Ini kisah tentang istri yang tidak dianggap oleh suaminya. Namanya Nadia. Ia bisa menikah dengan suaminya karena paksaan dari Nadia sendiri, dan Nufus menerimanya karena terpaksa.
Ada suatu hari dimana Nadia berubah tak lagi mencintai suaminya. Dia ingin bercerai, tetapi malah sulit karena Nufus, sang suami, malah berbalik penasaran kepada Nadia.
Dan saat cinta itu hilang sepenuhnya untuk Nufus karena Nadia yang sekarang bukanlah Nadia sesungguhnya, justru ia bertemu dengan cinta sejatinya. Cinta yang diawali dengan seringnya Nadia cari gara-gara dengan pria tersebut yang bernama Xadewa.
Lucunya, Xadewa adalah orang yang ditakuti Nufus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadia Ngelamar Kerja
Tidak mau ambil pusing, Nadia pun memilih untuk membuang laptop Nufus yang rusak keluar rumah. Pintu rumah sedang terblokir oleh nufus, tetapi Dia bisa membuka pintu yang di bagian belakang, sama seperti halnya yang dilakukan Xadewa semalam.
Nadia lalu menuju tempat pembuangan sampah, namun ia merasa kurang sreg membuang bangkai laptop milik Nufus di sana. Nadia pun akhirnya melanjutkan perjalanan, mencari-cari spot yang pas untuk membuang laptop Nufus.
Dan ketika Nadia lihat ada kubangan dengan air keruh, dia cemplungin laptop itu ke dalamnya. Setelahnya ia mengusap tangan seperti memperegakan orang habis buang sampah. Sudah ini saja yang akan dia lakukan di luar rumah, karena dia pun sepertinya ingin lanjut istirahat.
Kalau nufus pulang nanti, ia berencana ingin meminta uang pada laki-laki itu. Tidak ada salahnya jika ia meminta uang pada suami sendiri, mumpung status nya belum berubah menjadi mantan suami. Setelah hari ini, barulah ia akan mencari uang sendiri.
Tuk!
Rasanya seperti ada sesuatu yang mengenai dirinya.
Nadia celingukan, tidak ada apa-apa. Mungkin hanya perasaannya saja. Baru saja Nadia hendak melangkah pergi, lemparan kembali mengenainya. Kali ini Nadia tahu benda apa yang tengah menimpanya.
Begitu Nadia mendongak, benar saja, ada Xadewa di sana. Dia memang pelakunya, dengan alat batang bambu kecil berisi peluru pentiil jambu air. Nadia membalasnya dengan mencari benda di sekitar yang kira-kira bisa untuk menimpuk.
Ia menemukan batu kecil dan melemparkannya ke Xadewa. Lemparan pertama tidak kena, dan Xadewa mengejeknya dengan senyum miring yang terlihat menyebalkan, dan ada tusuk gigi yang bertengger. Nadia mencoba mencari batu yang lebih besar dan menemukannya, tapi begitu ia akan melempar ke arah Xadewa, gerakannya langsung terhenti.
"Kenapa berhenti?"
"Kalau pakai ini, Bang Dewa bisa luka. Saya baru ingat kalau saya tidak bisa melukai orang yang sudah menolong saya."
Setelah mengatakan itu, Nadia bersiap memanjat pohon. Namun, Xadewa segera menghentikannya. "Enggak usah ikut naik, biar gua aja yang turun."
Nadia, yang bahkan kakinya sudah menjejak batang pohon, langsung diam dan menunggu di bawah
"Ngapain Abang timpuk saya?" tanya Nadia.
"Gua tadi habis lihat lu buang sesuatu, jadi iseng nembakkin lu pakai ini," terang Xadewa. Padahal sebenarnya ia sedang memantau Nadia, ingin memastikan Nadia sudah pulih sepenuhnya atau belum sekaligus memberinya pelajaran kecil karena sudah berani menyerang pertahanannya.
"Oh, begitu," respons Nadia sedikit terkejut karena ternyata ada orang yang tahu aksinya membuang bangkaii laptop. Tapi biar saja lah, dilihat-lihat Xadewa orangnya tidak ikut campur masalah orang. Buktinya Xadewa tidak bertanya lebih mendetail apa yang dia lihat. Begitu pikir Nadia.
"Lagian, iseng banget jadi orang segala adanya di atas pohon. Bang Dewa ini kerjaannya apa, sih? Kenapa kita kalau bertemu selalu di tempat yang enggak terduga?"
Awalnya, Xadewa enggan menjawab. Tapi entah kenapa, semakin lama terlibat obrolan dengan Nadia, ia jadi selalu ingin menimpali setiap perkataan gadis itu. Mungkin saja agar obrolan mereka menjadi lebih panjang. Jujur saja, Xadewa penasaran dengan sosok Nadia yang sekarang.
"Kerjaan gua ya emang begini adanya. Jadi tengkulak sayur dan buah. Gua sering ada di atas pohon kaya gini buat mantau mana aja yang sekiranya mau gua panen. Udah ah, gua mau pergi dulu." Xadewa mengakhiri penjelasannya dengan nada acuh tak acuh, seolah pekerjaannya hanyalah hal biasa yang tidak perlu dibahas panjang lebar.
"Bang, tunggu!" cegah Nadia. Ada nada memohon dalam suaranya. "Boleh saya ikut enggak? Bentaran aja, enggak ngerepotin kok."
Xadewa berpikir sebentar, menimbang-nimbang. Ada keraguan di matanya, tapi entah mengapa, pada akhirnya ia mengangguk setuju. Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Nadia.
Mereka pun pergi ke tempat pengepulan sayuran. Hari itu, ladang Xadewa sedang ramai dengan panen jagung. Nadia mengamati para pekerja memetik hasil bumi, lalu menyetornya. Jagung-jagung itu ditimbang, dan Xadewa dengan teliti menghitung upah yang akan diberikan. Nadia melihat betapa Xadewa tak jarang memberikan harga lebih kepada para pekerjanya, sebuah tindakan yang memancing perhatian Nadia. Ada rasa kagum yang tumbuh dalam diri Nadia melihat perlakuan Xadewa terhadap para pekerjanya.
Nadia yang tak bisa berdiam diri, memutuskan untuk ikut membantu. Ia bahkan ikut merasakan bagaimana rasanya menjadi pemetik jagung. Untuk Nadia, Xadewa yang sedang dalam mode "juragan" itu memberikan harga yang pas, sesuai dengan hasil yang didapat Nadia. Tidak ia lebihkan seperti yang lain. Dan seolah tahu apa yang akan Nadia tanyakan, Xadewa lebih dulu memberi penjelasan.
"Masih pemula, harga normal."
Nadia hanya tersenyum. Ada ketertarikan yang tidak bisa ia pungkiri terhadap sosok Xadewa. Pekerjaan Xadewa, caranya berinteraksi dengan orang-orang, bahkan cara ia memberikan penjelasan yang tidak bertele-tele, semuanya terasa unik.
"Bang, saya ngelamar kerja di sini buat seterusnya boleh enggak?" tanya Nadia tiba-tiba, memberanikan diri.
Apa dia kekurangan duit dari Nufus? pikir Xadewa, sambil menaikkan alisnya. "Boleh aja. Terserah lu mau kerja sampai kapan juga," jawab Xadewa.
Nadia tersenyum lebar, kelegaan terpancar jelas di wajahnya. Dia senang, akhirnya satu masalahnya tentang pekerjaan sudah teratasi. Meskipun penghasilannya mungkin tidak seberapa, ia yakin itu akan cukup untuk hidupnya seorang diri.
"Apa suami lu udah ngijinin?" pancing Xadewa, mencoba mengorek informasi lebih jauh.
Senyum Nadia sedikit memudar digantikan oleh ekspresi serius. "Justru ini karena persiapan untuk menyambut status baru. Saya ingin bercerai dengannya."
Bercerai?"
"Iya. Buat apa terus melanjutkan pernikahan kalau tidak ada cinta? Lagipula, saya memang benar-benar ingin bercerai darinya karena ingin mengakhiri ini semua." Suara Nadia menyiratkan tekad yang mantap.
Xadewa mencoba mengajukan pertanyaan lagi, "Kalau dia tidak mau bercerai?"
"Dia memang tidak mau bercerai, sih. Tapi mau tidak mau kami harus berpisah. Setelah saya berhasil menemukan dokumen pernikahan, saya pasti langsung ajukan gugatan cerai. Atau kalau enggak ketemu sekalipun, saya bakal menempuh jalan lain."
Xadewa terdiam. Beberapa saat kemudian, senyum tipis muncul di bibirnya dalam sekejap.
Jadi dia ingin bercerai, ya? batin Xadewa, sebuah pemikiran yang entah mengapa terasa menarik baginya.
"Nadia, gua mau nanya beberapa hal sama lu. Boleh nggak?"
"Nanya apa Bang?"
.
.
Bersambung.
Lanjut baca, dari tadi rebutan ponsel sama bocil