Aku sering mendengar orang berkata bahwa tato hanya diatas kulit.
“Jangan bergerak.”
Suara Drevian Vendrell terdengar pelan, tapi tegas di atas kepalaku.
Jarumnya menyentuh kulitku, dingin dan tajam.
Ini pertama kalinya aku ditato, tapi aku lebih sibuk memikirkan jarak tubuhnya yang terlalu dekat.
Aku bisa mencium aroma tinta, alkohol, dan... entah kenapa, dia.
Hangat. Menyebalkan. Tapi bikin aku mau tetap di sini.
“Aku suka caramu diam.” katanya tiba-tiba.
Aku hampir tertawa, tapi kutahan.
Dia memang begitu. Dingin, sok datar, seolah dunia hanya tentang seni dan tatonya.
Tapi aku tahu, pelan-pelan, dia juga sedang mengukir aku lebih dari sekadar di kulit.
Dan bodohnya, aku membiarkan dia melakukannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liora, Bolehkah Aku?
Ruangan pribadi Drevian selalu memiliki aroma yang khas. Liora duduk pelan di kursi tato, jantungnya berdebar tak beraturan. Tangannya gelisah menyentuh pergelangan kiri yang masih kosong.
"Liora, kau suka desain ini?" tanya Drevian sambil menunjukkan desain kupu-kupu yang hinggap dibunga.
"Aku suka. Ini bagus." ujarnya
"Aku ingin mendesain ini di pergelangan tanganmu, bolehkah?" tanya Drevian
"Aku mau." jawabnya tanpa ragu.
"Tapi kenapa kupu-kupu?" tanyanya.
Drevian menunduk, memegang pergelangan tangan kiri Liora.
"Karena kamu itu seperti kupu-kupu. Kamu cantik, kamu rapuh, tapi kamu juga kuat. Kamu terbang, kamu bebas, tapi kamu juga butuh tempat untuk hinggap. Dan aku... aku mau jadi bunga itu. Aku mau jadi tempat kamu hinggap."
Liora terdiam. Hatinya terasa penuh, ia tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menatap Drevian, matanya berkaca-kaca. Drevian tidak hanya memberikan Liora sebuah tato, ia juga memberikan Liora sebuah janji. Janji bahwa ia akan selalu menjadi tempat Liora untuk pulang. Liora mengangguk, ia pun mengiyakan. Ia tahu, tato ini tidak hanya akan menjadi sebuah gambar di kulitnya, tapi juga akan menjadi sebuah kenangan yang akan ia bawa selamanya.
Ia tahu kali ini bukan sekadar tato biasa. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang jauh lebih dalam.
Drevian merapikan alatnya, jarinya yang cekatan mempersiapkan tinta berwarna hitam pekat dengan tambahan sedikit nuansa biru dan merah lembut. Suaranya tenang ketika ia mulai bicara.
Jarum tato mulai bekerja. Suaranya mendesing pelan, mengisi keheningan ruangan. Liora menggenggam erat ujung kursi. Ia sudah terbiasa dengan rasa perihnya, tapi kali ini berbeda. Setiap sentuhan jarum seolah membawa sensasi lain karena ia tahu siapa yang sedang menggoreskan tinta itu di kulitnya.
Drevian bekerja dengan penuh kesabaran. Matanya fokus, namun sesekali ia menoleh menatap wajah Liora.
“Sakit?” tanyanya pelan.
Liora menggeleng. “Tidak. Aku baik-baik saja.”
“Tahan sedikit. Hanya beberapa garis lagi.”
Liora mengamati. Gambar kupu-kupu perlahan terbentuk, sayapnya terbuka lebar seolah-olah siap terbang. Di sisinya, kelopak bunga mulai tergambar, indah dan lembut, seakan benar-benar menanti kupu-kupu itu hinggap.
Hatinya bergetar. Ia tak pernah merasa dimaknai sedalam ini oleh seseorang.
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya Drevian menurunkan alatnya. Ia mengusap perlahan hasil karyanya dengan kapas.
“Selesai.”
Liora menatap pergelangan tangan kirinya. Matanya berair tanpa ia sadari. “Indah sekali...” bisiknya.
“Itu bukan sekadar tato, Liora.”
Drevian menyentuh pelan kulit di sekitar tato, berhati-hati agar tidak menyentuh bagian yang masih perih.
“Itu pengingat. Bahwa aku ada untukmu. Selalu.”
Liora menggigit bibir, berusaha menahan isak kecil yang tiba-tiba muncul. Ia mengangguk cepat, tidak sanggup berkata banyak.
Suasana hening beberapa saat. Drevian lalu bersandar, menatap Liora dengan mata yang dalam.
Tato itu terasa seperti hidup dipergelangan tangan Liora. Kini, semua masalah itu seolah-olah telah usai. Hanya mereka berdua yang ada diruangan itu.
Liora melupakan masalah yang menimpanya seminggu lebih itu. Kini balasan masalah itu digantikan oleh desain yang indah dari Drevian.
Desain yang penuh makna.
Drevian duduk didepan Liora dan memegang tangan Liora. Menyentuh lembut tato yang baru saja didesainnya itu. Ia merasakan sensasi hangat yang membuat jantung berdetak kencang.
Entah kenapa kehadiran Liora membuatnya merasa lebih tenang. Seminggu lebih ini, Ia mengurung diri diruangannya, hanya ada kakak yang menyemangati dan Zeke. Hampir setiap hari Ia harus berurusan dengan Selena. Tapi hari ini tidak ada yang mengganggu mereka.
"Liora..."
“Hm?”
“Aku ingin tanya sesuatu.”
“Apa?”
Drevian menarik napas, suaranya terdengar bergetar untuk pertama kalinya.
“Boleh aku menciummu?”
Pertanyaan itu membuat dunia Liora berhenti berputar sejenak. Wajahnya memanas hingga telinganya, jantungnya berdetak kencang.
Ia menunduk, menggenggam rok yang ia kenakan, lalu dengan suara pelan bergetar ia menjawab,
“Iya...”
Drevian mendekat perlahan, memberi kesempatan bagi Liora untuk mundur jika ia tak siap. Tapi Liora tidak bergeser sedikit pun.
Drevian memegang dagu Liora lalu mengangkatnya dan membiarkan Liora menatapnya. Drevian sebenarnya juga gugup karena ini pertama kalinya Ia memutuskan untuk mencium seorang gadis.
Gadis yang selama ini tidak ada dibenaknya, kini datang menemuinya dan mengisi seluruh dunianya. Drevian mengelus pipi Liora yang memerah dan mengelus bibir bawah Liora.
Ketika akhirnya bibir mereka bersentuhan, dunia seakan terhenti. Tidak ada suara mesin tato, tidak ada rak buku, tidak ada dunia luar. Hanya ada mereka berdua. Ciuman itu lembut, penuh penghormatan, bukan kegairahan intim.
Liora menutup mata, membiarkan dirinya larut dalam momen itu. Hangat, aman, dan membingungkan sekaligus menenangkan.
Saat Drevian menarik diri, Liora masih terengah pelan.
"Drevian..."
Drevian menyentuh wajahnya, jari-jarinya lembut mengusap pipinya yang memerah.
“Terima kasih sudah mengizinkanku.”
Liora mengangguk pelan, pipinya masih memerah.
"Liora, ini pertama kalinya aku mencium perempuan. Dan aku bersyukur karena perempuan itu dirimu."
Saat keheningan melanda, suara ketukan pintu terdengar, itu Zeke.
Tok...tok...tok....
"Permisi bos, ini hasil pendapatan kita selama satu bulan ini. Seluruh dokumennya sudah saya siapkan."
Zeke menaruh dokumen diatas meja Drevian. Ia melihat bossnya sedang duduk bersampingan dengan Liora. Sekilas, Ia melihat tato dipergelangan tangan Liora. Matanya terbelalak.
"Desain itu buatan bos?" tanyanya ragu
"Iya, tentu." ujar Drevian
Zeke menatap lagi tak percaya. Desain itu kelihatan hidup dipergelangan tangan Liora. Bos mereka jarang mentato orang lain. Tapi inilah bosnya, mendesain tato dikulit gadis pujaan hatinya.
Ia lalu segera mengalihkan pandangan dan menatap Drevian.
"Uangnya ada di map coklat itu, bos."
Drevian mengangguk.
"Saya permisi, bos." Zeke lalu pergi.
Pendapatan bulan ini begitu banyak. Orang-orang yang ditato disini harganya mahal karena ini studio terkenal dengan seniman terkenal juga bukan seniman sembarangan. Uang itu ditaruh didalam amplop berwarna coklat. Kemungkinan isinya 50 juta.
Tapi Liora tidak memperdulikan itu. Ia tahu itu milik Drevian, dia tidak berhak untuk mengklaim uang itu sebagai miliknya.
Sore hari. Matahari terbenam ke barat, menebarkan cahaya keemasan di jendela studio.
Drevian mengambil kunci mobilnya.
“Aku antar kamu pulang.”
Liora awalnya hendak menolak, tapi tatapan seriusnya membuatnya tidak tega berkata tidak. Akhirnya ia mengangguk.
“Baiklah.”
Mereka berjalan menuruni tangga bersama. Liora menggenggam tangan Drevian, dan sambil berjalan disampingnya.
Namun begitu mereka menuruni tangga, ada seseorang yang memperhatikan.
Di depan pintu kaca studio, berdiri seorang perempuan. Rambut coklat panjangnya terurai rapi, wajahnya cantik tapi menyimpan ekspresi getir.
Selena.
Ia belum masuk, hanya berdiri di sana, menatap ke arah dalam dengan sorot mata yang sulit dibaca.
Ia melihat Liora dan Drevian berjalan menuruni tangga dan mereka berpegangan tangan membuat amarahnya menaik. Mereka belum tahu jika ada orang yang memperhatikan.