Lian shen ,seorang pemuda yatim yang mendapat kn sebuah pedang naga kuno
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dwi97, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hutan Bayangan Abadi
Kabut merah yang menelan Shen dan Lin Feng perlahan memudar, digantikan oleh kegelapan pekat. Ketika pandangan mereka kembali jernih, keduanya mendapati diri berada di sebuah hutan asing. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan batang hitam dan daun keperakan, berkilauan samar di bawah cahaya bulan yang tidak nyata.
Suasana hutan itu aneh—hening, namun penuh tekanan. Tidak ada suara burung, tidak ada desiran angin. Yang terdengar hanya detak jantung mereka sendiri, diperbesar oleh kesunyian yang menyesakkan.
Lin Feng melirik sekeliling dengan gelisah. “Ini... bukan hutan biasa. Rasanya seperti ada ribuan mata yang menatap kita.”
Shen menunduk, menyentuh tanah. Tanahnya lembap, seperti lumpur bercampur darah kering. Ia mendapati bekas tapak kaki, banyak sekali, namun semuanya mengarah ke dalam hutan tanpa ada jejak keluar.
“Tempat ini disebut Hutan Bayangan Abadi,” gumam Shen, mengingat cerita-cerita kuno yang pernah ia dengar. “Siapa pun yang masuk... jarang bisa keluar. Karena bayangan mereka sendiri akan memburu sampai jiwa terkoyak.”
Lin Feng menelan ludah, wajahnya menegang. “Bagus sekali. Kita baru saja lolos dari kabut merah, sekarang harus melawan diri sendiri lagi?”
Shen tidak menjawab. Ia berdiri, pedangnya siap, lalu melangkah masuk ke antara pepohonan. Lin Feng mengikuti di belakang, meski langkahnya ragu.
Semakin jauh mereka berjalan, semakin aneh suasana hutan itu. Bayangan pepohonan di tanah bergerak sendiri, memanjang dan menyusut seolah hidup. Sesekali, bayangan mereka sendiri terlepas beberapa langkah, berjalan dengan gerakan berbeda sebelum menyatu kembali.
Tiba-tiba, Lin Feng berhenti. “Shen... lihat.”
Di depan mereka, berdiri sosok hitam yang menyerupai Lin Feng, lengkap dengan pedang di tangannya. Sosok itu menatap dengan mata kosong, lalu tersenyum miring.
“Bayangan...” Shen bergumam.
Sebelum mereka bisa bereaksi, bayangan itu menyerang. Pedang hitam beradu dengan pedang Lin Feng, menciptakan percikan cahaya keperakan. Pertarungan sengit pecah—dan segera, bayangan Shen juga muncul dari balik pohon, menebas dengan gerakan yang sama persis dengannya.
“Sekali lagi kita dipaksa melawan diri sendiri,” desis Shen, mengangkat pedangnya.
Namun kali ini berbeda. Bayangan mereka bukan hanya meniru teknik, tapi juga pikiran. Setiap kali Shen berniat menusuk, bayangannya sudah lebih dulu mengantisipasi. Setiap langkah Lin Feng, bayangannya bergerak dengan kecepatan serupa.
Pertarungan berlangsung sengit, suara pedang beradu menggema di hutan. Keringat bercucuran, napas terengah. Shen mulai frustrasi. Kalau begini, sampai kapan pun kita tidak akan menang.
Saat itulah ia menyadari sesuatu. Bayangan itu meniru gerakan, ya, tapi juga kelemahan mereka. Saat Shen kehilangan keseimbangan sebentar, bayangannya ikut goyah.
“Feng! Dengarkan aku!” teriak Shen di tengah duel. “Bayangan kita meniru semua—bahkan kelemahan kita! Kalau kita bisa menipu diri sendiri, kita bisa menipu mereka!”
Lin Feng menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Mengerti.”
Mereka berpura-pura goyah, mengayunkan pedang dengan arah yang salah. Bayangan mereka meniru refleks itu, membuat celah terbuka. Dengan serangan cepat, Lin Feng menusuk dada bayangannya, sementara Shen menebas bayangannya sendiri.
Bayangan- bayangan itu hancur menjadi asap hitam, lalu lenyap tanpa jejak.
Keheningan kembali. Namun pohon-pohon di sekitar mereka bergetar, seolah hutan tidak senang dengan kemenangan itu. Dari tanah, puluhan bayangan lain muncul, menyatu membentuk makhluk-makhluk aneh: serigala, ular, bahkan naga hitam kecil yang melata.
“Sepertinya kita baru saja membangunkan seluruh hutan,” keluh Lin Feng.
Shen menghunus pedangnya lebih erat. “Kalau begitu, kita bakar hutan ini dengan cahaya kita.”
Mereka bertarung habis-habisan, pedang Shen memancarkan kilau emas yang menyinari kegelapan, sementara Lin Feng menyalurkan qi-nya untuk memecah bayangan. Hutan bergetar, jeritan makhluk bayangan menggema.
Akhirnya, setelah pertarungan panjang, hutan kembali tenang. Pohon-pohon yang tadinya berkilauan perlahan meredup, bayangan memudar. Jalan di depan mereka terbuka, cahaya samar menuntun ke luar hutan.
Shen terengah, wajahnya penuh peluh. “Kita berhasil keluar... setidaknya untuk sekarang.”
Lin Feng tertawa kecil, meski suaranya serak. “Kalau ada lagi bayangan seperti itu, aku minta kita cari jalan pintas.”
Shen hanya tersenyum tipis, lalu melangkah lebih jauh ke jalan bercahaya. Di balik semua ujian, ia tahu mereka semakin dekat pada inti rahasia kuil naga ini. Namun ia juga sadar: setiap langkah membawa mereka semakin dalam ke dalam kegelapan yang belum pernah dijamah manusia.
Dan jauh di ujung hutan, sepasang mata merah mengamati mereka, menunggu.