Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Sang Sekretaris
"Kamu ternyata sulit juga disingkirkan! Kamu seperti lintah yang terus menempel pada inang dan mengisapnya darah! Ah, tunggu!" Gendis menghentikan ucapannya.
Perempuan tersebut melangkah maju mendekati Ivy. Dia menatap perempuan yang dia anggap sebagai rivalnya tersebut. Gendis memegang bahu Ivy, tetapi langsung ditepis oleh istri dari Noah tersebut.
"Lintah itu rakus! Ia tidak akan melepaskan inangnya sebelum kekenyangan!" Gendis terkekeh.
Ivy kini mengempaskan lengan Gendis. Dia menatap tajam Gendis. Meski tampak berani, sebenarnya Gendis mulai meragukan kemampuannya untuk mengintimidasi Ivy.
"Sebenarnya yang lintah itu aku apa kamu? Ndis, bahkan kamu lebih buruk dari lintah! Kamu lebih mirip dengan simpanse!" Ivy terkekeh ketika melihat perubahan ekspresi Gendis.
"Kamu!" Gendis menunjuk wajah Ivy dengan muka yang berubah merah padam.
"Kenapa? memang pada kenyataannya begitu kok!" Ivy melipat lengan di depan dada kemudian melangkah maju mendekati Gendis.
"Simpanse betina tidak peduli bahwa si pejantan memiliki pasangan atau tidak. Dia akan memprovokasi pejantan agar bisa menjauhkannya dari pasangan sebelumnya! Simpanse akan melakukan segala cara demi bisa merebut pejantan itu untuk bisa kawin dengannya." Ivy kembali melangkah maju, sehingga jarak keduanya kini tinggal dua jengkal.
Tubuh Ivy yang lebih tinggi daripada Gendis membuatnya merasa kerdil. Belum lagi tatapan Ivy yang penuh ketegasan. Gendis menelan ludah kasar.
"Bahkan terkadang simpanse akan memilih untuk menyerah dan mencari target lain jika usahanya tidak dianggap! Sementara kamu terus mengusik keluarga harmonis kami, padahal keteguhan hati Noah begiti kuat. Kamu menyedihkan sekali, Ndis!"
Gendis yang semakin tersinggung akhirnya memutuskan untuk menyerah kali ini. Dia tidak memiliki penyangkalan yang baik. Perempuan tersebut mengentakkan kaki dan berjalan cepat menuju pintu kantor. Akan tetapi, begitu pintu terbuka, ternyata Noah ada di luar kantor.
Lelaki itu sedang bersandar pada dinding, dan buru-buru menyembunyikan tawanya. Gendis mencembikkan bibir lantas berlari ke arah elevator karena malu. Ya, Noah sudah mendengar semua, bagaimana Ivy menghina Gendis.
Noah tetap berdiri di depan ruangannya dan memandang Gendis dari kejauhan dengan tatapan mengejek. Dia tersenyum geli ketika melihat Gendis yang terlihat sangat frustrasi. Barulah Noah kembali ke ruangannya ketika pintu Elevator tertutup dan menghalangi tatapannya kepada Gendis.
"Istriku memang yang terbaik!" ujar Noah sambil mengacungkan kedua jempolnya ke arah Ivy saat memasuki kantor.
Ivy melirik Noah sekilas, kemudian kembali mengulaskan cat kuku pada kutikulanya. Noah mendekati sang istri, lantas duduk di sampingnya. Noah tiba-tiba mengecup pipi sang istri.
"Gendis terlalu meremehkan aku, No. Dia tidak bisa bersikap seperti itu terus-terusan. Awalnya mungkin aku diam. Tapi, jika sudah melewati batas yang aku buat, Gendis harus menanggung segalanya!" ujar Ivy sambil tersenyum lebar.
"Inilah alasanku hati hati kepadamu, Vy. Kamu wanita pemberani dan tegas. Meski terkadang menyebalkan karena aku kesulitan mengaturmu, tapi kamu sudah berhasil membuat aku jatuh dalam pesonamu!" puji Noah.
"Oh, ya, besok aku akan pergi ke Jepang untuk menemui Pak Hiro. Dia ingin mengajak kita berkeliling ke Kyoto untuk melihat rumah tradisional di sana. Aku akan mengajak Gendis sebagai formalitas dan untuk mencatat notulen rapat. Kamu nggak masalah, kan?"
Ivy menutup botol cat kuku dengan santai, lalu memandang Noah dengan tatapan datar. “Kalau itu urusan kerja, aku tidak keberatan. Tapi pastikan dia tidak bikin masalah,” ucap Ivy dingin.
Noah mengangguk sambil terkekeh. “Tenang. Aku pastikan dia cuma jadi pelengkap. Toh, kamu juga akan ikut mendampingiku. Kamu kan asisten pribadiku?” ujar Noah sambil terkekeh.
Ivy mendengus, lalu berdiri. “Kalau begitu, kita harus mulai berkemas. Jangan sampai ada yang tertinggal.”
Hari keberangkatan pun tiba, bandara internasional tampak ramai, tetapi rombongan kecil yang terdiri dari Noah, Ivy, dan seorang arsitek muda bernama Tama berjalan dengan tenang menuju ruang tunggu VIP. Semua terlihat siap. Tiket, paspor, dan itinerary tersusun rapi di tangan Tama.
Ivy tampil menawan dengan coat putih dan celana panjang abu-abu, sepadan dengan setelan Noah yang berwarna senada. Mereka tampak seperti pasangan selebriti yang hendak liburan. Namun saat Noah duduk dan membuka tas kerjanya, wajahnya mendadak pucat.
“Berengsek,” gumam Noah sambil memukul kepalanya sendiri.
Ivy menoleh. “Kenapa?”
“Ada berkas yang tertinggal di ruang kerja. Sketsa dan proposal revisi untuk Pak Hiro. Gak bisa kita presentasi tanpa itu.”
Tama ikut panik. “Kalau gak dibawa, presentasi kita akan sia-sia, Pak.”
Noah segera merogoh ponselnya dan menelepon seseorang. Tak lama, suara Gendis menjawab.
“Aku belum berangkat. Masih di apartemen,” kata Gendis sambil menguap.
“Dengar, ini penting. Ada berkas biru di laci meja kerjaku di rumah. folder bertulisan ‘Proyek Kyoto’. Tolong ambil dan bawa ke bandara secepatnya. Kamu masih sempat. Satpam ada di rumah, kamu bisa minta dia bukakan pintu untukmu. Aku tidak mengunci ruang kerja”
“Oke, aku segera ke sana.” Gendis pun mengakhiri sambungan telepon dan bersiap.
Setelah siap, Gendis mampir ke kediaman Noah dan Ivy. Dia memasuki rumah Noah dengan santai. Sesekali dia bersenandung sambil menaiki anak tangga. Sesekali dia mencibir saat melihat foto pernikahan Ivy dan Noah yang tertempel pada dinding sisi tangga menuju lantai dua.
"Dasar perempuan lintah!" umpat Gendis.
Gendis berjalan cepat menuju ruang kerja Noah. Laci pertama terbuka dan di sanalah folder biru yang dimaksud. Namun saat dia menarik folder itu, selembar amplop putih menyelip dan jatuh ke lantai. Di permukaannya tertulis “Surat Perjanjian Pernikahan”.
Gendis terdiam sejenak. Jantungnya berdebar. Dia memungutnya pelan, membuka tanpa suara, dan mulai membaca isinya. Matanya membelalak.
“Pernikahan kontrak?” bisik Gendis sambil menutup bibir yang terbuka menggunakan telapak tangan.
Isinya menjelaskan bahwa pernikahan antara Noah dan Ivy dilandasi kesepakatan bisnis, dan masa berlaku kontrak hanya satu tahun. Tertulis tanda tangan keduanya di atas materai resmi. Gendis menyimpan dokumen itu dengan cepat ke dalam tas tangannya.
Perempuan itu tahu ini bisa menjadi senjata pamungkas. Senjata untuk menghancurkan Ivy. Jika dokumen ini dibuka di saat yang tepat, semuanya bisa runtuh. Wajah Gendis menyeringai puas.
Gendis meninggalkan rumah itu dengan hati yang jauh lebih ringan begitu juga dengan langkahnya. Satu jam kemudian, Gendis tiba di bandara, menyodorkan berkas ke Noah dengan senyum manis.
“Maaf telat. Macet,” kata Gendis enteng.
Noah mengangguk, lalu mengajak semuanya masuk ke gate keberangkatan. Mereka akhirnya terbang ke Kyoto tanpa curiga akan bahaya yang dibawa oleh salah satu dari mereka. Sesampainya di Jepang, Hiro telah menunggu mereka di lobi hotel.
Pria tampan muda dengan kacamata dan setelan kasual elegan itu menyambut Noah dan Ivy dengan ramah. “Selamat datang! Kyoto sedang berada di musim gugur terbaiknya. Warna daun-daunnya akan cocok sekali untuk inspirasi desain kalian.”