Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Lania mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selalu Ada Rencana B
Ruang meeting kecil itu dipenuhi aroma bunga segar dari dekorasi contoh yang terpajang di sudut. Brosur-brosur dan katalog berserakan di meja, memperlihatkan berbagai konsep pernikahan mewah hingga minimalis.
Staff wedding organizer berusaha menjelaskan dengan ramah, membuka halaman demi halaman katalog. “Kalau untuk tema warna, kami sarankan kombinasi blush pink dan gold. Romantis tapi tetap elegan.”
Namun, Adisty hanya mengangguk sekilas sambil sesekali melirik ponselnya. Layar menyala—tidak ada pesan baru dari orang suruhannya. Jari-jari lentik mengetuk-ngetuk meja, menahan rasa kesal.
“Kita juga bisa menambahkan detail lampu gantung di area pelaminan. Efeknya akan sangat dramatis saat resepsi malam hari,” lanjut sang staff.
“Tidak,” potong Adisty cepat, nada suaranya terdengar datar. “Aku mau konsep yang … berbeda.”
“Berbeda seperti apa, Bu?” tanya staff itu hati-hati.
Adisty membuka mulut, tetapi matanya kembali melirik layar ponsel—kosong. Bibirnya menutup lagi, seakan-akan semua inspirasi hilang. Dia bersandar di kursi, menatap ke arah jendela tanpa fokus.
Di sebelahnya, Tegar duduk dengan lengan terlipat. Dia memperhatikan gerak-gerik Adisty, lalu menggeleng pelan. Dari tatapan matanya, terlihat jelas dia bisa merasakan kegelisahan perempuan itu—meski tidak berniat menenangkannya.
Staff WO mencoba melanjutkan, “Kalau untuk undangan—”
“Bisa kita bahas lain kali saja?” potong Adisty lagi, kali ini dengan nada hampir kesal. “Aku … tidak bisa mikir sekarang.”
Keheningan singkat menyelimuti ruangan, hanya terdengar bunyi AC yang berdesir. Tegar memiringkan kepala, menatap Adisty lebih lama, seakan-akan membaca bahwa pikirannya sedang berada ratusan kilometer dari ruangan itu—tepat di Semarang, bersama Sagara dan Lania.
“Aku permisi sebentar. Gar, sisanya aku serahin ke kamu,” ucap Adisty seraya beranjak dari duduk. Berjalan cepat menuju pintu keluar, ponsel menempel di telinga kanan.
Udara panas langsung menyergap ketika Adisty melangkah keluar ruangan. Tumit sepatunya menghentak cepat di lantai marmer lorong gedung, irama langkahnya sejalan dengan detak jantung yang kian memanas.
Ponsel di telinga kanan, suaranya tajam menusuk.
“Sudah dapat kabarnya?” tanya Adisty tanpa basa-basi.
Dari seberang terdengar jawaban singkat, “Mereka masih di hotel, Bu. Barusan sarapan di balkon.”
Adisty mendesis pelan, lalu menatap kosong lurus ke depan. “Dengar baik-baik. Aku mau kamu kirimkan satu rangkaian bunga mewah, mawar merah besar. Paham?”
“Siap, Bu. Atas nama siapa?”
Senyum miring muncul di wajah Adisty, tatapannya licik. “Atas nama Pandu. Lengkap dengan kartu ucapan…” Dia berhenti sejenak, merangkai kata di kepalanya. “Tulis ‘Tak ada yang lebih indah dari pagi ini, kecuali melihatmu tersenyum. Aku setia menunggumu kembali’ begitu saja.”
Di seberang, orang suruhannya hanya berdeham. “Akan saya urus sekarang.”
“Bagus. Pastikan bunga itu diantar langsung ke resepsionis hotel, dan minta mereka mengirimkannya ke kamar Sagara dan Lania. Aku mau semuanya rapi—tidak boleh ada kesalahan,” tegasnya sebelum menutup telepon.
Adisty menyelipkan ponsel ke dalam tas, lalu menarik napas dalam. Bayangan wajah Lania yang menerima bunga itu terlintas di benaknya, disusul kemungkinan pertengkaran yang akan terjadi di kamar hotel itu.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, bibirnya melengkung—senyum puas yang dingin.
Tidak lama kemudian, Tegar menyusul—dia menatap Adisty dalam-dalam membaca rencana yang dipersiapkan untuk merusak—menjauhkan Sagara dan Lania.
Tegar jelas tidak senang, tetapi juga tak bisa berbuat apa-apa, sebab ingin melihat Adisty bahagia meskipun menggunakan cara yang salah.
Saat berjalan berdua di koridor, Adisty teringat akan rencana Tegar dan menagihnya. Langkah mereka bergaung di koridor panjang yang sepi, hanya suara gesekan sepatu dan dengung AC yang menemani. Tegar berjalan setengah langkah di belakang, matanya sesekali menatap punggung Adisty yang tegap—penuh gelombang emosi.
“Gar…” suara Adisty memecah keheningan, nadanya tajam—terselip antusiasme. “Gimana rencana kamu? Jangan cuma ide di kepala. Aku mau dengar detailnya.”
Tegar menghela napas, menatap ke samping sejenak sebelum kembali fokus ke wajah Adisty. “Rencanaku butuh waktu. Kita tidak bisa asal main serang. Kalau mau mereka benar-benar pecah, kita harus buat Sagara percaya kalau Lania memang bersalah.”
Alis Adisty terangkat, matanya menyipit penuh selidik. “Maksudmu?”
“Bukti, Dis. Kita harus siapkan bukti yang bisa dia lihat langsung—sesuatu yang meyakinkan. Kalau cuma bunga atau pesan romantis dari ‘Pandu’, itu cuma bikin ribut sebentar. Besoknya mereka bisa baikan lagi,” jelas Tegar, suaranya pelan, tetapi tegas.
Adisty menghentikan langkah, berbalik menghadapnya. “Jadi kamu mau bikin jebakan lebih besar dari ini?”
“Aku mau bikin jebakan yang bikin dia tidak punya alasan untuk kembali ke Lania. Tapi…” Tegar memberi jeda singkat, “… cara ini tidak akan ada jalan baliknya.” Dia menatapnya dalam-dalam, lalu menunduk sedikit, seolah-olah menimbang kata-kata.
Senyum tipis menghiasi bibir Adisty, matanya berkilat. “Kalau itu yang dibutuhkan, aku siap.”
Namun, di balik ekspresi Tegar yang datar, ada keraguan yang samar—bukan karena takut pada rencana itu, tetapi karena dia mulai bertanya-tanya, apakah kebahagiaan Adisty yang dikejar benar-benar sepadan dengan kehancuran yang akan mereka ciptakan.
“Gimana kalau rencana ini gagal?” tanya Adisty, menerawang jauh ke seberang. Dia menggigit ringan ujung kuku.
“Selalu ada rencana B. Kita harus bangun kembali kecurigaan Lania, ini pasti berhasil, mengingat sudah menaruh curiga dari lama.” Tegar menepuk-nepuk jaketnya, memastikan ponsel dan flashdisk ada di saku dalam. “Aku sudah simpan beberapa foto lama waktu Sagara di luar kota. Kalau kita edit sedikit … Lania akan mengira itu kejadian baru.”
Adisty menoleh cepat ke arah Tegar, lalu kembali menatap depan—jemari memainkan ujung rambutnya dengan senyum licik. “Bagus. Aku maunya lebih dari sekadar foto. Aku mau ada suara, ekspresi… sesuatu yang bikin Lania tidak ragu lagi kalau Sagara udah main serong. Kita gunakan video itu.”
Berjalan penuh percaya diri, api terlihat jelas di mata Adisty. “Kalau ini berhasil, Lania tidak akan punya alasan lagi untuk bertahan. Sagara akan jadi milikku sepenuhnya.”
Adisty menahan tawa kecil, tetapi di balik sorot matanya—Tegar dapat melihat ada sesuatu yang lebih licik. Jujur secara pribadi, dia memiliki niat yang mungkin tidak sepenuhnya berpihak pada wanita ini.
Koridor menuju lift terasa semakin sempit ketika keduanya melangkah berdampingan. Lampu-lampu downlight memantulkan kilau dingin di lantai marmer, seperti menegaskan suasana hati mereka yang sarat intrik.
Saat pintu lift terbuka, Tegar mempersilakan Adisty masuk terlebih dahulu. Begitu pintu tertutup, ruang sempit itu dipenuhi hanya oleh dengung mesin dan napas mereka.
“Aku akan kirim video itu ke Lania lewat nomor tak dikenal,” ujar Adisty sambil menatap pantulan dirinya di dinding lift yang berlapis logam. “Biar dia tidak punya waktu untuk bertanya-tanya. Dia akan langsung meledak.”
,, membangun konflik dn dialog itu gk mudah loh 🤧🤧 tpi ini bagus 👍