"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 : Mr. Macchiato
"Mba Laras, pesanan kopi dan cemilannya untuk siapa saja. Banyak sekali." Dea menghitung jumlah cup yang baru saja ia terima.
"Kopi? Kopi apa de? Aku gak pesan kok!" jawab Laras saat baru saja masuk kamar hotel.
Dea menunjuk spun bon bag yang berjumlah lima buah dengan masing-masing tas berisi delapan cup juga dua dus donat dan croissant. Laras seketika mengernyitkan kening, mereka langsung membongkar satu persatu tas spun bon yang sudah Dea letakkan di atas meja rias.
Tangan Laras menemukan sebuah cup kopi yang berbeda, caramel macchiato dengan tulisan sebuah nama Dealova. Laras menaikkan sebelah alisnya dengan dramatis sambil melirik Dea yang masih membersihkan sepatu tarinya
To : Dealova
'Hai Dea, kuharap hari ini ada senyum terukir di bibirmu. Secangkir macchiato tidak pernah memilih siapa yang akan menemaninya, pastry, ubi rebus, ruang hampa, atau... Something else.
Katamu, kopi adalah sebuah rindu. Maka sekali menyeruputnya adalah sebuah pertemuan.
Bolehkah aku menambahkan?
Bagiku menyeruput kopi adalah sebuah seni dalam hidup, setiap teguknya kita berpikir bagaimana mencintai takdir dan segala kepastian Tuhan...
Bisakah kita berteman?'
+62888...
Sebuah sticky note ditemukan Laras pada secangkir kopi yang ditulis khusus untuk Dea.
Seketika Laras menjerit histeris kegirangan setelah membaca barisan kata-kata penuh perhatian, dan... romantis.
"Dea! Ini untuk kamu!" jerit Laras dengan melompat kegirangan.
Dea membaca kertas itu dengan wajah bingung dan tangannya mulai gemetar, pikirannya dihantui praduga yang berlebihan, trauma sudah menekan jiwanya sedemikian rupa. Kakinya melangkah mundur hingga punggungnya terbentur tembok lalu ia berjongkok menutupi wajahnya, Kertas pesan dan kopi terhempas dari tangan Dea. Kopi tumpah mengotori lantai
Senyuman di bibir Laras dan beberapa kru langsung surut, kegembiraan tertahan dan menggantung di sudut bibir mereka.
Saat itu, bumi seakan berhenti berputar. Hening.
Setelah sekian detik berlalu, "Kenapa? apa kamu takut? Apa kamu tahu siapa orang yang mengirimkannya?" cecar Laras.
Dea menggeleng dengan cepat.
"Di sini ada nomer teleponnya, kita bisa tanya apa maksud dia mengirimkan tulisan dan kopi-kopi ini." Laras langsung mengetik nomer telepon sambil berjalan mondar mandir menunggu panggilan di terima.
Panggilan tidak juga diangkat oleh si pengirim kopi. Laras mengangkat kedua bahunya dengan gerakan dramatis lalu melangkah mendekati Dea yang masih berjongkok gemetaran. "Apa kita buang saja kiriman kopi ini? Bagaimana menurutmu?" tanya Laras meminta persetujuan. Dea hanya diam.
"Baiklah aku buang kopi pembawa sial ini. Ah, dasar kopi sial! Aku gagal minum kopi dari cafe mahal." Laras berdiri dan mengambil tas berisi kopi, wajah Laras sedikit cemberut dan menular pada semua kru.
"Jangan!!" cegah Dea, namun tanpa memberikan alasan apapun.
Kembali keheningan menggantung di udara, wajah lelah dari para kru membuat Dea tidak enak hati. Laras tersenyum penuh arti, "Sudahlah kita nikmati saja, mubazir kopi sebanyak ini harus menghuni tong sampah. Rezeki tidak boleh di tolak bukan?!" ucap Laras seraya memberikan masing-masing anak buahnya satu cup coffe dan cemilan.
Senyuman yang tadi sempat terjeda kini kembali mencair, semua kru tersenyum lebar mendapatkan kopi gratis dan beberapa cemilan berupa croissant dan donat. Dea mengamati perubahan wajah mereka, sebuah 'pesan' perlahan bisa ia baca dan rasakan... pengirim kopi ingin ia tersenyum dan bahagia. Dea tertunduk malu.
Hari berlalu, malam pun menyapa.
Dua hari lamanya Dea menunggu respon atau telepon balik dari si pengirim kopi ke ponsel Laras. Sebenarnya respon balik itu ada, hanya Laras menyembunyikannya dari Dea. Laras mengaturnya seakan tidak pernah ada balasan apapun dan sedikit kata provokasi agar Dea menghubungi sendiri si pengirim kopi. Laras ingin Dea mengucapkan secara langsung rasa terima kasih pada orang tersebut.
Akhirnya, Dea memutuskan untuk menghubunginya melalui pesan singkat. Meski tangannya masih bergetar, detak jantungnya yang tidak beraturan saat mengetik hurup demi hurup pesan tersebut, Dea memutuskan untuk bangkit. Dia tidak nyaman dengan kondisi ketakutan terus menerus, ia harus hidup normal dan berusaha melawan perasaan takutnya, sendiri.
💌 Dea : Sebelumnya terima kasih untuk kiriman kopinya. Siapa anda? Apa tujuan anda mengirimkan kopi pada kami?
Di tempat lain, Devan sedang berdiri di balkon kamar sambil menghisap cerutu. Tatapannya jauh ke langit gelap tanpa gemintang, udara malam kian menusuk pori-pori kulitnya. Sepertinya malam itu akan segera turun hujan.
Sebuah notif pesan masuk ke ponsel pintarnya. Dengan malas ia menggeser layar untuk membuka pesan yang masuk di waktu yang janggal. Devan sedikit mengusap matanya yang berembun lalu menekan cerutu yang baru saja ia hisap ke dasar asbak. Matanya melebar saat membaca deretan pesan yang dikirim seseorang. Senyuman samar tercetak di bibirnya. Ia lalu mengetikkan sesuatu di keyboard ponselnya.
💌 Devan: Apa pesanku membuatmu takut dan overthinking, Dea? Hingga kamu baru menghubungiku setelah dua hari berlalu.
Devan terus menatap layar ponsel dengan senyum yang tidak hilang dari wajahnya. Hingga notif ponsel berbunyi lagi.
💌 Dea : aku sibuk.
Devan menarik napas begitu dalam, kalau bukan karena perempuan yang sudah membuat hatinya gelisah dan gundah gulana, jawaban seperti itu akan membuatnya marah lalu mengabaikan pesan atau memblokir nomer tanpa nama itu. Namun, ini pesan dari Dea. Gadis yang membuat hidupnya galau beberapa hari ini.
💌Devan : Apa kabarmu hari ini, kamu bahagia?
💌Dea : Pertanyaanku di awal belum kamu jawab.
💌Devan : Mr. Macchiato, panggil saja begitu. Kopi itu sebagai ucapan terima kasih karena kamu telah mengobati kerinduanku pada mamaku. Terima kasih gambarnya.
Send Picture.
Devan mengirim gambar wajah ibunya yang digambar Dea di ponselnya.
Pikiran Dea langsung melayang membayangkan wajah pria dengan garis rahang tegas dan tatapan mata yang teduh tapi tajam seperti elang, bibirnya merah jambu, pria yang memintanya untuk menggambar wajah ibunya. Pria itu juga, selalu curi-curi pandang padanya saat ia bekerja di Corner Coffe.
'Pria matang dan tampan itu, pria yang memiliki tatapan mata dan suara tegas seperti papa' lirih Dea sambil meremas ponselnya dengan lembut.
💌Dea : Atas nama team aku ucapkan terimakasih🙏
💌Devan : Kenapa Pertanyaanku tidak di jawab?
💌 Dea : Pertanyaan yang mana?
💌Devan : Bagaimana kabarmu hari ini, apa kamu bahagia?
💌Dea : Aku baik.
💌Devan : Hanya baik?
💌Dea : Aku lelah.
Devan termenung sebentar, menimbang jawaban apa yang harus ia berikan pada Dea.
💌Devan : Baiklah, kita istirahat. Selamat malam, Dea.
💌Dea : Malam.
Dea terus menatap layar handphone, ingin rasanya ia meralat jawaban yang membuat Mr. Macchiato mengakhiri berbalas pesan. Sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa jiwanya lelah dihantui rasa takut, perasaan bersalah juga merasa diri tidak lagi berharga. Tapi kata-kata yang bisa ia sampaikan hanya kalimat ambigu yang tidak bisa terbaca oleh Devan.
Sementara Devan berpikir, Dea memang sedang lelah segalanya, menurut laporan anak buah Yusron jika jadwal latihan untuk gladi bersih Asean Games begitu padat, mereka latihan dari pagi sampai menjelang malam. Devano masih menatap layar ponselnya, menimbang untuk menelpon Dea atau tidak. Percakapan melalui pesan tadi terasa begitu cepat dan baru pembukaan bukan sesuatu yang ia harapkan. Akhirnya ia putuskan untuk mengirim pesan lagi.
💌 Devan : Di sini hujan mulai turun, aroma debu basah membuat pikiranku melayang pada moment di cafe waktu itu. Kamu tahu? Aku seperti anak kecil yang menolak pulang saat bermain di dunia fantasi.
Krekeek
Suara pintu kamar di buka.
"Kamu belum tidur Van?" tanya Kasandra dengan wajah berantakan.
Devan terkejut, ia seperti pencuri yang ketahuan. Ia langsung menyembunyikan ponselnya di balik bantal lalu memasang wajah ngantuk sambil merapihkan selimut di atas tubuhnya.
"Jam segini baru pulang, dari mana saja kamu?!" tanya Devan wajahnya cemberut.
"Pulang arisan, sist Inka minta arisannya di night club. Kami joget sampai lupa waktu." Kasandra langsung menghempaskan tubuhnya di kasur.
"Ca, kamu bau alkohol. Jangan tidur denganku!" bentak Devan. Namun Kasandra langsung mendengkur halus tanpa membersihkan diri atau berganti pakaian. Devan sangat risih dengan kelakuan Kasandra yang seringkali membuatnya muak. Ia langsung bangkit dari tidurnya dan pindah ke kamar tamu.
Devan melupakan pesan yang baru saja ia ketik. Celakanya, pesan itu belum terkirim.
B e r s a m b u n g...
Kok Kasandra jadi side character di cerita cintanya Devan sama wallpaper 😭
kasihan juga pada Kasandra, tapi mau gimana lagi? udah telat.
semoga zie tidak jadi korban