Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Part 2
Malam itu, mereka memesan pizza. Mereka terlalu lelah untuk memasak. Mereka makan dalam diam di ruang tamu, duduk di sofa. Jauh-jauhan.
Pukul sepuluh malam. Waktunya tidur.
Bunga mengambil bantalnya dari sofa. "Bunga... Bunga tidur di sofa aja, Mas."
Arga menghela napas panjang. Ia terlihat sangat lelah. "Nggak usah konyol, Bunga. Ibuku bisa video call kapan saja. Kamu mau Mas angkat telepon di kamar, terus kamunya nggak ada? Beliau akan panik."
"Tapi..."
"Mas nggak akan apa-apain kamu," kata Arga, nadanya datar. "Perjanjian kita masih berlaku, meski lokasinya pindah."
Arga masuk ke kamarnya lebih dulu. Bunga mengikuti dengan langkah berat.
Arga berjalan ke sisi ranjangnya yang biasa (sebelah kiri), dan mengambil guling besar di tengahnya. Ia meletakkannya dengan presisi di tengah-tengah kasur king size itu.
"Benteng Berlin versi 2.0," katanya. "Kasurnya besar. Mas nggak akan melewati batas. Mas janji."
Bunga menelan ludah. Ia berjalan ke sisi kanan ranjang—sisi yang kini menjadi miliknya—dan duduk. Jantungnya berdebar sangat kencang hingga ia takut Arga bisa mendengarnya.
Ia naik ke atas kasur dan langsung berbaring membelakangi Arga, menarik selimut sampai ke dagu. Tubuhnya kaku seperti papan.
Arga mematikan lampu utama. Kamar itu menjadi gelap, hanya diterangi cahaya bulan dari jendela besar.
Bunga bisa mendengar Arga naik ke tempat tidur di belakangnya. Ia bisa merasakan kasur itu sedikit bergerak.
Hening.
Hening yang paling memekakkan telinga. Ia bisa mendengar napas Arga yang teratur. Ia bisa mencium aroma tubuh Arga dari bantal di sebelahnya. Ini seribu kali lebih intens daripada di kamarnya.
"Maaf, Bunga," suara Arga memecah keheningan.
"Buat apa, Mas?"
"Buat ini," katanya. "Mas tahu ini nggak nyaman. Ini di luar perjanjian kita."
"Bukan salah Mas juga," bisik Bunga. "Ibu... nggak tahu."
"Dua minggu," kata Arga, seolah meyakinkan dirinya sendiri. "Kita cuma perlu bertahan dua minggu. Setelah mereka pulang, kamu bisa pindah lagi ke kamarmu."
Setelah mereka pulang. Bunga tiba-tiba merasa... sedih? Ia tidak tahu kenapa.
"Gimana kalau mereka mau nginapnya sebulan?" tanya Bunga.
Bunga mendengar Arga tertawa kecil, tawa yang kering dan lelah. "Jangan bikin Mas makin stres. Tidur."
Bunga mencoba tidur. Tapi bagaimana ia bisa tidur? Setiap sel di tubuhnya sadar bahwa suaminya—suami sah-nya—berbaring kurang dari setengah meter darinya.
Keesokan paginya, Bunga terbangun oleh suara alarm ponsel Arga pukul lima pagi.
Ia membuka matanya, bingung sejenak. Ini bukan kamarnya. Ia menoleh.
Sisi ranjang Arga... kosong.
Bunga terduduk. Panik. Kemana Arga?
Ia melompat dari tempat tidur dan berlari kecil keluar kamar.
Arga ada di dapur. Ia sudah mengenakan pakaian lari lengkap—kaus dry-fit dan celana pendek. Ia sedang meneguk sebotol air mineral.
"Mas?" panggil Bunga.
Arga menoleh. Wajahnya terlihat sedikit kuyu. "Pagi. Kamu bangun?"
"Mas Arga... nggak tidur?"
"Nggak bisa tidur," aku Arga jujur. Ia mengusap wajahnya. "Mas lari di gym bawah aja."
Bunga terdiam. Jadi... situasi ini sama sulitnya untuk Arga? Ia pikir hanya dirinya yang tersiksa. Ia pikir Arga, sebagai laki-laki, akan baik-baik saja. Tapi ternyata, Arga sama tertekannya.
"Mas... juga nggak nyaman, ya?" tanya Bunga pelan.
Arga menatapnya. "Bukan soal nyaman, Bunga. Ini soal... komitmen. Mas sudah janji sama kamu. Dan Mas harus berjuang keras buat menepatinya."
Pengakuan itu membuat Bunga tertegun. Jadi Arga juga... tergoda? Pikiran itu membuat wajah Bunga memanas.
"Sarapan ada roti di meja," kata Arga, mengalihkan pembicaraan, seolah ia baru saja mengatakan terlalu banyak. "Mas pergi dulu."
Ia berjalan melewatinya dan keluar dari unit.
Bunga berdiri sendirian di dapur. Ia menyentuh pipinya yang panas. Perjanjian mereka, yang awalnya adalah soal logika, kini mulai dimasuki oleh emosi dan... hasrat?
Minggu itu adalah minggu paling aneh dalam hidupnya. Mereka hidup sebagai "pasangan" sungguhan. Mereka bangun di kamar yang sama (meski Arga selalu bangun lebih dulu sebelum Bunga membuka mata). Mereka berbagi kamar mandi—Bunga selalu menemukan handuk Arga tergantung rapi di tempatnya, dan ia akan menggantung handuknya di sebelahnya.
Mereka menjadi tim yang solid. Sabtu paginya, mereka tidak bersih-bersih bergantian. Mereka bersih-bersih bersama. Arga menyedot debu, Bunga mengepel. Arga membersihkan kamar mandi master, Bunga membersihkan kamar mandi tamu.
"Nanti," kata Arga sambil mengelap kaca, "kalau Ibuku tanya, bilang aja kita memang bagi tugas. Biar kelihatan kompak."
'Jam Bimbingan' di meja makan tetap berlanjut. Tapi kini terasa berbeda. Setelah jam sepuluh, mereka tidak lagi berpisah ke kamar masing-masing. Mereka hanya membereskan buku mereka... dan berjalan ke kamar yang sama.
Kejadian di kampus pun terasa seperti di dunia lain.
Hari Senin, Reza menghampirinya di perpustakaan.
"Melati, hei. Gimana kabarnya?" Reza terlihat lebih santai, tapi tetap menjaga jarak.
"Baik, Kak."
"Soal proyek... tim developer suka banget. Mereka mau progress minggu depan. Kamu... sibuk?"
Bunga, yang kini pikirannya penuh dengan drama domestik, menjawab dengan sedikit linglung.
"Agak, Kak," katanya jujur. "Minggu ini dan minggu depan... 'wali' saya lagi banyak kerjaan, jadi saya harus bantu-bantu di rumah."
"Oh," Reza terlihat kecewa, tapi mengerti. "Walimu benar-benar arsitek, ya? Kelihatannya sibuk banget."
"Iya, Kak. Sibuk banget," kata Bunga.
"Ya sudah," kata Reza. "Kabari aja kalau kamu free, ya. Jangan sungkan minta tolong. Soal apa pun. Kalau walimu terlalu galak, kamu bisa curhat ke saya," candanya.
Bunga hanya tersenyum tipis. Curhat pada Reza tentang Arga? Itu seperti meminta bensin untuk memadamkan api.
Malam harinya, saat 'Jam Bimbingan', Bunga menceritakan itu pada Arga. (Kejujuran. Aturan pertama.)
"Mas, tadi Kak Reza nanyain progress."
"Hmm."
"Terus dia bilang, kalau Mas Arga galak, Bunga boleh curhat ke dia," kata Bunga, melirik reaksi Arga.
Arga berhenti mengetik. Ia menatap Bunga. "Kamu jawab apa?"
"Bunga senyumin aja."
"Bagus." Arga kembali mengetik. "Jangan pernah ceritakan masalah 'rumah' kita ke orang luar, Bunga. Terutama ke dia."
"Iya, Mas."
Malam itu, saat mereka bersiap tidur, Bunga memberanikan diri.
"Mas," panggilnya dalam kegelapan. Mereka berdua berbaring kaku, dipisahkan oleh 'Benteng Guling'.
"Ya?"
"Mas Arga... kok bisa setenang itu? Maksud Bunga, dengan kedatangan Ibu... Mas udah punya rencana."
Arga diam sejenak. "Dalam arsitektur," katanya, "kami menyebutnya contingency plan. Rencana darurat. Kamu harus selalu punya rencana B, C, dan D, kalau rencana A gagal. Kamu nggak bisa cuma berharap semua berjalan mulus."
"Jadi... Bunga ini rencana A?"
"Bukan," kata Arga pelan. "Kuliahmu itu rencana A. 'Perjanjian' kita ini adalah rencana B. Dan sekarang, kedatangan Ibu... ini adalah 'gempa bumi' yang nggak ada di perhitungan. Kita harus beradaptasi."
Bunga mencerna kata-kata itu. "Jadi, kita lagi 'beradaptasi'?"
"Iya. Kita lagi beradaptasi."
"Tapi... apa ini nggak terlalu jauh, Mas?" bisik Bunga. "Maksud Bunga... ini udah... kita udah bohong banget. Kita tidur sekamar. Kita pura-pura jadi pasangan."
Arga berbalik di kegelapan. Bunga bisa merasakan kasur bergerak. Ia tahu Arga kini menghadapnya.
"Terus kamu maunya gimana, Bunga?" tanya Arga, suaranya rendah. "Kita jujur sama Ibu? Kita bilang, 'Maaf, Bu, kita nikahnya pura-pura'? Kamu siap batal kuliah dan pulang kampung besok?"
Ancaman itu selalu berhasil.
"Nggak..." cicit Bunga.
"Kalau gitu, kita jalani," kata Arga. "Kita harus jual ceritanya. Kita harus jadi aktor terbaik. Ini bukan cuma demi kuliahmu lagi. Ini demi menjaga perasaan orang tua kita."
Bunga terdiam. Menjaga perasaan orang tua kita. Arga telah mengubah taruhannya.
"Oke," bisik Bunga. "Oke. Kita jadi aktor."
"Bagus," kata Arga. "Sekarang, ada satu hal lagi."
"Apa?"
Arga terdengar ragu. "Novel-novel romantis kamu yang ada di nakas itu..."
Wajah Bunga memerah di kegelapan.
"Pindahin ke rak di sebelah tempat tidurku," kata Arga.
"Mas! Jangan dibaca!"
"Mas nggak akan baca," kata Arga, nadanya terdengar geli. "Tapi Ibuku akan lihat. Dan kamar pengantin baru yang steril kayak kamar Mas itu... mencurigakan. Kita butuh 'properti' yang meyakinkan."
Bunga menutupi wajahnya dengan selimut. Arga tidak hanya seorang arsitek. Dia adalah seorang sutradara. Dan Bunga adalah aktris utamanya dalam sandiwara besar ini.
Dan yang paling menakutkan adalah... Bunga tidak tahu di mana batas antara akting dan kenyataan akan dimulai.