Prolog :
Nama ku Anjani Tirtania Ganendra biasa di panggil Jani oleh keluarga dan teman-temanku. Sosok ku seperti tidak terlihat oleh orang lain, aku penyendiri dan pemalu. Merasa selalu membebani banyak orang dalam menjalani kehidupan ku selama ini.
Jangan tanya alasannya, semua terjadi begitu saja karena kehidupan nahas yang harus aku jalani sebagai takdir ku.
Bukan tidak berusaha keluar dari kubangan penuh penderitaan ini, segala cara yang aku lakukan rasanya tidak pernah menemukan titik terang untuk aku jadikan pijakan hidup yang lebih baik. Semua mengarah pada hal mengerikan lain yang sungguh aku tidak ingin menjalaninya.
Selamat menikmati perjalanan kisah ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyesuaikan Diri
“Pagi Non…..” Sapa wanita paruh baya yang sedang menyiapkan makanan di atas meja makan. “Sarapan, Bibi sudah masak sayur sop dan iga panggang. Atau Nona Jani mau yang lain?” Jani menggelengkan kepalanya.
"Jani makan yang Bibi sudah masak saja Bi.” Jani segera duduk di kursinya, rumah tampak kosong pagi ini.
“Den Calvin sudah pergi jam enam tadi Non. Katanya sengaja tidak membangunkan Nona Jani karena Nona terlihat sangat kelelahan.” Bibi memberi tahu Jani yang terlihat mencari seseorang.
“Jani saja Bi panggilnya.” Bibi tersenyum.
“Mana boleh, Nona Jani biar Bibi tidak kena semprot Den Calvin.” Jani tersenyum.
Dia segera menikmati makanan yang sudah Bibi sajikan di depanya.
Jani tidak berani complain, takut jika Calvin juga marah padanya karena mengatur-atur apa yang sudah menjadi kebiasaan dirinya dan kehidupannya.
Jani mau jadi wanita yang penurut saja, tidak mau menyusahkan dan menarik perhatian Calvin karena berulah.
“Jani sudah selesai Bi…” Bibi segera menarik piring yang Jani bawa ke dapur. Dia memang berinisiatif ingin mencuci sendiri piring bekas makannya.
“Jangan ke sini-sini Non, biar Bibi saja yang ambil piring kotor dari meja makan.” Nada nya sedikit tinggi membuat Jani merasa bersalah.
“Maaf Bi…Jani hanya…”
“Tidak apa Nona, untuk apa minta maaf. Bibi yang salah karena tidak memperhatikan Nona dengan baik sampai jalan sendiri ke dapur seperti ini.”
Jani hanya menunduk merasa kebingungan, padahal yang dirinya lakukan tidak masalah seharusnya.
“Jani berangkat ya Bi.” Pamitnya yang di jawab anggukan kepala dan senyum yang begitu ramah.
Jani menghela nafasnya lega setelah berhasil meninggalkan dapur dan ketegangannya.
Kakinya segera melangkah menunju pintu keluar memperlihatkan kemegahan mension nya begitu luas. Yang dirinya tempati sejak malam hanya bagian kecil dari bangunan megah yang saat ini Jani tempati.
Seolah kamar yang mereka tempati seperti rumah utama padahal itu hanya bagian kecil dari bangunan yang Jani lihat dengan mata kepalanya sendiri.
“Non…Nona…” Jani tersadar, Jani tersenyum menyapa wanita cantik berseragam serba hitam yang berdiri di depannya. “Silahkan lewat pintu utama Nona.” Jani mencari pintu yang wanita itu maksud.
Ahhh….itu lift yang semalam dirinya naiki untuk sampai ke kamarnya ini. “Maaf aku salah pintu Kak.” Jani segera pergi menuju lift.
“Rumah apa yang sebesar ini ya Tuhan….ini bisa untuk tinggal satu komplek orang yang ada di perumahan Mas Angga. Besar sekali ya Tuhan.”
Bicara sendiri terkagum kagum dengan kemegahan bangunan yang dirinya lihat.
Lift nya menggunakan sensor wajah, Jani tanpa memencet apapun suda sampai di lobby utama.
Jani segera keluar, ada mobil hitam yang sudah menunggunya lengkap dengan supir pribadi yang tersenyum ramah di dekat pintu mobil.
“Selamat pagi.” Sapa Jani canggung. Dirinya belum terbiasa dengan kemewahan dan kemegahan yang di suguhkan ini.
Bagaimana hidupnya yang miskin dan menyedihkan itu tiba-tiba saja tergantikan dengan kemegahan dan kemewahan yang di luar nalarnya berfikir.
Jani merasa terharu sekaligus bahagia, berterimakasih pada Tuhan yang begitu baik memberinya kehidupan yang begitu sempurnya ini.
“Silahkan Non, saya antarkan ke kampus Nona.” Jani segera melangkah memasuki mobil yang pintu nya sudah di bukakan oleh Pak Supir yang baik hati.
“Pak mau permen tidak? Jani punya dua Pak.” Tawar jani yang ingin memakan permennya agar tidak mual.
“Tidak Non, terimakasih banyak.”
Jani mengurungkan niatnya yang ingin makan permen. Wangi sekali mobil ini, Mungin memang tidak ada yang makan di dalam mobil. Jani menaruh kembali permennya ke dalam tas.
"Di makan saja Nona, saya bisa bersihkan agar Pak Calvin tidak mencium baunya nanti."
Benar saja, pantas mobilnya begitu rapih dan wangi. Jani jadi ingat kebiasaannya makan di dalam angkot saat menuju kampus.
"Tidak Pak, nanti saja Jani makan permen Jani.” Jani lagi-lagi meras atidak enak hati. “Ngomong-ngomong siapa Nama Bapak?"
"Panggil Pak Supir saja Non." Jani tidak percaya bahkan nama mereka saja tidak boleh di ekspos. Pantas saja Bibi tidak memperkenalkan diri, dia langsung menyapa Jani saja seperti sudah kenal lama.
Ahhhh...aku tidak akan memikirkan semua itu, yang terpenting Calvin tidak menyakitiku. Kehidupanya tidak boleh membuat ku bingung seperti ini. Biarkan saja Jan.
Jani menyandarkan kepalanya di kursi mobil, menikmati pemandangan jalanan yang tampak asing. Jalanan yang sebelumnya tidak pernah Jani tahu adanya.
Jani menegakkan duduknya, mendekat ke kursi depan memperhatikan sekali lagi jalanan asing yang sedang dirinya lalui.
"Pak....ini bukan jalan menuju kampus ku Pak. Salah Pak."
Pak supir menyalakan sen kirinya dan menepi di bahu jalan. Memeriksa pesan yang dirinya terima pagi tadi.
"Kampus Cendekia bukan Non? Ini yang Pak Calvin informasikan pagi tadi."
"Bukan Pak, nama Kampus ku Universitas Bramudya. Ini mah kampus mahal Pak, bukan ini, salah Pak."
"Tapi Non." Pak Supri nampak khawatir jika merubah rute dan tidak mengindahkan perintah Calvin.
Jani menunggu Pak Supir yang turun dari kemudinya menghubungi seseorang. Dia sampai menunduk nunduk seolah sedang berbicara dengan orang yang sangat dirinya segani.
Jani menunggu jawaban setelah Pak Supir kembali masuk dan duduk di kursi kemudinya.
“Kita tidak salah arah Nona, benar ke sini tujuan kita.” Jani lemas, ini tidak seperti kesepakatan yang mereka sudah tanda tangani.
Tidak ada pembicaraan soal kepindahan dirinya ke kampus baru ini, Jani bigung dan hanya bersandar pasrah sambil mencoba menetralkan amarahnya yang benar-benar memuncak menghadapi ketegangan demi ketegangan sejak pagi tadi.
Mobil sudah berhenti, Pak Supir membukakan pintu untuk Jani.
“Silahkan Nona.” Jani melangkah turun dengan bingung. Lagi-lagi ada yang menyapanya dengan begitu ramah meski baru pertama bertemu.
“Selamat datang di kampus kesayangan kami, perkenalkan nama saya Hartono rektor kampus yang baru menjabat dua tahun ini.”
“Anjani.” Jawab Jani ramah.
Jani mengikuti langkah Pak Rektor yang bicara banyak hal memperkenalkan kampus pada Jani yang masih kebingungan. Isi kepalanya bercampur aduk degan banyak perasaan yang membuat nya sedikit mual.
Pak rector berhenti mendengar Jani terbatuk-batuk di belakangnya.
“Pak…Maaf, boleh Jani ke toilet sebentar?”
“Silahkan, perlu saya antar?”
“Tidak perlu Pak.” Jani segera lari menuju toilet yang ada di ujung lorong mengikuti tanda.
Jani memuntahkan isi perutnya. Lemas sekali menghadapi semua kejadian hari ini yang menyita banyak emosinya. Belum siap dengan banyak perubahan yang harus Jani jalani. Mencoba menyesuaikan diri tapi ternyata tubuhnya merespon dengan penolakan.
Jani mencoba menghubungi Mas Angga. Ingin marah dan mengadukan semua yang Calvin lakukan pada dirinya.
“Mas Angga….Kak Gina….Adek Quin sayang…” Jani mengusap layer ponselnya.
Jani mengurungkan keinginan nya setelah melihat foto keluarga kecilnya di layar ponselnya. Mereka tampak bahagia sekali.
Jani mencari pintu keluar lain, dia ingin kabur mencari keadilan untuk hidupnya yang sudah Calvin ambil. Tidak mau menerima begitu saja, Jani ingi protes dengan keputusannya yang sebelah pihak ini.
"Taksi...." Jani menghentikan taksi yang dirinya lihat setelah berhasil keluar dari kampus.
Jani tidak mau pasrah begitu saja, setidaknya dirinya harus bicara jika memang tidak suka dengan tindakan Calvin.
Taksi berhasil Jani hentikan, langkahnya yang terburu-buru membuat kakinya membentur trotoar yang cukup menyakitkan untuk jempol kakinya. Jani mengaduh kesakitan memegangi jempolnya.
“Tidak apa-apa Kak?” Tanya supir taksi yang turun dari mobilnya, ikut kaget dan khawatir karena Jani cukup keras menabrak trotoar tadi.
“Akhhhhh….Hehehehe….gak papa Pak.” Jani mencoba terlihat baik-baik saja.
“Beneran Kak? Kenceng loh tadi.”
“Bener Pak….gak papa Kok.” Sendal Jani cukup tipis, tidak bisa melindungi kakinya untuk tidak merasakan sakit.
“Mau ke dokter dulu tidak Kak, takut bahaya.”
“Gak perlu Pak, aku mau ke Gedung Berdikari Pak.” Supir taksi segera meluncur ke tempat Anjani mau datangi.
Hanya keheningan yang menemani perjalanan mereka sampai di depan Gedung megah yang tinggi menjulang begitu gagah.