia akan melupakan Olivia dan menemukan kedamaian."
"Dia harus," tegas Ethan, lebih meyakinkan dirinya sendiri daripada Amelia. "Kita sudah berhasil menguncinya. Dia sudah berjanji pada Papa untuk bersikap hormat pada Amara. Tugas kita sekarang adalah memastikan pernikahan ini berjalan tanpa cela."
Amelia menegakkan badan. "Aku baru saja menelepon Amara. Dia sangat baik dan kooperatif. Pernikahan akan diadakan Minggu pagi ini, jam sepuluh."
"Bagus. Itu sangat cepat," kata Ethan, merasa sedikit lega karena setidaknya Amelia telah bergerak. "Kita harus pastikan semuanya sempurna. Amara adalah kunci kita untuk menenangkan Papa dan mengamankan Arya."
Ethan menyentuh wajah Amelia dengan lembut.
"Istirahatlah. Kamu sudah bekerja keras. Besok kita hadapi persiapan pernikahan ini bersama-sama."
Mereka berdua tahu, mereka hanyalah pion dalam permainan kekuasaan Kakek Umar, berusaha keras menyelamatkan putra mereka dari kemarahan keluarga dengan mengorbankan kebahagiaan sejati Arya dan Amara.
Bersambung......