"Apa yang sebenarnya membuat Mas enggan menyentuhku? Mas bahkan selalu menghindar jika aku membicarakan hal itu. Apapun jawaban Mas, aku akan berusaha ikhlas. Setidaknya Mas bicara. Jangan diam seolah-olah hubungan kita itu normal seperti pasangan suami istri yang lain.”
Banyu mengangkat wajahnya. Tanpa bicara apapun, ia segera meraih jas yang ia letakkan di kursi makan lalu melangkah pergi meninggalkan Haura.
***
Pernikahan yang Haura harapkan bisa mendatangkan kebahagiaan itu nyatanya tidak seindah yang gadis itu harapkan. Banyu, lelaki yang enam bulan ini menjadi suaminya nyatanya masih enggan memberikan nafkah batin kepadanya. Lelaki itu terus menghindarinya jika gadis itu mengungkit masalah itu.
Tentu saja itu menjadi pertanyaan besar untuk Haura. Apalagi saat perdebatan mereka, Haura tidak sengaja menemukan sebuah kalung indah berinisial 'H'.
Apakah itu untuk dirinya? Atau apakah kalung itu menjadi jalan jawaban atas pertanyaan besarnya selama i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MEYAKINKAN HAURA
"Saya mencintai kamu, Haura."
Sebaris kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Haura. Padahal sudah tiga hari berlalu. Namun, perkataan lembut itu masih membuat jantung Haura berdetak kencang. Ia bahkan tidak berani menatap mata Banyu secara langsung. Apalagi saat Banyu menagih jawaban atas pernyataannya yang langsung tersebut
Haura grogi.
Perempuan itu masih diam menatap kosong lurus ke depan, sementara tangannya mengiris bawang bombai. Ia tidak menyadari bahwa Banyu sejak beberapa saat tadi menatapnya bingung. Jika Haura terkesan menghindarinya dan lebih banyak bengong, maka Banyu justru semakin gencar mendekati perempuan itu. Anehnya, semakin Banyu mencoba mencari perhatian Haura, perempuan itu selalu punya alasan untuk menghindar.
"Aw!" Haura meringgis dan menatap nanar telunjuknya yang terkena pisau.
"Ra!" teriakan Banyu membuat Haura terkejut. Ia bahkan sejenak lupa dengan jemarinya yang memunculkan rasa nyeri karena terluka tersebut.
Belum sempat Haura bertanya, Banyu lebih dulu berlari ke arahnya dan meraih tangan perempuan itu. "Hati-hati, Ra. Kalau kayak gini, bukannya bawang yang terpotong tapi jari kamu." Setelah mengomel, Banyu tanpa ragu memasukkan jari tersebut ke mulutnya.
Hal itu membuat Haura mendelik terkejut. Pergerakan lelaki itu terlalu cepat.
"Maaaas...!" lirih Haura masih berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Banyu hanya menatapnya tajam, lalu menarik perempuan itu duduk di kursi bar tidak jauh dari mereka berdiri.
"Tunggu di sini. Jangan pegang pisau lagi."
Haura tidak menjawab. Hanya matanya yang menatap Banyu yang kini sudah pergi dengan bingung. Tidak lama kemudian, lelakinitu kembali dengan kotak P3K di tangan. Saat Banyu hendak mengobati Haura, perempuan itu dengan cepat mengambil alih plester yang berada di tangan Banyu.
"Biar aku aja. Mas juga pasti kesusahan dengan satu tangan seperti itu." Haura segera menempelkan plester tersebut di telunjuknya.
"Kamu istirahat saja. Itu biar Mbak Irna yang nanti membereskan. Untuk makan malam kita, biar dipesan online saja." Matanya menatap Haura dengan hangat. Wajah tegangnya kini sudah lebih melunak.
"Iya," jawab Haura pelan, sengaja menunduk menghindari tatapan Banyu yang lurus padanya. Haura kemudian segera turun dari kursi. Ia baru saja hendak melangkah, tetapi cekalan di tangannya membuatnya menoleh ke arah Banyu. "Kenapa? Mas perlu sesuatu?"
Haura menatap Banyu cemas. Semenjak keluar dari rumah sakit, kondisi suaminya itu sudah lebih membaik. Berbeda dengan Daffa yang kini masih dirawat di rumah sakit mengingat kondisi lelaki itu yang memang belum terlalu stabil pasca operasi. Karena Banyu itulah, akhirnya Haura juga setuju saat mama mertuanya menyarankan untuk membawa salah satu ART mereka untuk membantu di rumah. Paling tidak ada yang membantu Banyu saat Haura bekerja.
"Kamu mau sampai kapan menghindari saya?" tanya Banyu. Tidak ada tatapan tajam apalagi sinis di netra itu.
Haura terdiam. Ia menunduk kembali. Mata Banyu terlalu mengintimidasinya dan menatapnya seakan meminta jawaban langsung.
"Lihat saya, Haura," kata Banyu pelan.
Akhirnya Haura mengangkat wajahnya dan menatap Banyu dengan tatapan sulit diartikan. Ia bingung harus bagaimana menanggapi pernyataan Banyu. Ia tidak memungkiri bahwa perasaannya memang masih tertuju kepada Banyu, hanya saja ia juga masih ragu untuk percaya dengan pernyataan Banyu.
"Kalau kamu tidak nyaman dengan pernyataan saya, kamu bisa abaikan itu." Banyu kemudian mengusap pipi Haura dengan lembut dengan tangan kirinya. Sorot matanya lebih hangat dengan senyum tipis yang tercetak di bibirnya. "Jangan terbebani dengan itu, ya. Saya kira kalau saya menyatakan perasaan saya kepada kamu, maka kamu bisa memahami betapa cemburunya saya saat kamu terlihat akrab dengan lelaki lain. Maaf atas kelancangan saya. Kalau tahu begini, saya akan memilih untuk memendam perasaan saya. Asal kamu bisa tetap nyaman berada di dekat saya."
Mata Haura dengan berani menyelami netra hitam milik Banyu. Seolah mencari kejujuran atas ucapan yang sempat membuat ragu hatinya.
"Mas yakin dengan perasaan Mas?"
Banyu tertawa pelan. "Kamu meragukan kejujuran saya, ya?" Seperti tahu arah pertanyaan Haura, kini hati Banyu lebih lega. Setidaknya bukan karena perasaannya yang bertepuk sebelah tangan, melainkan karena keraguan Haura atas dirinya.
"Iya. Aneh aja. Terlalu cepat untuk Mas move on dari Hania. Aku nggak mau ini karena Mas ingin menjadikan aku pelampiasan. Aku nggak apa-apa kalau Mas menjalani pernikahan ini tanpa ada rasa cinta terhadapku, asal jangan pura-pura mencintaiku hanya untuk membuatku tetap di sini."
"Kalau saya hanya menjadikan kamu sebagai pelampiasan, maka semenjak malam pertama kita dulu saya sudah menyentuh kamu. Alasan terbesar saya tidak menyentuh kamu karena saya berusaha meyakini perasaan saya terhadap kamu. Kalau perasaan saya terhadap Hania, itu sudah lama saya hilangkan. Jangan khawatir akan itu. Di hati saya hanya ada nama kamu. Bukan Hania atau perempuan lain."
"Mas nggak lagi bercanda, kan?"
Banyu kemudian mendaratkan ciuman singkat di bibir Haura. Hanya kecupan singkat. Namun, ekspresi Haura begitu tegang.
"Saya serius."
Haura tanpa sadar menepuk lengan Banyu yang masih terluka hingga membuat lelaki itu berseru pelan. "Ya ampun, Mas. Maaf. Aku reflek karena terkejut. Habis Mas tiba-tiba begitu, aku kan belum siap." Haura menatap tangan Banyu dengan cemas. Perempuan itu kemudian mendekatkan wajahnya ke arah lengan Banyu yang tadi tidak sengaja ia tepuk.
Banyu tanpa sadar kemudian terkekeh. Melihat reaksi Haura yang begitu menggemaskan di matanya, ia lalu menunduk dan berbisik pelan di telinga Haura. "Kalau saya bilang dulu, berarti kamu mau balas ciuman saya? Kalau iya, saya dengan senang hati mengulangnya."
Tubuh Haura mendadak mundur selangkah hingga tanpa sadar hampir terjatuh karena tersandung kaki kursi di belakang. Namun, dengan sigap tangan Banyu menahan pinggang ramping milik Haura. Namun, posisi itu semakin membuat Haura gugup. Apalagi kini dengan mudah lelaki bertubuh tinggi itu, menarik Haura agar lebih mendekat ke arahnya.
"Mas... Ini terlalu dekat deh," lirih Haura yang kini wajahnya berada dekat dengan dada suaminya sendiri. Ia bahkan bisa mencium aroma khas Banyu yang begitu memanjakan hidungnya itu. "Kalau seperti ini aku sulit bernapas. Aku nggak mau mati mendadak, Mas." Perempuan itu berusaha mendorong Banyu. Namun, meskipun hanya dengan satu tangan, tenaga Haura tentu saja masih kalah dengan Banyu.
Kalimat asal bunyi itu membuat Banyu semakin mengeratkan pelukannya. "Kalau saya lepaskan, kamu bisa berjanji untuk tidak kabur?"
Haura mengangguk cepat. "Iya. Aku janji." Mata bulat itu kemudian mendongak untuk menatap Banyu langsung.
"Kalau saya cium kamu, kamu janji akan mengizinkan saya melakukannya?" suara Banyu berubah begitu rendah dengan tatapan yang terarah kepada bibir Haura. Menunjukkan betapa minatnya ia merasakan bibir mungil merah alami itu.
Haura tidak menjawab. Namun, ia kemudian memejamkan matanya. Tangannya mencengkram kemeja bagian depan Banyu dengan erat. Sebenarnya Banyu tadi hanya berniat menjahili Haura. Namun, melihat lampu hijau dari Haura, tentu saja kesempatan itu tidak akan dilewatkan Banyu begitu saja.
Lelaki itu semakin menunduk, mencoba meraih bibir Haura dengan bibirnya sendiri. Namun, alih-alih bibir mereka bertemu, suara ponsel Banyu tiba-tiba terdengar. Mata Haura kemudian terbuka dan berkata pelan.
"Hp Mas ada yang nelpon tuh."
"Ganggu banget, ya, Ra," dengus Banyu kesal. Seakan tidak rela melepaskan Haura.
Haura tersenyum malu-malu. "Udah sana. Takutnya ada yang penting."
"Habis saya terima telepon, kita lanjutkan, ya." Banyu tersenyum penuh arti.
"Mas...."
Banyu terkekeh kemudian melepaskan dekapannya pada pinggang Haura. Ia kemudian segera meraih ponselnya yang tadi ia letakkan di meja bar. Nama Hania terpampang di layar ponselnya. Mata Banyu kemudian beralih kepada Haura membuat perempuan itu kemudian menatap Banyu ingin tahu.
"Hania yang menelpon. Boleh saya angkat?"
Haura segera mengangguk. Tiba-tiba rasa curiganya yang dulu sering datang semenjak ia tahu suaminya sempat menyimpan perasaan kepada sahabatnya itu menguap begitu saja. Ia yakin, Hania tidak mungkin menghubungi Banyu jika tidak penting.
Banyu kemudian segera menggeser tombol hijau itu ke atas. "Iya, Han, ada apa?"
Haura menatap Banyu dengan bingung. Apalagi saat melihat ekspresi keruh Banyu. Ia yakin, pasti ada kabar yang membuat suasana hati suaminya itu mendadak resah. Namun, dengan cepat Haura menepis pikiran buruk yang berbisik di kepalanya itu. Meskipun ia tidak sedekat dulu dengan Hania. Akan tetapi, ia selalu berharap bahwa kebahagiaan selalu berada di hidup sahabatnya itu.
*
*
*
Hai gaes, jangan lupa kasih ratingnya yaa. Terima kasih untuk kalian yang masih setia padaku 😁
Mending dibawa, dijaga dari gangguan cikal baka pelakoor. ..
au ah.. gak bisa aku berpikir positif kalo tentang Hania.. 😂
Awass lho, jangan macam2 Hania..
Maaf ya Han, belum sepenuhnya percaya kamu.. soalnya dari yg terakhir kamu muncul, belum ada tanda2 ikhlas-in Haura sama Banyu.. meskupun udh nikah sama Daffa..
Okelahh dia mau suka smaa siapa haknya dia, kita gak bisa ngatur..gak bisa larang dia sula sma Haura.
Tapi sebagai lelaki Gentle, harusnya lebih bisa ngendaliinlahh.. apalagi dia tau Suaminya Haura bukan orang lain. Masih saudara, dan harusnya sesama laki-laki tau kalo Banyu suka cemburu. Iseng sih iseng. tapi gak keseringan juga, apalagi kalo pas gak ada Banyu,itu mh bukan iseng, tapi emg Niat..
digantung sama aothor
ditinggu up nya kak
semangat y
moga cepet pulih lagi ka.... 🤗