Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mahar Dua puluh ribu
Raka dan Reva tidak ada pilihan lain selain menerima pernikahan seperti tuntutan warga .Langit Jakarta pagi itu kelabu, seolah ikut berduka atas keputusan yang baru saja diambil dua jiwa yang tak saling kenal. Hujan belum turun, tapi udara terasa lembap—berat, seperti dada Reva yang sesak oleh tangis yang ditahan. Di sudut kontrakan sempit itu, ia duduk memeluk lutut, matanya kosong menatap lantai yang retak. Bau anyir darah kering masih tersisa di celana Raka, meski ia sudah berusaha membersihkannya dengan air seadanya dari ember kecil.
Mereka harus menikah. Hari ini.
Bukan karena cinta. Bukan karena janji. Tapi karena ancaman telanjang di depan umum,dan di bawa keliling kampung itu lebih menakutkan daripada ikatan suci yang lahir dari paksaan.
Bu Siti datang membawa sehelai kebaya lusuh miliknya sendiri—warnanya pudar, jahitannya mulai lepas di bagian lengan. “Reva ,ini baju itu ,Ini yang terbaik yang bisa Ibu pinjamkan,” katanya pelan, tanpa menatap mata Reva. “Kamu pakai dulu. Nanti kalau sudah menikah, kamu bisa beli yang baru.”
Reva hanya mengangguk. Tak ada tenaga untuk menolak. Tak ada hati untuk protes. Ia menerima kebaya itu seperti menerima hukuman mati yang ditunda.
Di sisi lain, Raka duduk bersandar pada dinding, wajahnya pucat. Luka di pelipisnya sudah ditutup plester, tapi tubuhnya masih lemas. Ia menggenggam celana jeans yang tadi malam robek oleh pukulan preman. Dari saku belakangnya, ia mengeluarkan dompet tipis—hanya berisi selembar uang dua puluh ribu rupiah dan KTP yang sobek di sudutnya.
“Ini… semua yang tersisa,” bisiknya, suaranya serak. “Perampok itu mengambil semuanya… bahkan uang makan minggu ini.”
Reva menoleh, melihat uang itu di telapak tangan Raka yang bergetar. Dua puluh ribu rupiah. Cukup untuk dua porsi nasi bungkus. Tapi hari ini, uang itu harus menjadi mahar—simbol keseriusan seorang laki-laki dalam meminang perempuan. Di mata hukum agama dan adat, mahar adalah wajib. Tanpa mahar, akad nikah tak sah.
“Kamu yakin… ini cukup?” tanya Reva pelan.
Raka menatapnya, matanya penuh penyesalan. “Aku tidak punya apa-apa lagi. Aku malu… sangat malu. Tapi ini satu-satunya yang bisa kuberikan.”
Reva menunduk. Ia ingin marah. Ingin berteriak bahwa ini semua tidak adil. Tapi air matanya justru jatuh lagi—bukan karena sedih atas mahar yang kecil, tapi karena hidupnya tiba-tiba diukur dengan dua puluh ribu rupiah dan kebaya lusuh.
***
Pukul sepuluh pagi, penghulu datang—seorang lelaki tua berjubah lusuh, wajahnya datar, seolah sudah terbiasa menikahkan pasangan yang dipaksa oleh desakan sosial. Ia membawa buku nikah dan tinta merah yang nyaris kering. Di ruang tamu sempit kontrakan Bu Siti, warga berkumpul—bukan sebagai tamu undangan, tapi sebagai saksi sekaligus algojo moral.
“Kalian yakin,?” tanya penghulu, suaranya datar.
Reva dan Raka saling pandang. Tak ada senyum. Tak ada genggaman tangan. Hanya keheningan yang penuh keputusasaan.
“Kami yakin,” jawab Raka, suaranya bergetar.
Reva hanya mengangguk.
Pak RT berdiri di depan, memegang uang dua puluh ribu itu seperti trofi. “Maharnya sudah siap. Dua puluh ribu rupiah. Tunai. Tidak kurang.”
Penghulu mengangguk, lalu membuka buku nikah. “Sebutkan nama lengkapmu.”
“Raka Wijaya ,” jawab Raka pelan.
“Dan nama mempelai perempuan?”
“Reva Maharani,” sahut Reva, suaranya nyaris tak terdengar.
Prosesi berlangsung cepat—terlalu cepat untuk sesuatu yang seharusnya sakral. Penghulu membaca ijab kabul dengan datar, tanpa khidmat, tanpa doa yang tulus. Raka mengulangi kalimat itu seperti robot: *“Saya terima nikahnya Reva Maharani binti Suhadi dengan maskawin uang tunai dua puluh ribu rupiah dibayar TUNAI !!.”*
Reva tidak menjawab. Ia hanya menunduk, membiarkan air matanya jatuh ke lantai semen yang dingin.
“Sah,” kata penghulu singkat. Lalu ia menandatangani buku nikah, memberi cap basah yang luntur, dan menyerahkan salinan kecil pada mereka.
Begitu saja. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, dua orang asing menjadi suami istri—bukan karena cinta, tapi karena takut.
Warga bersorak lagi, kali ini lebih riuh. Seorang ibu tua bahkan melemparkan beras kuning—sisa dari acara sunatan tetangga minggu lalu—ke arah mereka. “Selamat ya! Semoga langgeng!” teriaknya, seolah ini hari bahagia.
Tapi Reva tahu, ini bukan pernikahan. Ini penguburan.
Penguburan atas kebebasannya. Atas masa depan yang ia impikan. Atas haknya untuk memilih siapa yang akan ia cintai.
***
Usai akad, warga mulai membubarkan diri, puas karena “aib” telah ditutup. Hanya Bu Siti yang tinggal, duduk di kursi kayu yang goyah. Ia menatap Reva dengan mata penuh iba—atau mungkin penyesalan.
“Kamar itu… tetap kalian tempati,” katanya pelan. “Tapi sekarang kalian suami istri. Jadi, tidak ada lagi yang bisa mengusir kalian.”
Reva tidak menjawab. Ia masuk ke kamar, menutup pintu perlahan. Di dalam, Raka duduk di tepi kasur tipis, memegang buku nikah kecil itu seperti benda asing.
“Maafkan aku,” katanya tiba-tiba, suaranya pecah. “Aku tidak pernah ingin ini terjadi. Aku tidak tahu siapa kamu… tapi aku tidak mau kamu menderita karena aku.”
Reva menatapnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat bukan penjahat atau ancaman—tapi korban. Seperti dirinya. Mereka berdua hanyalah dua orang yang salah tempat, salah waktu, dan kini terjebak dalam jaring yang dibuat oleh orang-orang yang mengaku menjaga moral.
“Aku juga tidak menyalahkan kamu,” jawab Reva pelan. “Tapi… bagaimana kita bisa hidup seperti ini? Kita bahkan tidak tahu pekerjaan masing-masing. Tidak tahu dari mana asal. Tidak tahu apakah kita punya mimpi yang sama… atau malah saling bertentangan.”
Raka menghela napas. “Sebenarnya Aku bukan asli orang sini ,niatku aku ingin ketempat temanku ,namun aku kesasar dan aku di begal ,motor ,uang ,dan hpku di gondol pembegal itu ."
Reva terdiam sejenak. “Iya aku tahu ,Aku kerja di minimarket punya pak Herman ,dan aku pulang tidak menentu ,kadang sore terkadang aku juga pulang malam ,kalau pelanggan ramai,dan gajiku juga kecil .
Air mata kembali menggenang. “Aku ingin sekolah lagi. Aku ingin mencari pekerjaan yang lebih baik,dan menikah dengan orang yang aku cintai dan juga mencintaiku , Tapi sekarang… siapa yang mau menerima perempuan yang menikah karena dipaksa?”
Raka menunduk. “Aku… aku akan kerja lebih keras. Aku akan cari cara agar kita bisa hidup layak. Aku janji, aku tidak akan menyentuh kamu… kalau kamu tidak mau. Kita bisa tinggal serumah, tapi seperti saudara. Sampai… sampai kamu menemukan jalan keluarmu.”
Reva menatapnya lama. Di matanya, ia melihat kejujuran. Bukan nafsu. Bukan kepura-puraan. Tapi kepasrahan yang tulus.
“Terima kasih,” bisiknya.
***
Malam itu, mereka tidur di kamar yang sama—tapi di sisi berbeda kasur. Reva memeluk selimut tipis, menatap langit-langit yang berlubang. Di luar, suara kendaraan malam Jakarta mengalun seperti lagu sedih yang tak pernah berakhir.
Ia mengingat masa kecilnya di kampung—di mana pernikahan adalah pesta, doa, dan harapan. Bukan ancaman, bukan mahar dua puluh ribu, bukan kebaya lusuh, dan bukan air mata yang disembunyikan di balik selimut.
Tapi inilah hidupnya sekarang.
Suaminya—seorang laki-laki yang namanya baru ia hafal hari ini—tidur dengan napas pelan di sisi lain. Ia tidak tahu apakah ini awal dari kehancuran… atau justru benih dari sesuatu yang baru.
Yang pasti, ia tidak punya pilihan.
Dunia tidak memberinya ruang untuk jujur tanpa dihukum.
Jadi, ia memilih diam.
Memilih menikah.
Memilih bertahan—meski dengan hati yang remuk.
Di kegelapan, Reva berbisik pelan, seolah berdoa pada Tuhan yang mungkin juga sedang menangis melihat kekejaman manusia:
"Hidup ini lucu ,aku kabur dari pernikahan paksa yang diatur ibu dan bapak ,tapi sekarang justru aku terjebak pernikahan karena warga ,dengan lelaki yang belum aku kenal ." Reva tertawa sedih .
“Ya...allah ! Jika ini jalan-Mu…
maka bimbinglah kami.
Jangan biarkan kami saling membenci.
Jangan biarkan kami kehilangan kemanusiaan…
meski dunia telah mengambil segalanya dari kami.”
Di sisi lain, Raka membuka mata. Ia mendengar bisikan itu. Dan untuk pertama kalinya sejak semalam, ia merasa ada sesuatu yang hangat di dadanya—bukan cinta, tapi harapan kecil.
Harapan bahwa, meski pernikahan ini lahir dari paksaan…
mungkin suatu hari nanti, ia bisa tumbuh menjadi sesuatu yang nyata.
Tapi malam itu, mereka hanya dua orang asing yang terpaksa berbagi nasib—
dalam kamar sempit, dengan mahar dua puluh ribu,
dan hati yang penuh luka.