Rela melawan dunia hanya untuk melindungi satu wanita yang bernama Aruna.
Leonardo De Satis, Pria penguasa bawah tanah, terobsesi dengan seorang gadis yang telah menyelamatkan hidupnya di tengah hujan. Namun obsesinya menjadi kelemahan dan target musuh. Demi Aruna, Leonardo melawan dunia, tak memberi ampun siapa pun yang menyentuhnya. Namun kehidupan yang di isi dengan darah Akhirnya membawa luka.
Mampukah Leonardo selamanya melindungi Aruna?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam keputusan
Aruna duduk di tepi ranjang, mantel hitam masih melekat di tubuhnya. Jam dinding berdentang sepuluh kali, tanda malam semakin larut. Jantungnya berdegup tak terkendali, seakan tubuhnya tahu bahwa malam ini bukan malam biasa.
Di bawah bantal, ponsel kecil bergetar pelan—pesan dari Elena.
> “Aku menunggumu. Hanya malam ini. Jangan ragu.”
Aruna menggenggam ponsel itu erat-erat. Pandangannya jatuh ke arah pintu kamar, di mana Marco berdiri menjaga. Ia tahu pria itu setia pada Leonardo, tapi entah mengapa, akhir-akhir ini tatapan Marco padanya terasa berbeda. Seperti ada belas kasih yang ia sembunyikan.
Aruna menarik napas panjang. Jika aku melangkah, aku mungkin tidak akan pernah kembali. Tapi jika aku tinggal… aku akan mati perlahan di sangkar ini.
Air mata menggenang. Ia menutup mata, mencoba mendengar suara hatinya sendiri.
---
Di luar pintu, Marco menyalakan rokok tanpa menyalakannya. Jemarinya hanya bermain-main dengan batang tembakau itu, tanda ia gelisah.
Dia menyembunyikan sesuatu, pikir Marco. Aku tahu. Tapi… kenapa aku tidak bisa melaporkannya pada Bos?
Seumur hidup, Marco terbiasa patuh. Hidupnya hanya perintah dan eksekusi. Tapi Aruna berbeda. Tatapannya, keheningannya, bahkan ketakutannya, membuat Marco melihat sesuatu yang lama hilang dari dirinya: kemanusiaan.
Pintu terbuka sedikit. Aruna keluar, wajahnya pucat. “Marco…” suaranya nyaris berbisik, “aku ingin berjalan sebentar di taman. Aku tidak bisa tidur.”
Marco menatapnya. Ia tahu itu alasan yang dibuat-buat. Tapi mulutnya tidak sanggup mengatakan “tidak.” Ia hanya mengangguk. “Baik, Nyonya. Saya akan menemani.”
---
Udara malam menggigit kulit, tapi Aruna justru merasa lebih bebas dibanding saat di dalam kamar. Langkahnya pelan, jantungnya berdetak semakin kencang. Marco berjalan beberapa langkah di belakang, matanya tajam mengawasi sekitar.
Saat sampai di dekat gerbang samping mansion, Aruna berhenti. Ia tahu di luar sana, di balik gelap jalan kota, Elena sedang menunggu.
Tangannya gemetar. “Marco…” ia berbisik, “kau pernah merasa… terjebak?”
Marco menatapnya lama, bingung dengan pertanyaan itu. Akhirnya ia menjawab pelan, “Setiap hari.”
Aruna hampir menangis mendengar itu. “Kalau begitu, biarkan aku pergi malam ini.”
---
Kata-kata itu menusuk Marco. Ia tahu jika membiarkan Aruna pergi, berarti ia mengkhianati Leonardo. Dan pengkhianatan terhadap bos bukan hanya berarti kematian, tapi juga penghapusan seluruh jejak hidupnya.
Namun tatapan Aruna—tatapan penuh luka dan harapan—membuatnya tidak sanggup berkata apa-apa.
“Kalau aku biarkan kau pergi…” Marco berhenti, menelan ludah. “Bos akan memburu mu sampai ke ujung dunia. Kau siap dengan itu?”
Aruna mengangguk dengan mata berkaca. “Lebih baik dikejar karena melarikan diri, daripada mati perlahan di dalam sangkar.”
Marco menutup mata sebentar. Saat membukanya kembali, ia sudah mengambil keputusan.
---
Ia berjalan ke arah gerbang, membuka kunci besi dengan tangan gemetar. Suara gesekan besi terdengar keras di telinga mereka, seakan dunia ikut mengetahui rahasia ini.
Aruna menahan napas, tubuhnya hampir tak sanggup berdiri. Ketika gerbang terbuka, jalan gelap kota Roma terbentang di depannya—sebuah dunia asing tapi penuh harapan.
“Pergilah,” suara Marco serak. “Aku tidak pernah melihatmu malam ini.”
Air mata jatuh dari mata Aruna. “Terima kasih…”
Ia melangkah keluar, satu langkah, dua langkah… dunia luar menyambutnya.
---
Elena Menunggu
Tak jauh dari situ, mobil hitam sederhana menyalakan lampu sebentar lalu mematikannya kembali. Elena duduk di kursi kemudi, matanya menajam saat melihat sosok berbalut mantel hitam mendekat.
Ia membuka pintu. “Aruna!”
Aruna berlari kecil, masuk ke mobil. Tangannya langsung digenggam Elena. “Kau berhasil.”
Aruna terisak. “Aku takut…”
Elena menatapnya lembut. “Tak apa. Mulai malam ini, kau tidak sendirian.”
Mobil melaju perlahan menjauh, meninggalkan mansion megah yang kini tampak seperti monster dalam kegelapan.
---
Di balkon lantai atas, Leonardo berdiri dengan segelas anggur di tangan. Angin laut malam itu lebih dingin dari biasanya.
Entah mengapa, dadanya terasa sesak. Ia menatap ke arah taman, lalu ke gerbang. Firasat buruk merayap di benaknya.
“Aruna…” gumamnya lirih, “jangan tinggalkan aku.”
Gelombang angin membawa suara ranting berderak, tapi bagi Leonardo, itu terdengar seperti tanda pengkhianatan.
---
Di jalan gelap Roma, mobil Elena melaju membawa Aruna menuju arah yang tidak pasti—kebebasan atau bahaya baru, belum ada yang tahu.
Di mansion, Marco menutup gerbang kembali, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia tahu apa yang baru saja ia lakukan adalah dosa terbesar bagi seorang lelaki yang hidup di dunia mafia.
Dan Leonardo, berdiri sendiri di balkon, memandang malam dengan hati yang mulai retak.
Sementara itu, jam di dasbor mobil Elena berdetak mendekati tengah malam. Ia menoleh pada Aruna. “Mulai sekarang, hidupmu tidak akan pernah sama.”
Aruna menatap keluar jendela, air mata bercampur harapan. Tapi jauh di dalam hati, ia sadar—dunia yang ia masuki mungkin lebih berbahaya dari sangkar emas yang ia tinggalkan.
Malam itu berakhir tanpa jawaban. Hanya bayangan yang menggantung, menunggu apa yang akan pecah lebih dulu: kebebasan, cinta, atau pengkhianatan.