Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11. PANIK
Malam di Los Angeles tidak pernah benar-benar tidur. Lampu jalan berbaris bagai bintang-bintang buatan manusia, menghiasi aspal hitam yang tak pernah sepi dari deru mesin. Evan menatap ke depan, matanya sedikit lelah setelah seharian penuh duduk di kantor, bergelut dengan berkas-berkas yang selama berminggu-minggu ia abaikan. Tangannya menggenggam setir dengan tenang, sementara di kursi penumpang berserakan map, dokumen, dan catatan kecil yang ia bawa pulang, sekadar pengingat betapa hidupnya selalu penuh tuntutan.
Ia menghela napas panjang. Musik jazz mengalun pelan dari speaker mobil, menenangkan pikiran yang nyaris jenuh. Setiap nada saksofon yang terdengar seakan menjadi pengiring perjalanan pulang malam itu, menenun perasaan damai di tengah riuh kota. Dari jendela, ia bisa melihat orang-orang yang masih berkeliaran: pasangan muda yang berjalan bergandengan tangan, sekelompok pemuda yang tertawa keras di depan sebuah bar, dan seorang pria tua yang menutup tokonya dengan gerakan lambat penuh rutinitas.
"Los Angeles memang tidak pernah kehabisan napas," gumam Evan sambil tersenyum tipis, seakan berbicara kepada dirinya sendiri.
Ia sudah membayangkan betapa nyamannya merebahkan tubuh di sofa apartemennya, mungkin menuang segelas bourbon, lalu menyalakan televisi hanya untuk membiarkan suara-suara latar menemani rasa lelahnya. Sesuatu yang sederhana, tapi selalu terasa mewah bagi seseorang yang hari-harinya dihabiskan dalam ketegangan dan tekanan.
Namun, kedamaian itu hanya berlangsung sebentar.
Nada dering ponselnya tiba-tiba memecah keheningan dalam mobil. Getarannya terasa menembus dashboard, menuntut perhatian seolah berita penting tengah mengetuk. Evan melirik ke layar, mengira bahwa nama yang akan muncul pastilah Deren atau Clara, dua orang yang akhir-akhir ini paling sering menghubunginya. Tapi ketika matanya menangkap nama Lucia tertera di sana, sebuah senyum refleks merekah di wajahnya. Ada kilasan rasa hangat yang mendadak menyeruak, membuat lelahnya seperti sirna.
"My Lucy?" gumamnya, hampir tak percaya.
Ia menekan tombol hijau tanpa pikir panjang. "Halo, Lucy-"
Namun kata-kata Evan terputus oleh suara di seberang sana.
"Evan, tolong aku ... ada orang yang mengikutiku. Aku takut sekali," kata Lucia dengan suara pecah, gemetar, disertai desah napas terburu
Darah Evan seketika terasa membeku. Senyumnya lenyap digantikan ketegangan yang menusuk jantung. Matanya menajam, tubuhnya menegang di balik kemudi.
"Lucy, tenang. Dengarkan aku," ucapnya cepat tapi lembut, mencoba menyalurkan kekuatan melalui suaranya. "Kau di mana sekarang?"
"Aku baru saja keluar dari tempat kerja, aku jalan kaki pulang, tapi dari tadi ada seseorang di belakangku. Setiap kali aku mempercepat langkah, dia juga ikut cepat. Aku ... aku benar-benar takut, Evan," jawab Lucy.
Suara Lucia terdengar terisak, hampir menangis. Dentuman sepatu dan helaan napasnya yang berat ikut terdengar di balik sambungan telepon, membuat Evan bisa membayangkan betapa paniknya gadis itu.
"Lucy, dengarkan aku baik-baik," Evan menggertakkan giginya, mencoba berpikir jernih di tengah gelombang panik yang menghantam dirinya. "Sekarang kau ada di jalan mana?"
"Di dekat persimpangan ... ada halte, aku lihat ada neon sign toko minuman di seberangnya. Aku-" suara Lucia terputus oleh helaan napas cepat. "Dia masih mengikutiku."
Evan langsung mengenali lokasi itu. "Baik, dengarkan aku. Segera ke halte itu. Di sana pasti lebih ramai, lebih terang. Jangan berhenti. Jangan menoleh ke belakang. Aku akan datang ke sana secepat mungkin."
"Tapi, Evan-"
"Tidak ada tapi, Lucia!" suaranya meninggi, bukan karena marah, tapi karena panik. "Pergi ke halte itu sekarang. Aku dalam perjalanan. Kau harus tenang, oke. Aku akan datang. Aku janji."
Ia tidak menunggu jawaban lagi. Evan langsung menginjak pedal gas dalam-dalam, mesin mobil meraung kencang menembus jalanan Los Angeles.
Pikiran Evan berputar cepat. Ia membayangkan Lucia berjalan sendirian di trotoar malam, dengan bayangan hitam membuntutinya. Ketakutan yang terdengar jelas dalam suara gadis itu menusuk hatinya. Rasa panik yang jarang ia alami meledak begitu saja.
"Bertahanlah, Lucy ... aku akan sampai sebelum sesuatu terjadi," desisnya pada diri sendiri.
Mobil Evan meluncur kencang, menembus jalanan malam yang berkilau oleh cahaya lampu kota. Setiap detik terasa panjang, seakan waktu sendiri bersekongkol untuk memerlambat langkahnya menuju Lucia. Tangannya mencengkeram setir lebih erat, jantungnya berdetak keras, bergema dalam dada seolah mengikuti irama mesin mobil yang meraung di bawahnya.
Di telinganya, suara Lucia yang ketakutan masih terngiang-ngiang. Napas terputus-putus, kalimat terbata, dan desah panik itu, semuanya menusuk sampai ke sumsum tulangnya. Evan bukan pria yang mudah panik, hidupnya penuh disiplin dan kendali. Tapi kali ini berbeda. Kali ini yang berada dalam bahaya adalah seseorang yang begitu berarti baginya.
Sementara itu, di ujung kota yang berbeda, Lucia berjalan cepat di trotoar yang mulai sepi. Lampu jalan memang masih menyala, tapi cahaya kuning redupnya tak cukup membuat hati terasa aman. Bayangan panjang tubuhnya menari di aspal, bergandengan dengan bayangan lain yang selalu mengikuti. Setiap langkahnya seperti gema yang dipantulkan dari langkah orang asing di belakangnya.
Ia menoleh sekilas. Sosok itu masih ada.
Tubuh tinggi, mengenakan hoodie gelap dengan wajah tersembunyi di balik bayangan. Tidak ada kata, tidak ada jarak yang dibiarkan aman, selalu dalam jangkauan, selalu cukup dekat untuk membuat bulu kuduknya meremang.
Lucia menggigit bibir, menahan tangis. Tangannya yang memegang ponsel gemetar. Evan masih di seberang sana, suaranya berusaha setenang mungkin.
"Aku sudah hampir sampai. Tenang Lucy. Hanya beberapa menit lagi. Fokus pada halte di depanmu," ucap Evan yang lebih cocok untuk menenangkan dirinya sendiri.
Lucia menatap lurus ke depan. Benar, halte itu tampak hanya beberapa meter lagi, cahaya neon papan iklan di atasnya menyala terang. Ada dua orang yang sedang duduk di bangku halte, seorang pria paruh baya dan seorang wanita muda yang sibuk menunduk menatap ponsel. Kehadiran mereka bagai oasis di tengah padang pasir ketakutan.
Namun langkah Lucia terasa berat, seolah jalanan memanjang ribuan meter. Setiap detik menambahkan beban ke kakinya, setiap tarikan napas seperti diikat oleh tali ketakutan.
Sosok di belakangnya tetap mengikuti. Tidak memercepat langkah, tapi juga tidak berhenti. Hanya menjaga jarak itu ... jarak yang cukup untuk membuat teror merayap.
Lucia menelan ludah. "Evan, aku takut."
"Dengarkan aku," suara Evan terdengar jelas, tegas, tapi hangat. "Kamu bisa. Satu langkah lagi, lalu langkah berikutnya. Jangan biarkan ketakutan menguasaimu. Aku di sini. Aku sedang dalam perjalanan. Bayangkan aku ada di sampingmu sekarang."
Lucia memejamkan mata sesaat, membiarkan suara itu meresap. Ada kekuatan aneh yang membuatnya melangkah lagi, meski lututnya gemetar.
Langkah demi langkah, ia mendekati halte. Suara detak jantungnya begitu keras hingga menutupi segala suara lain, deru mesin mobil, suara sepatu orang asing, bahkan deru angin malam.
Lucia hampir menangis, tapi kakinya terus melangkah. Beberapa detik kemudian ia sampai di halte, berdiri di bawah cahaya terang, tepat di samping dua orang asing yang ada di sana.
Pria paruh baya itu menoleh sekilas, terlihat heran melihat seorang gadis muda yang pucat, gemetar, dengan ponsel di tangan. Wanita muda di sebelahnya juga ikut menatap.
Lucia berusaha menenangkan napas.
"Aku ... aku di halte sekarang, Evan," kata Lucia, suaranya lirih, tapi ada sedikit kelegaan.
Evan, yang kini sudah melajukan mobilnya ke arah itu, menarik napas berat. "Bagus. Jangan ke mana-mana. Tetap di sana. Aku hampir sampai."
Lucia menunduk, mencoba menyembunyikan wajah paniknya. Ia bisa merasakan tatapan dari kejauhan, sosok misterius itu tidak ikut mendekat ke halte, tapi berhenti beberapa meter di belakang, berdiri di bawah bayangan pepohonan, menatap lurus ke arahnya.
Lucia menggigil. Sosok itu tidak pergi. Tidak juga bergerak. Hanya berdiri. Mengawasi.
Di sisi lain, Evan menambah kecepatan. Tangannya berkeringat di setir, matanya fokus penuh. Setiap lampu merah terasa seperti penghalang yang tak masuk akal. Ia mengabaikan klakson orang lain, menyalip mobil-mobil dengan nekat.
Hanya ada satu hal di pikirannya: Lucia harus selamat.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih