Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Dior SS24
"Kamu yakin mau menghadiri undangan ulang tahun Gendis?" tanya Noah sambil menyandarkan lengan atasnya pada kusen pintu kamar Ivy yang terbuka.
"Hm, kamu nggak usah khawatir. Kamu tahu aku ini seperti apa. Aku pandai berkamuflase dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar." Ivy tersenyum lebar sambil mengulaskan lisptik pada bibir tipisnya.
"Oh, jadi kamu sejenis bunglon?" ejek Noah.
"Tentu saja bukan, Tuan!" Ivy beranjak dari meja rias kemudian berjalan mendekati Noah.
"Aku ini siluman!" ujar Ivy sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Noah.
Noah sempat terkesima. Dia tanpa sadar menahan napas sehingga membuat wajahnya berubah kemerahan. Ivy yang menyadari perubahan wajah Noah akhirnya menjauhkan wajah dari Noah.
"No, kamu demam?" tanya Ivy sambil berusaha menyentuh dahi Noah.
Akan tetapi, Noah menepis lengan Ivy. Lelaki tersebut menelan ludah kasar, lalu menegakkan badan. Dia membuka satu kancing kemeja sebelum akhirnya menjawab Ivy.
"Nggak, mana ada demam? Aku sehat! Sana segera pergi! Gendis paling tidak suka menunggu! Kalau sampai terlambat, mood-nya bisa berantakan dan acara akan kacau."
"Wah, ternyata kamu kenal betul sama Gendis! Jangan-jangan kamu suka sama dia atau memang Gendis itu cinta pertamamu!" terka Ivy.
Noah terdiam seketika. Ada rasa tak suka yang kini terlukis di wajah lelaki tersebut. Senyum Ivy mendadak luntur ketika melihat ekspresi Noah.
Noah terdiam dan mulai menelisik ekspresi wajah Ivy. Dia tersenyum miring, kemudian mencondongkan tubuh ke arah istrinya tersebut. Noah membelai wajah Ivy yang kini merah padam.
"Kalau iya, kenapa?"
"Bu-bukan urusanku juga, sih! Kamu nggak perlu jawab!" seru Ivy terbata-bata.
"Kamu cemburu?" terka Noah
"Hah, mana ada!" ujar Ivy gugup.
Perempuan tersebut mendorong tubuh Noah kemudian berjalan cepat menuruni anak tangga. Noah menyandarkan lengan atasnya lagi pada kusen pintu. Dia terkekeh melihat Ivy yang mendadak gugup.
"Dia lucu kalau kehilangan keberanian dan rasa percaya dirinya!" gumam Noah.
Namun, sedetik kemudian lelaki tersebut mengerjap. Dia memukul kepala sebelum akhirnya berdeham. Noah melangkah pergi dari kamar Ivy setelah menutup pintunya.
"Kayaknya otakku agak nggak beres!" Noah bergidik sambil melangkah pelan menuruni anak tangga.
Di sisi lain, Ivy sedang mengendarai mobil pemberian Noah minggu lalu. Perempuan tersebut sesekali bersenandung ketika melajukan mobil sedan merah itu di antara lalu lintas padat kota Surabaya. Hanya membutuhkan waktu 45 menit untuk bisa sampai ke kediaman Gendis.
Begitu memarkirkan mobil, seorang perempuan muda dengan pakaian pelayan ala keluarga bangsawan menghampirinya. Bibirnya tersenyum, tetapi mata perempuan tersebut seperti tengah meremehkan Ivy.
"Mari ikuti saya, Nyonya." Perempuan itu berjalan dengan dagu sedikit diangkat.
Ivy hanya tersenyum miring melihat tingkah perempuan tersebut. Kediaman Gendis bergaya ala Eropa klasik. Begitu pintu depan terbuka, Ivy langsung terpukau.
Ruang tamu terlihat seperti potret keanggunan masa lalu yang dibingkai dalam sentuhan modern. Gaya Eropa klasik begitu terasa dari dinding panel kayu yang dicat putih gading dengan list emas halus, dan langit-langit tinggi berhias lampu gantung kristal yang berkilau tenang. Sofa berbahan beludru abu-abu keperakan tersusun rapi di atas karpet Persia berwarna pastel lembut, sementara meja kopi dari marmer putih berdiri anggun di tengahnya, dihiasi vas kristal berisi mawar segar.
Di sudut ruangan, sebuah perapian marmer dengan ukiran lembut menambah kesan hangat, meski kini hanya sebagai hiasan. Rak buku simetris berdiri di sisi kanan, dipenuhi novel-novel lawas dan bingkai foto keluarga, memperkuat nuansa rumah yang hidup, bukan sekadar pameran gaya.
"Sebelah sini, Nyonya," kata pelayan menunjukkan jalan menuju sebuah lorong terbuka.
Lorong itu mengarah ke belakang rumah, lantainya dari parket kayu yang hangat di bawah kaki, dan di dindingnya tergantung lukisan-lukisan lanskap bergaya klasik yang seolah menggiring langkah dengan tenang. Tirai tipis linen putih menari lembut diterpa angin dari jendela besar yang menghadap taman.
Pintu kaca bergaya Prancis terbuka ke arah taman belakang yang dipersiapkan untuk pesta kebun. Lampu-lampu gantung kecil bergelantungan di antara dahan-dahan pohon zaitun muda, memancarkan cahaya kekuningan yang hangat saat sore mulai turun. Di bawahnya, meja-meja bundar dengan taplak renda putih tersusun rapi, dihiasi lilin dan bunga peoni. Angin sore membawa wangi rumput basah dan teh chamomile, menyatu dalam harmoni yang nyaris tak terucapkan.
Segalanya tampak begitu sempurna, elegan, tenang, dan memukau. Sebuah tempat yang cocok untuk cinta tumbuh diam-diam, di antara tawa para tamu, clink gelas-gelas kristal, dan kerlingan mata yang mungkin tertangkap tak sengaja.
"Ivy!" seru Gendis dengan tawa sumringah.
Perempuan tersebut berjalan cepat ke arah Ivy. Dia menggandeng lengan Ivy dan mengajaknya bergabung dengan tamu undangan lain. Hanya ada sekitar puluhan orang di sana.
Pesta terkesan klasik, privat, dan elegan. Semua memakai pakaian bermerk atau berasal dari desainer ternama luar negeri. Ivy tersenyum tipis berusaha menyesuaikan diri dengan mereka.
"Halo, teman-teman! Perkenalkan dia Ivy, istri Mas Noah!" Gendis tampak begitu bersemangat ketika memperkenalkan tamu spesialnya hari itu kepada yang lain.
Hanya senyum tipis yang diberikan oleh teman-teman Gendis. Ivy pun merasa cukup membalas mereka dengan sebuah senyum samar dan anggukan kecil. Setelah itu Gendis berpamitan untuk menyapa tamu lain yang baru datang.
Ivy memilih untuk meninggalkan kumpulan serigala betina yang seakan bersiap untuk menerkamnya itu. Perempuan tersebut berjalan ke arah meja yang penuh dengan minuman serta kudapan. Ivy mengambil sebuah piring kecil dan mengisinya dengan sepotong cheescake.
Saat balik kanan, tiba-tiba seorang wanita seusianya ada di belakang Ivy. Tanpa sengaja, krim pada potongan kue mengotori gaun wanita tersebut. Ivy pun terbelalak.
"Aduh! Apa-apaan ini?" seru perempuan bernama Mega itu.
"Maaf, Mbak. Saya nggak sengaja." Ivy meletakkan piringnya ke atas meja, kemudian berusaha menghapus noda krim pada gaun perempuan itu menggunakan sapu tangan yang dia bawa.
Namun, belum sempat niat baik Ivy terlaksana, Mega mencekal pergelangan tangan perempuan tersebut. Tatapan Mega terlihat mengejek pada sapu tangan bermotif kotak-kotak yang ada dalam genggaman Ivy. Dia terkekeh sebelum akhirnya menelan kembali senyumannya.
"Jauhkan sapu tangan tuamu itu dari tubuhku! Aku ngeri benda itu malah semakin mengacaukan gaunku!" ujar Mega sambil perlahan melepaskan lengan Ivy.
"Ah, saya benar-benar minta maaf, saya nggak sengaja." Ivy memasang wajah penuh penyesalan.
Sebenarnya Ivy merasa tak enak hati. Dia terus menunduk, berusaha merendah. Namun, kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir Mega membuat Ivy tersulut.
"Kamu tahu ini gaun dari brand mana? Kata maaf nggak akan cukup untuk mengganti kerisakan yang kamu buat! Harga gaun ini lebih dari 800 juta!" ujar Mega sambil melotot.
Ivy masih terdiam. Dia membiarkan Mega tetap bersikap semena-mena. Perempuan itu terus mengoceh, sementara Ivy hanya diam sambil menatap gaun yang dikenakan oleh Mega.
"Ini edisi terbatas gaun Dior SS24! Terbuat dari kain móire dan permata swarovski asli!"
"Benarkah?" Ivy mulai terlihat panik dan mencondongkan tubuh ke depan.