Tanggal pernikahan sudah ditentukan, namun naas, Narendra menyaksikan calon istrinya meninggal terbunuh oleh seseorang.
Tepat disampingnya duduk seorang gadis bernama Naqeela, karena merasa gadis itu yang sudah menyebabkan calon istrinya meninggal, Narendra memberikan hukuman yang tidak seharusnya Naqeela terima.
"Jeruji besi tidak akan menjadi tempat hukumanmu, tapi hukuman yang akan kamu terima adalah MENIKAH DENGANKU!" Narendra Alexander.
"Kita akhiri hubungan ini!" Naqeela Aurora
Dengan terpaksa Naqeela harus mengakhiri hubungannya dengan sang kekasih demi melindungi keluarganya.
Sayangnya pernikahan mereka tidak bertahan lama, Narendra harus menjadi duda akibat suatu kejadian bahkan sampai mengganti nama depannya.
Kejadian apa yang bisa membuat Narendra mengganti nama? Apa penyebab Narendra menjadi duda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arion Alfattah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 - Tawaran
Mendengar sang putri berada di kantor polisi, Mulyana segera meminta bantuan pada anak keduanya untuk segera ke kantor polisi. Terlebih dulu Mulyana masuk ke dalam membangunkan anak keduanya.
"Zaenal bangun! Zae bangun!" Mulyana mengguncangkan bahu anak lelakinya yang masih duduk di bangku SMA kelas satu. Masih belum ada pergerakan, Mulyana kembali membangunkan Zae.
"Zae, bangun! Kakak kamu dalam masalah, Zae." Dan guncangan di bahu Zae membangunkannya.
"Hmmm Pak, ada apa? Ini sudah malam, tumben Bapak membangunkan Zae tengah malam begini." Dia beringsut mencoba duduk seraya mengumpulkan nyawanya sehabis bangun tidur.
"Zae, kakak kamu ... Kakak kamu ..."
"Kakak?! Kak Naqeela kenapa, Pak?" Mendengar nama kakaknya di sebut, Zae langsung terjaga. Di tambah mendengar suara bapaknya yang nampak khawatir dan juga raut wajahnya begitu jelas panik membuat Zae berpikir bahwa telah terjadi sesuatu pada kakak perempuannya.
"Dia ... Dia berada di kantor polisi."
"Apa?!"
*****
Pagi-pagi buta, Mulyana dan juga Zaenal bersiap-siap berangkat ke kantor polisi. Zae sampai rela tidak masuk sekolah demi bertemu kakak perempuannya yang berada di kantor polisi. Tadinya mau malam, tapi waktunya tidak memungkinkan karena tidak ada kendaraan di malam hari. Pada akhirnya Zaenal dan Mulyana berangkat pagi hari.
"Pak, kok bisa kak Naqeela berada di kantor polisi? Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Bapak juga tidak tahu, Zae. Semalam bapak dapat kabar dari polisi kalau kakak kamu ada di penjara. Bapak juga ingin tahu masalah yang sebenarnya terjadi." Banyak sekali pertanyaan di benaknya Mulyana tentang Inara. Dia merasa putrinya tidak akan mungkin melenyapkan orang. Dalam hatinya terus berdoa semoga Inara tidak bersalah dan selalu di lindungi dari orang-orang jahat.
"Ya Allah, semoga kakak tidak kenapa-kenapa." Sebagai adik, Zae juga meyakini kakaknya tidak merasa bersalah. Dia dan Mulyana sudah tahu sifat Naqeela seperti apa.
******
Sesampainya di kantor polisi, Zae dan juga Mulyana segera turun dari angkutan umum. Mulyana yang tidak bisa berjalan normal selalu berjalan menggunakan kursi roda hasil dari keringat Naqeela.
"Hati-hati, Pak." Zae membantu bapaknya duduk di kursi roda. Pria paruh baya itu tersenyum teduh.
"Makasih Zae, maaf merepotkan kamu."
"Bapak ini bicara apa sih? Tidak ada anak yang merasa di repotkan. Bapak begini karena menolong Zae." Pria remaja itu menatap sendu kaki bapaknya. Dulu, waktu dirinya kelas tiga SMP, dia hampir mengalami tabrakan akan tetapi Bapaknya datang mendorongnya sehingga tubuh Mulyana terpental. Dari kejadian itu, kaki Mulyana mengalami keretakan. Karena terkendala ekonomi, jadinya tidak di lakukan pengobatan dan hanya mengandalkan obat tradisional.
"Sekarang kita masuk bertemu kak Naqeela, pastinya kakak sedang ketakutan dan butuh kita." Zae pun mendorong kursi roda bapaknya.
Kedatangan Zae dan juga Mulyana disambut dengan tatapan tajam dari pemilik mata hazel kecoklatan. Pria yang juga sama duduk di kursi roda itu terus saja memperhatikan keduanya. Pun dengan wanita yang juga selalu ada di sana menemani pemuda itu tanpa sedikitpun pergi jauh.
"Oh jadi kalian keluarga perempuan pembunuh itu?" sergah seorang wanita bernama Wulan.
"Anak saya bukan pembunuh. Saya yakin ini hanyalah jebakan semata dan saya yakin anak saya tidak akan pernah memiliki niatan jahat seperti itu." Sebagai seorang ayah, Mulyana meyakini bahwa putrinya tidak akan pernah melakukan hal itu.
"Betul, kakak saya tidak mungkin melakukan itu semua. Kalian semua jangan asal tuduh saja." Zaenal tidak terima kakaknya di salahkan. Sebagai adik, Zaenal sakit hati kakaknya di tuduh melenyapkan nyawa orang lain.
"Jelas-jelas bukti sudah ada kalau perempuan itu ada di tempat. Itu artinya dia yang sudah melenyapkan calon istriku! Sampai kapanpun tidak akan ku biarkan dia bebas dari hukuman, saya pastikan dia mendapatkan hukuman setimpal atas perbuatannya."
"Apa kamu yakin anak saya yang melenyapkannya? Apa kamu lihat bukti akuratnya? Apa kamu bisa membuktikan kalau pembunuhnya adalah anak saya? Meskipun kami dari keluarga miskin, tapi kami tidak pernah di ajarkan berbuat keji dan sekalipun bukti menjurus ke anak saya, itu artinya ada seseorang berniat jahat pada anak saya dengan cara melemparkan tuduhan palsu." Tidak sedikitpun merasa takut, tidak sedikitpun menunjukan kemarahan, namun Mulyana terus berusaha tenang di tengah rasa gundah gulana.
"Percaya diri sekali putrimu tidak bersalah. Kita buktikan nanti di pengadilan." Wulan semakin tersulut emosi, dia tidak akan diam saja ketidakadilan menghampiri Lintang, calon istri putranya. Akan dia balas mereka yang telah menyakiti perempuan yang dia sayangi.
"Jangan berbuat keributan di kantor polisi! Sebaiknya kalian semua ikut saya ke dalam." Bapak polisi meminta keluarga Inara dan juga Narendra masuk untuk di mintai keterangan yang lebih akurat lagi.
Zae pun mendorong lagi kursi rodanya, pun dengan Wulan yang juga mendorong kursi roda putranya. Mereka berempat berada di depan satu orang polisi.
"Bawa perempuan itu ke sini!" titahnya pada anak buahnya.
"Siap komandan." Dan dia beranjak menjemput Inara di balik jeruji besi.
Mulyana menunggu putrinya keluar, dia tidak sabar melihat keadaan anak sulungnya.
"Bapak." Mendengar suara anaknya, Mulyana menoleh pun dengan Zae. Keduanya terpaku pada keadaan memprihatinkan Naqeela. Mata sembab, hidung merah, rambut acak-acakan, dan masih tersisa air mata di pipinya.
"Ya Allah, Nak."
"Kak Naqeela." Naqeela segera berlari menghampiri bapaknya dan duduk bersimpuh di depan Mulyana.
"Demi Allah bukan aku pak, aku berani bersumpah bukan aku pelakunya. Bapak sama Zae percaya kan sama aku?" Naqeela takut kedua orang berarti dalam hidupnya tidak mempercayai dia sama sekali.
Mulyana dan Zae memeluk Naqeela bersamaan. Mereka ikut prihatin dan menangis atas nasib yang harus Inara alami.
"Kami percaya kamu bukan pelakunya, kami percaya kamu tidak akan mungkin melenyapkan orang." Sebagai seorang ayah, Mulyana merasa tidak bisa menjaga anaknya. Dia merasa tidak berguna, jangankan melindungi anak-anaknya, berjalan saja dia tidak mampu.
"Sudah cukup kalian menangis. Saya tidak akan membiarkan kalian semua hidup dengan tenang setelah apa yang wanita itu lakukan. Saya akan memberikan hukuman kepada dia." Suara Wulan begitu tegas dan sorot matanya masih menunjukan kemarahan.
Naqeela mendongak melepaskan pelukannya. "Silahkan lakukan apapun yang ingin kalian lakukan, tapi jangan pernah membawa keluargaku dalam masalah ini. Kalau kalian ingin menghukum ku, hukum aku saja, jangan keluarga ku." Kepalang tanggung di tuduh sebagai seorang pembunuh, Naqeela pasrah atas tuduhan palsu ini. Dia yakin tidak akan mungkin bisa melawan orang kaya seperti mereka. Jangankan untuk menyewa pengacara, untuk kehidupan sehari-hari saja dia masih kurang cukup.
"Baiklah, jika itu mau mu maka hukumannya adalah menikah denganku," ucap Narendra terdengar halus namun menusuk bagi Naqeela.
"Apa?!"