Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Sang Sekretaris
“Kamu ternyata sulit juga disingkirkan! Kamu seperti lintah yang terus menempel pada inang dan mengisap darahnya!” Gendis mendesis, matanya menyipit penuh benci. Lalu dia berhenti sejenak, bibirnya melengkung sinis. “Ah, tunggu .…”
Gendis melangkah maju, hak sepatunya mengetuk lantai keras-keras, menambah ketegangan ruangan. Tatapannya menyorot langsung pada Ivy, dingin seperti belati. Tangannya mencengkeram bahu Ivy dengan kasar.
Namun, Ivy segera menepisnya. Sentuhan itu bagai bara api di kulitnya.
“Lintah itu rakus!” Gendis terkekeh, suaranya seperti ejekan yang disengaja menusuk. “Ia tidak akan melepaskan inangnya sebelum kekenyangan.”
Ivy mengempaskan lengan Gendis yang masih mencoba mendekat. Dadanya naik-turun, bukan karena takut, melainkan menahan emosi yang mendidih. Dia menatap tajam, pupilnya berkilat. Meski mulut Gendis masih tersenyum miring, dia bisa merasakan sedikit getar ragu di hatinya sendiri.
“Sebenarnya, yang lintah itu aku apa kamu, Ndis?” Ivy mencondongkan tubuh, suaranya rendah, tetapi tajam. “Kamu bahkan lebih buruk dari lintah. Kamu lebih mirip simpanse.”
Tatapan Ivy menusuk, dan dia terkekeh kecil ketika melihat wajah Gendis yang menegang.
“Kamu!” seru Gendis, menunjuk wajah Ivy. Jemarinya bergetar, wajah perempuan tersebut memerah, dan napasnya memburu.
Ivy melipat lengan di dada, gerakan itu tenang tetapi penuh tantangan. Dia melangkah maju, suara hak sepatunya terdengar mantap di lantai.
“Kenapa? Memang kenyataannya begitu, kan?”
Ivy berhenti hanya dua jengkal dari wajah Gendis. Suaranya semakin tajam, menusuk langsung ke titik rapuh lawannya.
“Simpanse betina tidak peduli pejantan itu punya pasangan atau tidak. Dia akan memprovokasi, berusaha memisahkan, melakukan apa pun demi menguasainya.” Ivy menatap lurus, tubuhnya yang lebih tinggi membuat Gendis harus mendongak.
“Bahkan kalau usahanya gagal, simpanse itu akan menyerah dan mencari target lain. Tapi kamu, Ndis…” Ivy mendekat sedikit lagi, nadanya kini lebih menusuk.
“Kamu tetap memaksa, padahal Noah sudah teguh menolak. Kamu menyedihkan sekali.”
Gendis menelan ludah kasar. Urat di pelipis Gendis menegang, mata berkilat-kilat, tetapi lidahnya kelu. Tak ada bantahan yang bisa keluar. Dia merasakan dadanya panas, seperti ditelanjangi habis-habisan di hadapan musuh.
Dengan gerakan kasar, Gendis mengentakkan kaki, lalu berbalik. Dia melangkah cepat menuju pintu kantor, langkahnya berderap penuh kemarahan. Namun, begitu pintu terbuka, tubuhnya sontak menegang.
Noah berdiri di sana. Dia bersandar santai pada dinding, tangan menyilang di dada. Tatapannya dingin, tetapi senyum tipis menghiasi bibir. Dia sempat menunduk sedikit, seolah menyembunyikan tawa yang nyaris pecah.
Gendis merasakan wajahnya terbakar. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia mencembikkan bibir lalu berlari menuju elevator. Punggungnya menegang dengan napas yang terasa berat.
Noah menatap kepergian Gendis, matanya menyipit penuh ejekan hingga pintu elevator menutup dan menelan sosok yang frustrasi. Barulah Noah masuk ke ruangannya. Suaranya riang, penuh kemenangan.
“Istriku memang yang terbaik!” Noah mengacungkan kedua jempolnya pada Ivy.
Ivy hanya melirik sekilas, lalu kembali menunduk, mengulaskan cat kuku dengan santai seolah tak terjadi apa-apa. Namun, ada lengkungan samar di bibirnya, sulit ditebak antara puas atau sekadar menertawakan kebodohan Gendis.
Noah mendekat, duduk di sampingnya, lalu tiba-tiba mengecup pipinya. Ivy hanya mendengus kecil. Namun, matanya berkilat puas.
“Gendis terlalu meremehkanku, No. Dia pikir aku bisa ditindas begitu saja.” Ivy menutup botol cat kuku, meletakkannya di meja, lalu menatap Noah dengan senyum lebar.
“Aku diam bukan berarti tak bisa melawan. Kalau Gendis sudah melewati batas. Dia harus siap menanggung akibatnya.”
Noah menatap istrinya dengan kagum. Ada kekaguman sekaligus rasa waspada. “Inilah alasanku hati-hati padamu, Vy. Kamu berani, tegas, kadang bikin aku kewalahan. Tapi … justru itu yang bikin aku jatuh padamu.”
Ivy mengangkat dagunya, bangga. Namun sejenak kemudian, Noah mengubah nada.
“Besok aku harus ke Jepang. Pak Hiro sudah menyiapkan agenda di Kyoto. Aku bawa Gendis juga, formalitas, buat catat notulen rapat. Kamu nggak masalah kan?”
Ivy menatapnya datar, suaranya dingin. “Kalau itu urusan kerja, silakan. Tapi pastikan dia nggak bikin masalah.”
Noah terkekeh, mencoba mencairkan suasana. “Tenang. Dia cuma pelengkap. Kamu kan tetap yang utama. Asisten pribadiku sekaligus pendamping hidup.”
Ivy mendengus, lalu berdiri. “Kalau begitu kita berkemas sekarang. Jangan sampai ada yang tertinggal.”
Hari keberangkatan tiba. Bandara internasional dipenuhi hiruk-pikuk penumpang. Namun rombongan kecil Noah, Ivy, dan Tama melangkah tenang menuju ruang tunggu VIP. Tiket, paspor, itinerary, semua sudah rapi di tangan Tama.
Ivy mengenakan coat putih dan celana abu-abu, rambutnya tersanggul anggun. Dia tampak seperti selebriti, sepadan dengan Noah yang berjas abu-abu elegan. Saat keduanya berjalan beriringan, beberapa pasang mata tak bisa menahan lirikan kagum.
Namun, ketenangan itu runtuh ketika Noah membuka tas kerjanya. Wajahnya langsung pucat.
“Berengsek!” Noah menepuk dahinya keras.
Ivy menoleh. “Apa lagi?”
“Sketsa dan proposal revisi buat Pak Hiro… tertinggal di ruang kerja.” Suaranya panik, tangannya meremas rambut.
Tama menegakkan tubuh, wajahnya cemas. “Kalau gak dibawa, presentasi bisa gagal total, Pak.”
Noah segera mengeluarkan ponsel, jarinya gemetar sedikit. Dia menekan nomor Gendis. Suara malas perempuan itu terdengar di seberang.
“Aku belum berangkat. Masih di rumah.”
“Dengar baik-baik. Ada folder biru di laci meja kerjaku. Tulisannya ‘Proyek Kyoto’. Ambil itu, bawa ke bandara sekarang. Satpam ada di rumah, dia akan bukakan pintu.”
“Baiklah. Aku segera ke sana.”
---
Beberapa menit kemudian, Gendis sudah melangkah masuk ke rumah Noah. Sepasang high heels-nya mengetuk lantai marmer. Sesekali dia berhenti menatap foto pernikahan Ivy dan Noah di dinding. Bibirnya melengkung sinis.
“Dasar perempuan lintah.” Umpatan Gendis keluar lirih.
Perempuan tersebut menaiki tangga, menuju ruang kerja Noah. Laci pertama langsung terbuka tempat folder biru berada. Gendis menariknya, tetapi sebuah amplop putih tergelincir dan jatuh ke lantai.
Kening Gendis berkerut. Dia memungut amplop itu, membaca tulisan di permukaannya: Surat Perjanjian Pernikahan.
Darah perempuan itu berdesir. Dia membuka pelan, jemarinya bergetar. Begitu membaca isinya, matanya membelalak.
“Pernikahan kontrak …?” suara Gendis tercekat, bibirnya menutup rapat menahan desis.
Tanda tangan Noah dan Ivy tercetak jelas di atas materai. Masa berlaku hanya satu tahun.
Tubuh Gendis bergetar kecil, lalu perlahan senyum merayap di wajahnya. Senyum puas, beracun. Dia melipat kembali surat itu, menyelipkannya ke dalam tas tangan.
“Senjata pamungkas!” ujar Gendis.
“Ivy, kali ini aku yang akan menelanjangi topengmu.”
Dengan langkah ringan, ia turun kembali. Kini wajahnya jauh lebih cerah dibanding saat datang.
Satu jam kemudian, Gendis tiba di bandara. Dia menyodorkan folder biru kepada Noah dengan senyum manis, seolah tak ada yang terjadi.
“Maaf telat, macet,” kata Gendis enteng.
Noah mengangguk singkat, lalu kembali sibuk dengan berkas. Tak ada yang menyadari rahasia besar kini bersembunyi di tas kecil Gendis.
Tak lama berselang, mereka melangkah masuk ke gate keberangkatan. Pesawat membawa mereka ke Kyoto, tanpa curiga bahwa salah satu dari mereka sedang membawa bom waktu yang bisa menghancurkan segalanya.
***
Sesampainya di Jepang, Hiro sudah menunggu di lobi hotel. Pria tampan itu menyambut mereka ramah, kacamata bulatnya berkilat di bawah cahaya lampu.
“Selamat datang,” ujarnya hangat. “Kyoto sedang di musim gugur terbaiknya. Daun-daun yang berubah warna … akan jadi inspirasi luar biasa untuk desain kalian.”