Cewek naif itu sudah mati!
Pernah mencintai orang yang salah? Nainara tahu betul rasanya.
Kematian membuka matanya, cinta bisa berwajah iblis.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua, kembali ke sepuluh tahun lalu.
Kali ini, ia tak akan menjadi gadis polos lagi. Ia akan menjadi Naina yang kuat, cerdas, dan mampu menulis ulang akhir hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22.
Tidak peduli dengan guru yang mungkin sedang mengajar di kelas mereka, Aaron dan Raka sekarang berdiri di rooftop seperti biasa. Pandangan Aaron terus tertuju ke arah lapangan, di mana kelas XII A sedang ada pelajaran olahraga di luar ruangan yang menguras tenaga.
Cowok itu tersenyum penuh arti, lalu turun dari sana dengan langkah santai.
"Eh, mau ke mana Aaron?" tanya Raka ikut mengekor di belakang.
"Belikan satu botol air," titahnya singkat.
Raka mengangguk, kemudian berlari ke arah kantin.
Hingga saat kegiatan olahraga selesai, Aaron melangkah ke arah di mana Naina berdiri seorang diri di halaman belakang, bersandar di kursi taman.
"Butuh air?" dia menyodorkan sebotol air mineral yang baru saja dibeli.
Naina sempat menoleh sekilas, sedikit terperangah karena ini bisa dibilang pertama kalinya Aaron berinisiatif menghampirinya. Lupakan soal itu, buru-buru gadis itu meraih botol air lalu meneguk isinya sampai habis. Memang dari tadi dia benar-benar haus.
"Haus banget ya?" tanya Aaron berusaha memulai topik. Nada suaranya agak kaku, karena tidak biasanya dia menurunkan egonya sejauh ini hanya untuk kembali merebut perhatian Naina seperti dulu.
Naina tidak menjawab. Hanya tangannya yang bergerak kecil, mengusap keringat tipis yang masih tersisa di pelipisnya.
"Pakai ini!"
Naina sontak tersentak, dua sapu tangan dari arah berbeda disodorkan bersamaan kepadanya. Dari sebelah kiri ada Aaron, dari kanan ada Julian… dengan senyum manisnya.
Haiss, rasanya kayak jadi pemeran utama drama romantis China, di mana cewek diperebutkan dua cowok sekaligus. Meski wajahnya datar, tapi dalam hati Naina sempat berbisik.
Pandangannya bergantian menatap dua cowok itu. Astaga, kenapa Aaron kelihatan tampan banget hari ini? Secepat kilat dia menggeleng, menepis pikirannya sendiri.
"Makasih," ujarnya pelan, mengambil sapu tangan dari Julian.
Aaron menahan kekecewaan, senyum tipisnya terlihat dipaksakan. Padahal dalam hati, dia ingin sekali melayangkan pukulan ke arah Julian saat itu juga.
"Sini, aku bantu." Julian dengan santainya meraih sapu tangan itu, lalu mengusap perlahan pelipis Naina. Sederhana, tapi kelihatan romantis sekali.
"Sudah." Julian menarik tangannya pelan.
Naina hanya diam, tapi tatapan matanya terkunci dengan Julian sepersekian detik lebih lama.
...----------------...
"Khemm!" deheman keras dari Aaron memutus momen itu.
"Eh, masih di sini?" tanya Julian, nada suaranya terdengar menyindir.
"Kamu nggak ada kelas, Aaron?" lanjut Naina, baru sadar kalau Aaron sendirian tanpa teman-temannya.
Aaron tidak langsung menjawab, dia hanya memperbaiki posisi duduk, sedikit mendekat ke arah Naina.
"Tidak ada!" ucapnya singkat, jelas-jelas berbohong.
"Yaelah, pantas aja lo pindah ke kelas F, ternyata suka bolos juga!" timpal Julian, kali ini benar-benar memancing.
"Bukan urusan kamu!" balas Aaron, mencoba menahan diri.
"Tapi kamu harusnya ikut kelas, Aaron. Apalagi yang aku dengar kamu mau ikut ujian beasiswa berprestasi, kan? Eh, kalau otak kamu memang mampu sih..." ucapan Julian makin tajam. Naina bisa lihat jelas sekelebat amarah di wajahnya.
"Kamu kenapa?" tanya Naina heran, lalu menggenggam tangan Julian, berusaha menenangkan.
"Nggak apa-apa. Ayok!" Julian menarik Naina, ingin segera pergi.
"Naina, ada yang mau aku omongin sama kamu. Boleh nggak minta waktunya sebentar?" Aaron menahan langkah mereka.
Naina terdiam sejenak, melirik Julian lalu kembali ke Aaron.
"Lain kali aja ya, kalau itu penting banget. Tapi kalau nggak penting, nggak usah," ujarnya tegas, lalu melangkah lagi bersama Julian.
Aaron mengepalkan tangannya kuat. "Kau cemburu? Tidak... aku nggak akan biarin Naina jatuh cinta sama Julian!" geramnya, melangkah kembali ke kelas dengan wajah merah padam.
.
.
"Ada masalah?" tanya Naina yang kini duduk santai di kantin bersama Julian. Cowok itu tidak langsung menjawab, hanya menatap Naina begitu dalam.
"Kamu masih suka sama Aaron?" tanyanya pelan, nyaris seperti tengah menyadarkan posisinya sendiri.
"Kelihatannya gimana?" Naina balik bertanya.
"Tapi kamu menerima air yang dia kasih tadi," sahut Julian pelan.
Naina tersenyum tipis. "Kamu cemburu ya? Emang teman boleh cemburu?" godanya dengan senyum usil.
Julian mengalihkan pandangannya, berusaha menyembunyikan ekspresi. Sial. Apa aku cemburu? gerutunya dalam hati.
"Hmm, cemburu kan? Ayolah, Julian, aku tuh nerima minuman dari Aaron karena memang benar-benar haus tadi!" jelas Naina, yang memang tidak bermaksud apa-apa.
"Oh," jawab Julian singkat.
"Hanya oh doang?" protes Naina dengan mata membulat.
"Lantas, harusnya gimana?" balas Julian, kali ini tersenyum puas karena berhasil membuat gadis itu kesal.
"Ah, ya sudahlah! Mending aku cari Zora aja. Kemana sih cewek itu, dari tadi nggak kelihatan..." Naina bangkit, meninggalkan Julian di sana.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...