NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:941
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18 teman masa kecil

Pagi itu mentari Jakarta menyelinap hangat ke celah-celah gedung pencakar langit. Suasana kantor Willson Corp tampak lebih hidup dari biasanya. Beberapa karyawan berkumpul di depan lobi, berdiri dengan rasa penasaran dan semangat yang tak biasa. Sudah sejak malam sebelumnya, kabar pertunangan Makes Rafasya Willson dan sekretarisnya yang cantik dan tangguh, Zhavira Mesyana, menyebar cepat bak angin topan. Grup WhatsApp kantor meledak dengan spekulasi, emoji terkejut, dan tentu saja… harapan akan melihat penampilan perdana mereka sebagai pasangan resmi di kantor pagi ini.

Lift utama terbuka perlahan.

Langkah kaki berirama terdengar dari koridor marmer putih itu.

Zhavira mengenakan blouse satin warna biru muda yang dipadukan dengan rok panjang motif floral lembut, sementara Makes tampil seperti biasa: necis dalam setelan abu arang dan kemeja putih bersih yang digulung di bagian lengan—terlihat santai namun tetap berwibawa. Namun pagi ini, ada yang berbeda. Keduanya berjalan beriringan. Tidak lagi menjaga jarak. Tidak lagi menyembunyikan tatapan atau percakapan.

Dan tentu saja, cincin pertunangan berkilau manis di jari manis Zhavira.

“Selamat pagi, Pak Makes, Bu Zhavira…” sapa salah satu staf resepsionis dengan nada ceria tapi canggung.

Zhavira tersenyum ramah. “Pagi, Naya.”

Makes hanya mengangguk kecil, lalu menggenggam tangan Zhavira sejenak sebelum melangkah menuju lift eksekutif. Para karyawan yang berdiri di sekitar lobi mulai berbisik-bisik pelan namun tak bisa menyembunyikan senyum mereka.

“Aku kira gosip itu bercanda. Eh, beneran dong, Bu Zhavira ditunanganin sama CEO kita!”

“Gila sih, dari sekretaris jadi nyonya Willson masa depan…”

“Sumpah, aku jadi percaya sama pepatah: cinta datang tanpa diduga!”

Sementara itu, di dalam lift, Zhavira melirik Makes dan menahan tawa. “Kamu dengar mereka?”

“Dengar. Dan aku suka,” balas Makes tanpa mengalihkan pandangannya dari layar panel lift. “Akhirnya mereka tahu siapa pemilik hatiku yang sebenarnya.”

Zhavira terkekeh, menepuk pelan lengan tunangannya. “Jangan terlalu percaya diri, Pak CEO. Masih bisa dicabut lho statusnya kalau kamu bikin kesalahan.”

Makes menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya ke arah Zhavira. “Mau seberapa besar kesalahanku… kamu akan tetap mencintaiku, kan?”

Zhavira berpura-pura berpikir. “Hmm… tergantung. Kalau kamu pulang telat karena main golf sih masih dimaafkan. Tapi kalau karena pergi sama Cassandra—”

“Hey,” potong Makes cepat sambil tertawa kecil. “Namanya bahkan gak boleh muncul sekarang. Fokus kita cuma satu, kamu dan aku.”

Mereka keluar dari lift menuju lantai eksekutif. Rasa canggung menyelinap sedikit di hati Zhavira, tapi Makes langsung menggenggam tangannya dan membawanya menuju ruangannya.

Sesampainya di depan ruang kerja, Canva—kepala tim kreatif dan sahabat lama Makes—sudah menunggu sambil memegang tablet dan... sebuah buket bunga.

“Kalau aku gak kasih ini sekarang, nanti dicap gak peka,” ujar Canva sambil menyodorkan bunga kepada Zhavira. “Selamat ya. Gue turut senang, akhirnya si kepala batu ini nemuin orang yang bisa bikin dia... hidup.”

Zhavira tersenyum tulus. “Terima kasih, pak Canva.”

Canva melirik Makes. “Gue gak nyangka juga lo bakal seberani ini. Dulu, lo selalu bilang gak bakal pacaran sama orang kantor, apalagi sekretaris sendiri.”

Makes menepuk bahu Canva. “Kadang, aturan sendiri harus dikalahkan demi yang benar-benar berarti.”

Canva mengangguk. “Yasudah. Gue balik ke tim dulu. Banyak yang mau lihat foto pertunangan kalian, jadi siapin mental aja. Kantor bakal heboh seharian ini.”

Begitu Canva pergi, Makes membuka pintu ruangannya dan mempersilakan Zhavira duduk di sofa. Ia lalu mengambil dokumen dari mejanya dan menyodorkannya pada Zhavira.

“Apa ini?” tanya Zhavira sambil mengambil dokumen itu.

“Sesuatu yang harus kamu tanda tangani sebagai tunanganku sekaligus sekretarisku,” jawab Makes tenang.

Zhavira mengernyit. “Apa? Kontrak?”

“Bukan,” ujar Makes, lalu duduk di sebelahnya. “Itu rencana awal bulan madu. Aku tahu kita belum menikah, tapi aku sudah reservasi vila di Ubud buat minggu depan. Hanya kita berdua.”

Zhavira menatap Makes, sedikit syok tapi hatinya tak bisa menolak kebahagiaan yang muncul. “Kamu serius?”

“Sejak awal aku bilang akan perjuangin kamu, semuanya aku lakuin dengan serius.”

Zhavira menghela napas dan bersandar di bahu Makes. “Kita baru bertunangan. Belum tentu semudah itu…”

“Justru karena kita belum menikah, aku ingin kita punya waktu khusus sebelum semuanya jadi lebih sibuk,” bisik Makes lembut. “Aku ingin mengenal kamu lebih dalam, bukan sebagai sekretarisku… tapi sebagai wanita yang akan jadi istriku.”

Zhavira tak menjawab. Tapi debar di dadanya sudah cukup menjelaskan semua.

Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari ibunya.

> Nak, Mama Makes senang sekali bisa main ke kampung halaman. Nanti kamu juga harus ikut, ya.

Zhavira tersenyum sendiri. Dunia ini memang berubah sangat cepat. Dulu ia hanya seorang sekretaris yang mencoba fokus bekerja dan menjauh dari cinta. Kini, ia bertunangan dengan pria yang paling sulit dipahami tapi juga paling tulus mencintainya.

Makes meliriknya. “Kamu senyum-senyum sendiri. Lagi ngebayangin resepsi kita?”

Zhavira tertawa pelan. “Enggak. Aku cuma bersyukur… akhirnya semuanya berjalan seperti ini.”

Makes mengusap pipinya lembut. “Aku juga. Kamu datang di hidup aku saat aku sudah kehilangan harapan untuk cinta yang tulus.”

“Dan kamu datang di hidupku saat aku sudah menyerah pada keajaiban,” balas Zhavira.

Di luar ruangan, para karyawan terus bergosip, membicarakan pasangan baru itu dengan senyum dan doa yang terselip di antara obrolan mereka.

Di dalam ruangan, dua insan duduk berdampingan, tidak lagi sebagai atasan dan bawahan—melainkan sebagai dua hati yang memilih untuk berjuang bersama.

**

Beberapa minggu telah berlalu sejak kabar pertunangan Makes dan Zhavira diumumkan secara resmi. Kantor mulai terbiasa dengan status baru pasangan itu, dan hubungan mereka terlihat semakin erat. Namun pagi ini, sebuah kejutan datang dalam bentuk seorang perempuan dengan balutan dress berwarna hijau zamrud, melangkah pelan ke lobi kantor Willson Group dengan tatapan penuh kenangan.

“Mbak, ada yang bisa dibantu?” sapa resepsionis dengan ramah.

Perempuan itu tersenyum lembut. “Saya ingin bertemu dengan Makes Willson. Bisa tolong sampaikan, Rania datang mencarinya.”

Nama itu seketika menggugah memori lama di kepala sang resepsionis. Ia segera menghubungi lantai eksekutif.

Tak butuh waktu lama, Makes yang sedang memeriksa berkas di ruangannya segera berdiri dari kursi kerjanya. Wajahnya tak bisa menyembunyikan keterkejutan saat mendengar nama yang tak ia dengar selama bertahun-tahun. Rania, sahabat masa kecilnya, gadis tetangga yang pernah hampir ia lupakan karena kesibukan dan jarak.

Saat Makes tiba di lobi, matanya langsung menangkap sosok perempuan yang kini telah tumbuh menjadi wanita dewasa. Wajah Rania tetap cantik seperti dulu, namun ada sesuatu yang berbeda di sorot matanya—sebuah kesedihan yang dalam.

“Rania?” Makes mendekat, menyapanya dengan nada tak percaya.

Rania tersenyum, meskipun bibirnya sedikit bergetar. “Hai, Makes.”

“Kamu… kamu beneran di sini?” ujarnya, masih terkejut. “Kapan kamu pulang ke Indonesia?”

“Baru dua hari. Dan entah kenapa, aku langsung pengen nyari kamu begitu sampai,” jawabnya sambil tertawa pelan, menyembunyikan sesuatu.

Makes mengangguk. “Ayo naik ke atas. Kita ngobrol di ruanganku.”

Sesampainya di ruangan, Makes meminta Zhavira untuk memberinya waktu beberapa menit sendiri. Zhavira tidak menunjukkan rasa curiga, meski dalam hatinya sedikit terusik oleh kedatangan perempuan asing yang tampak akrab dengan tunangannya.

Rania duduk di sofa ruang kerja Makes, mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu menarik napas dalam-dalam.

“Kamu berubah, Makes. Dari cowok culun yang selalu pakai sandal jepit, sekarang jadi CEO dingin dengan setelan jas,” katanya sambil tertawa lirih.

“Dan kamu juga berubah. Cantik. Lebih dewasa,” jawab Makes ramah, namun memperhatikan rona sendu yang masih menetap di wajah Rania.

“Aku baru putus,” ucap Rania tiba-tiba, memecah suasana.

Makes menoleh, memperhatikannya.

“Enam tahun aku menjalin hubungan sama dia. Tapi ternyata dia selingkuh... dengan sahabatku sendiri. Aku tahu klise, ya? Tapi itu kenyataannya. Dunia seakan ambruk,” ucap Rania lirih, matanya berkaca-kaca. “Makanya aku balik. Butuh tempat buat sembuh, dan satu-satunya orang yang aku ingat bisa bikin aku merasa pulang… ya kamu.”

Kalimat itu membuat Makes terdiam. Ia tidak tahu harus merasa terhormat atau terjebak. Di satu sisi, Rania adalah bagian masa kecilnya yang indah. Di sisi lain, sekarang ia telah bertunangan dengan Zhavira, perempuan yang mencintainya dengan tulus.

“Aku ikut sedih dengar cerita kamu, Rania. Tapi...”

“Aku tahu,” potong Rania cepat. “Aku tahu kamu sudah bertunangan. Aku lihat beritanya di media. Kalian terlihat cocok.”

“Kamu datang hanya untuk cerita soal mantanmu?” tanya Makes lembut.

Rania menatapnya sejenak, lalu menjawab, “Sebagian, ya. Tapi sebagian lainnya… mungkin karena aku belum bisa menerima bahwa kamu bukan lagi Makes yang dulu. Kamu berubah. Semuanya berubah.”

Makes tersenyum simpul. “Kita semua tumbuh, Rania.”

“Aku juga nggak akan ganggu kamu dan tunanganmu. Aku cuma… ingin tahu kamu baik-baik saja. Dan mungkin, aku cuma pengen punya satu orang yang aku percaya di sini, setelah semua yang terjadi,” lirihnya.

“Kalau kamu butuh teman, aku masih orang yang sama. Tapi bukan lagi cowok kecil yang bisa kamu peluk dan kamu panggil ‘pangeranku’,” ujar Makes, mencoba mencairkan suasana dengan gurauan masa kecil mereka.

Rania tertawa, lalu menatap Makes penuh rasa syukur. “Terima kasih, Makes. Aku lega akhirnya bisa ketemu kamu.”

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!