NovelToon NovelToon
SEKRETARIS INCARAN

SEKRETARIS INCARAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Selingkuh / Persahabatan
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Noona Rara

Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HARI PERTAMA JADI SEKRETARIS

Hari pertama Febi resmi menjadi sekretaris pribadi Arkan terasa seperti masuk ke dunia lain. Kantornya di lantai atas terasa seperti dimensi berbeda, dingin, elegan dan penuh aura kekuasaan. Dinding kaca menyuguhkan pemandangan kota yang sibuk, sedangkan interiornya bergaya minimalis modern: rak buku berjejer rapi, lampu gantung bergaya industrial, dan karpet lembut yang meredam langkah kaki siapa pun yang masuk.

Febimenelan ludah ketika pintu lift terbuka. Toni sudah berdiri menunggu di depan pintu kaca besar bertuliskan CEO's Office dengan huruf timbul warna perak.

“Pagi, Febi. Siap jadi tameng utama Pak Arkan hari ini?” sapa Toni sambil menyodorkan secangkir kopi.

“Tameng?” Febi berkedip, menerima kopi itu dengan dua tangan.

“Sekretaris CEO bukan cuma nyusun jadwal, tapi juga siap mental hadapi suasana... unik,” ujar Toni, senyumannya penuh makna. “Ayo, saya ajarin sistem kerjanya sambil nunggu Pak Arkan datang.”

Mereka masuk ke ruang tengah sebelum ruangan utama CEO. Ada dua meja besar,  satu untuk Febi, satu untuk asisten lain yang bertugas secara rotasi. Di belakang mereka, pintu ganda kaca buram menuju ruangan utama sang bos.

Selama setengah jam, Toni menjelaskan sistem kerja CEO itu. Jadwal padat, rapat dengan klien penting, dokumen yang harus ditandatangani dalam hitungan menit, telepon tak pernah berhenti, dan tentu saja semua harus terlihat sempurna.

“Multitasking itu wajib. Kadang, sambil nyatet notulen, kamu juga harus nyiapin kopi dan jawab telepon dari direksi lain. Intinya, kamu jadi radar utama bos.” ujar Toni sembari menunjukkan kalender digital di tablet.

Ia juga menatap Febi sejenak, lalu tersenyum simpul. “Bukan menyinggung, tapi kamu ini cantik loh... cuma gaya busananya perlu upgrade dikit. Di ruangan ini, tampil rapi itu bukan opsional. Itu bagian dari reputasi bos.”

Febitersenyum malu. “Makasih sarannya. Aku ngerti kok... besok aku coba pakai blazer, deh.”

Sebelum Toni sempat menjawab, pintu kaca utama terbuka.

Arkanmasuk.

Seperti biasanya, ia terlihat seperti keluar dari iklan parfum mahal. Rambut disisir rapi, jas abu muda membingkai tubuh tegapnya, dan langkahnya tenang namun penuh aura dominasi.

Suara langkah sepatunya terdengar pelan tapi jelas di karpet mahal itu.

Febirefleks berdiri. Tangan kirinya menggenggam erat ujung meja.

“Pagi” katanya sambil melepas jam tangan dan meletakkannya di meja. Matanya sekilas menyapu Febi dari atas ke bawah. “Kamu cepat datang.”

“I-iya, Pak.” Febi menunduk sedikit, merasa jantungnya berdetak tak karuan.

Arkanmengerutkan kening, lalu berjalan mendekat. “Kamu gugup?”

“Sedikit,” gumam Febi. Suaranya nyaris tidak terdengar.

Tiba-tiba, Arkan membungkuk sedikit, jaraknya hanya sejengkal dari wajah Febi dan berbisik, “Jangan gugup. Aku bukan bos yang suka gigit orang... kecuali diminta.”

Toniyang sedang pura-pura sibuk dengan iPad-nya, mendelik. Bos ini niat banget...

Febimundur setengah langkah, wajahnya merah padam. “P-Pak Arkan!”

Arkantertawa pendek dan berjalan ke meja kerjanya. “Santai aja. Sekretaris pribadi harus biasa dengan tekanan. Termasuk tekanan dari saya.”

Febimenarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Toni mendekat pelan dan berbisik, “Kamu nggak apa-apa? Nafasmu kedengeran ngos-ngosan.”

“Dia ngebisikin aku!” bisik Febi balik, panik. “Kayak... deket banget!”

Tonimendengus geli dalam batin. “Waduh, ini sih udah pasti. Bos mulai naksir beneran.”

Sejak dulu, Toni tahu bosnya bukan tipe pria polos. Di luar kantor, Arkan dikenal sebagai pria menawan dengan track record yang... variatif. Tapi di kantor, ia menjaga citra. Tak pernah melirik karyawan wanita sampai Febi datang.

Dan sekarang, Toni baru sadar: ada yang beda di mata bosnya setiap menatap Febi. Bukan sekadar iseng.

Tak lama, Febi mendapat tugas pertamanya: menyusun dokumen rapat pagi dan menyerahkannya langsung pada Arkan.

Jantungnya seperti mau copot saat mengetuk pintu kaca. “Permisi, Pak.”

“Masuk.” jawab Arkan, tanpa mengangkat kepala.

Febimelangkah masuk dengan hati-hati, berusaha tidak menginjak sudut karpet atau menjatuhkan apa pun. Tapi tentu saja, sial datang tanpa aba-aba. Map di tangannya terlepas, jatuh berserakan.

“Ups!”

Refleks, ia membungkuk. Di saat yang sama, Arkan juga membungkuk.

Dahi mereka nyaris bertubrukan. Wajah mereka hanya berjarak tiga centimeter.

Mereka membeku.

“E-eeeh...” Febi salah tingkah, ingin mundur tapi terlalu sempit.

Arkanmenatap matanya lekat-lekat, senyumnya mengembang pelan. “Kalau kamu terus begini, saya bisa salah paham.”

“Salah paham?” Febi bingung.

“Kamu sengaja jatuhin map biar saya dekatin kamu, ya?”

“APA?! Tidak, Pak! Sungguh!”

Arkantertawa kecil. “Saya cuma bercanda.”

Febiburu-buru bangkit, wajahnya merah seperti kepiting rebus. Ia kembali ke mejanya, duduk dan mengelus dada.

“Aku nggak kuat Pak... dia kayak setan tampan!” bisiknya ke Toni.

Tonimenahan tawa. “Hati-hati, Febi. Setan tampan itu paling berbahaya. Apalagi kalau dia mulai manis kayak gitu.”

Febimengangguk panik, tapi tiba-tiba bibirnya membentuk senyum geli.

“Kalau dia terus begini, bisa-bisa aku minta naik gaji hanya untuk kompensasi tekanan batin,” bisiknya.

Toninyengir. “Nah, itu semangatnya!”

Saat siang hari, Febi sudah mulai terbiasa dengan ritme kantor yang cepat. Telepon berdering nyaris nonstop, email masuk seperti air bah, dan ia harus mengatur ulang jadwal meeting tiga kali hanya karena perubahan mendadak dari direktur divisi lain.

Namun, anehnya... ia merasa hidup.

Ada sensasi puas ketika berhasil menyelesaikan daftar tugas. Dan di sela-sela ketegangan, candaan Toni serta godaan kecil Arkan membuatnya tidak merasa sendirian.

Menjelang sore, Arkan keluar dari ruangannya sambil membawa dokumen.

“Febi,” panggilnya.

“Ya, Pak?”

“Kopi soreku mana?” tanyanya, dengan nada setengah menggoda.

Febimengerutkan kening. “Pak... Maaf tapi saya belum tau selera kopi Pak Arkan seperti apa.”

Arkanmeliriknya sambil tersenyum. “Kalau begitu, ikut saya ke pantry. Saya ajarin. Anggap ini pelatihan khusus dari CEO.”

Toniyang mendengar dari kejauhan langsung melongo. Ini sih udah keterlaluan... pelatihan kopi langsung dari bos?

Febiberdiri ragu-ragu. Tapi matanya menangkap tatapan Arkan yang... entah kenapa, membuatnya tak bisa berkata tidak.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa—dunia kantor yang kaku ini... bisa jadi awal dari sesuatu yang tak terduga.

Febiberjalan gugup di belakang Arkan menuju pantry kecil di ujung lorong. Ruangan itu bersih dan modern, dengan aroma kopi yang menenangkan. Arkan membuka laci, mengeluarkan biji kopi khusus.

“Ini kopi favorit saya. Arabika Sumatera. Jangan salah takar, nanti saya bisa bad mood seharian,” katanya sambil mencuri pandang ke arah Febi.

Febimenelan ludah. “Baik, Pak. Saya usahakan tidak bikin bos bad mood.”

Arkantertawa pelan. “Tenang, saya nggak sekejam itu kok. Tapi kamu harus belajar menyenangkan atasannya.”

Ia mengambil tangan Febi dan memposisikannya memegang sendok takar. Sentuhannya hangat, tapi membuat jantung Febi berdebar hebat.

“Fokus, Febi,” bisiknya.

Febimengangguk cepat, berusaha menenangkan pikirannya.

Setelah kopi siap, mereka kembali ke meja. Febi menyodorkan cangkir dengan hati-hati.

Arkanmencicipi, lalu tersenyum. “Lumayan. Besok kita latihan lagi, ya?”

"Aduh bisa-bisa jantungku tidak aman kalau Pak Arkan terlalu intens deketnya. Lagian dia kan bos, ngapain repot-repot ajarin langsung karyawannya buat bikin kopi,"batin Febi.

1
Andriyani Lina
namanya juga suka Febu, ya gitu2 kelakuan bos kalau mau dekat2 sama karyawan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!