Prolog :
Nama ku Anjani Tirtania Ganendra biasa di panggil Jani oleh keluarga dan teman-temanku. Sosok ku seperti tidak terlihat oleh orang lain, aku penyendiri dan pemalu. Merasa selalu membebani banyak orang dalam menjalani kehidupan ku selama ini.
Jangan tanya alasannya, semua terjadi begitu saja karena kehidupan nahas yang harus aku jalani sebagai takdir ku.
Bukan tidak berusaha keluar dari kubangan penuh penderitaan ini, segala cara yang aku lakukan rasanya tidak pernah menemukan titik terang untuk aku jadikan pijakan hidup yang lebih baik. Semua mengarah pada hal mengerikan lain yang sungguh aku tidak ingin menjalaninya.
Selamat menikmati perjalanan kisah ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ngambek
“Jani pulang dengan aman Ra?” Ara mengacungkan jempolnya. “Apa dia masih tidak mau bicara dengan ku?” Ara terlihat berfikir.
Pasalnya siang tadi setelah dirinya kepergok di peluk mantan calon tunangannya, Jani tidak mau di bujuk. Dia meminta waktu pada Calvin untuk menenangkan diri dari rasa kesalnya.
Bagaimana mungkin tidak marah, Calvin bicara cukup lembut meski tindakan wanita yang tidak tahu diri itu sudah sangat keterlaluan. Jani merasa kesal karena Calvin tidak marah seperti biasanya. Seharusnya Calvin memaki maki wanita tidak tahu diri itu dengan tegas.
“Aku tidak tau pasti Bos, Cuma dari penglihatan mata saya sepertinya Nona masih marah.” Calvin menyandarkan kepalanya lemas.
Dia belum bisa pulang karena ada meeting tahunan para petinggi pemegang saham. Dirinya tidak mungkin meninggalkan meeting penting ini dan bersikap tidak professional.
“Tenang saja Bos, mungkin Nona hanya butuh waktu.”
“Tetap saja aku tidak tenang Ra.” Ara hanya mendengarkan dengan sabar. Bos nya sedang kebingungan menghadapi Istrinya yang marah.
Ini untuk pertama kalinya Jani marah dan tidak mau bicara dengan Calvin. Dia bahkan meminta Ara membujuk Calvin agar tidak memaksanya mengerti keadaannya. Jani ingin marah karena dirinya benar-benar tidak bisa membendung kekesalannya.
Beruntung ada Ara dan Langit saat kejadian, mereka jadi bisa memberikan pandangan pada Calvin untuk menuruti permintaan Jani yang sederhana. Tapi seorang Calvin sangat sulit menuruti permintaan Jani yang hanya meminta diberi waktu.
Sreekkkkkk.....
Langit mendorong bungkus ice cream yang di bawanya beberapa waktu lalu sebelum kejadian.
"Makan yang manis-manis, biasanya bisa mengurai emosi Bos." Calvin hanya menatap Langit dengan lemas. "Jani wanita yang baik Vin, aku kenal dia dengan baik. Ehhh....Bos maksudku."
"Tentu saja dia wanita yang baik! Diam kau Lang, aku semakin kesal saja kalau kalian banyak bicara." Langit dan Ara saling menatap dan tersenyum. Suka serba salah memang menghadapi Calvin ini.
"Kau sudah minta keamanan di perketat kan Ra?! Jangan sampai bocor dong Ra, begini kan jadi aku yang repot." Keras sekali seperti sedang berteriak.
"Baik Bos. Saya akan lebih perketat lagi." Calvin mondar mandir dengan wajah penuh emosi.
"Jangan cuma iya iya aja ya Ra, kerja itu harus ngerti apa keinginan Bos mu. Masa hal-hal sepele seperti ini bisa kelolosan sih." Ara menelan salivanya mulai ikut kesal.
Dirinya juga tidak habis pikir mantan tunangan Calvin punya ide masuk dengan akses yang dia miliki dulu dan menyamar sebagai pemilik saham.
Tidak ada yang tau wajah nya karena biasanya dia datang bersama Calvin lewat lift khusus yang hanya bisa di naikinya sebagai CEO.
Sekarang dia menyalahkan Ara dan langit, hanya mereka yang kenal dekat dengan Maura. Mereka yang sering melihat kehadiran Maura di ruangan Calvin dulu, saat mereka masih menjalin hubungan.
Tiba-tiba saja ketiganya saling menatap, ada yang aneh. Bagaimana mungkin Maura bisa tahu jika hari ini ada meeting tahunan para petinggi.
“Kalian merasa ada yang janggal gak sih?”
“Aku baru terfikirkan juga bos, tidak mungkin dia hanya asal tebak dan mengarang cerita sampai keamanan di bawah tidak curiga dengannya.” Tambah Ara yang juga merasa ada kejanggalan.
“Apa mungkin ada orang dalam yang membocorkan jadwal pada Maura? Tapi apa tujuannya?” Tanya langit dengan rasa penasaran.
“Sekarang kau harus cari tahu Ra, siapa dalang di balik kedatangan Maura ini. Dia tidak mungkin nekad datang tanpa persiapan, dia tidak sebodoh itu.”
***
"Kenapa sih manyun aja?" Tanya Naya yang duduk di sebelah Jani menunggu jemputan. "Kena marah Pak Calvin? Aku denger kamu tadi di lobby berdebat dengan Pak Calvin."
Ternyata Jani ketahuan. "Bukan karena itu Nay, tadi dengan Pak Calvin hanya salah paham aja kok." Naya mengusap punggung Jani lembut.
"Sabar yah, kamu mungkin belum bisa sepenuhnya menyesuaikan diri ya Jan? Pekerjaan memang sangat berat ya Jan, aku juga kadang ingin kembali lagi jadi anak sekolahan yang tidak memikirkan hal lain selain mengerjakan PR.”
“Iya Kak….ehhh…Nay…” Naya memang tidak suka di panggil Kakak, dia merasa terdengar sangat tua saat Jani memanggilnya Kakak.
“Yahhh.... Jemputan ku sudah datang Jan, aku duluan gak papa?" Jani mengangguk. Supirnya memang baru bisa datang jika dirinya sendirian.
"Hati-hati ya Nay. Daahhhhh....." Melambaikan tangan pada Naya yang sudah masuk ke mobilnya. Jani menatap mobil hitam yang dari kejauhan mulai menghidupan mesinnya.
"Masih menunggu mobil mewah mu datang?" Jani terkejut ada Sofia berdiri di belakang nya. “Kau kira bersikap misterius seperti ini akan membuat nilai mu lebih unggul dari yang lain? Kau kira bisa menarik perhatian para petinggi?”
"Kak....ehhh...Jani hanya....ehhh." Jani gagap, harus jawab apa pertanyaan Sofia yang lebih pada penegasan.
"Dasar pembohong! Kau bisa saja membodohi orang lain dengan wajah lugumu itu, tapi kau tidak bisa membodohi ku asal kau tahu." Jantung Jani berdegub cukup kencang.
"Tidak usah pasang pasang muka polos menjijikan mu itu! Kau itu pantasnya jadi gadis nakal yang sok suci." Jani tidak berani membalas. Jani menunduk menutup matanya saat tangan Sofia sepertinya ingin menyentuh wajahnya.
"Hah....pahlawan kesiangan. Lepas...." Sofia menghempaskan tangan Axel cukup kuat.
"Dasar kumpulan orang gila!" Sofia pergi begitu saja setelah Axel menghentikan perbuatannya yang tidak menyenangkan pada Jani.
"Gak papa Jan?" Jani menggeleng. "Lain kali jangan menunggu di sini sendirian. Di mana supir mu?" Jani melirik mobil hitam yang masih menunggu nya siap.
"Ya sudah, hati-hati ya Jan. Jangan membahayakan dirimu seperti tadi." Jani mengangguk, padahal dirinya merasa tidak melakukan kesalahan apapun pada Sofia.
Entah kenapa setelah kejadian dirinya mencoba membantunya, Sofia jadi semakin intens menunjukkan ketidaksukaannya pada Jani. Sikapnya semakin jelas jika Jani dianggap sebagai musuh olehnya.
"Hey....bocah ingusan!" Axel menghentikan langkahnya. "Kau sekongkol ya dengan teman mu itu! Mau menggaet siapa kalian?" Tanya Sofia yang ternyata masih menunggu Axel dengan wajah ketus.
"Bukan urusan mu." Sofia menjegal langkah Axel. "Minggir Kak, aku tidak ingin punya urusan denganmu."
"Hah! Berani sekali kau bicara begitu padaku! Kau ini cuma anak PKL. Aku bisa menyingkirkan kalian dengan tutup mata." Axel mencoba meredam amarahnya. Menghadapi wanita seperti Sofia tidak bisa dengan kekerasan, dia akan semakin menjadi jadi.
"Axel dan Jani tidak ada niat lain selain menyelesaikan PKL kami dengan baik di sini Kak, kami hanya menjalankan tugas kami sebagai mahasiswa." Mendengar tutur kata lembut Axel, Sofia jadi tidak bisa marah lagi.
"Ingatkan, sampaikan pada teman mu untuk tidak usah kecentilan dengan Pak Calvin. Dia milikku." Mata Sofia membulat. "Kenapa kau tertawa?!" Untung saja Axel tidak kelepasan.
"Tidak Kak, itu tadi di belakang ada yang lewat pake baju badut Kak." Sofia menengok ke belakang dan tidak menemukan siapa pun.
"Aku akan ingatkan Jani untuk tetap jadi gebetan ku Kak, tenang saja." Sofia mengangguk malas lalu berlalu pergi begitu saja.
Kau akan menangis jika tahu siapa Jani.
Gumam Axel sambil berjalan menuju parkiran.
***
"Sayang....Jan....Jani....Sayang...." Calvin menggaruk kepalanya saat tidak menemukan siapa pun di kamarnya.
"Lihat di mana Istriku?" Tanya Calvin pada petugas keamanan yang menjaga pintu utama lewat intercom yang tersambung dari kamarnya.
"Ada di bawah Bos, Nona di kebun belakang sedang ingin berkeliling katanya." Jawab petugas yang memang mengawasi Jani dari kejauhan. Calvin segera menutup sambungan intercom dengan lega.
"Berani juga kau turun ke sana ya Jan....biasanya kau minta ijin dulu padaku." Calvin memutuskan untuk mengganti kemejanya dengan kaos polos berwarna putih sebelum menyusul Jani ke bawah.
"Kalian boleh tinggalkan kami." Perintah Calvin pada semua petugas yang berjaga selama Jani berada di halaman luas berisi beraneka bunga cantik milik Calvin.
"Sayang....." Panggil Calvin pada Jani yang sedang memandangi bunga Anggrek Violet.
Calvin berjongkok di depan Jani. "Masih marah yah?" Jemarinya mengusap lembut wajah Jani.
Jani enggan menatap Calvin, rasa kesalnya muncul kembali saat Calvin ada di hadapannya. "Jani gak marah." Ucapnya lirih. Tapi wajahnya tidak bisa berbohong.
"Marah juga gak papa sayang, wajar karena dia sudah keterlaluan berani peluk-peluk suami orang." Bibir Jani semakin mengerucut.
"Kak Calvin juga tidak menolak, kan bisa saja Kak Calvin marah. Atau suruh dia keluar sebelum Jani melihat kalian tadi." Calvin tersenyum. "Jani kesal Kak."
"Maaf sayang....aku tidak akan mengulanginya lagi. Hanya kau wanita satu-satunya yang ada dalam hidupku. Maaf sayang." Pelukkan lembut Calvin berhasil meluluhkan Jani.
“Dia masa laluku, dan aku janji tidak akan pernah membiarkannya mendekati ku lagi sayang.” Jani mengalah, dia tidak mau marah karena Jani mendengar sendiri Calvin meminta Maura melepaskan pelukannya.