NovelToon NovelToon
Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: DUOELFA

Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.

"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.

Aku memandang putri sulungku tersebut.

"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.

Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MENJELANG BABAK FINAL PART 1

Hari ini adalah pengumuman tes seleksi babak penyisihan beasiswa sekolah bertaraf internasional dari kota pelajar. Aku mengecek email di kontak gmail yang ada gawaiku berwarna hitam. Sesuai dengan perkiraanku, Zahrana lolos selesksi babak penyisihan tes beasiswa di sekolah tersebut. Tertera jelas di website sekolah bahwa Zahrana lulus pada babak penyisihan dan harus melakukan tes babak final yang akan dilakukan secara offline di sekolah bertaraf internasional tersebut. Jadwal pelaksanaan ujian dilakukan tujuh hari lagi.

"Bagaimana caraku bisa tes secara offline di sekolah bertaraf internasional itu ya?" Tanyaku dalam hati.

Entah mengapa, bagiku waktu berlalu begitu cepat. tak terasa dua hari lagi tes babak final yang dilaksanakan secara offline di sekolah yang memiliki standar internasional tersebut terletak di kota pelajar. Jarak rumahku ke sekolah tersebut begitu sangat jauh karena beda propinsi, sehingga bisa dipastikan untuk datang ke sana untuk mengikuti ujian secara offline membutuhkan biaya yang terbilang tidak sedikit. Waktu tinggal dua hari saja dan aku belum memiliki uang sama sekali, baik untuk akomodasi maupun kebutuhan selama di kota pelajar tersebut.

Untuk biaya akomodasi selama disana, aku membutuhkan sejumlah uang kisaran lima ratus hingga enam ratus ribu rupiah yang akan kugunakan untuk biaya perjalanan kereta untuk pergi dan pulang dari  Yogyakarta untuk dua orang, aku dan Zahrana, biaya penginapan, biaya untuk membeli makanan dan minuman serta uang darurat untuk berjaga-jaga bila ada sesuatu yang diluar perkiraan. Namun, aku memiliki dilema tersendiri saat pergi ke kota pelajar itu hanya bersama Zahrana. Siapa yang akan mengasuh, menemani Mumtaz dan Arsenio selama aku berada di Yogyakarta? Bila mereka ikut serta ke sana, bukankah nanti aku harus menyiapkan dana yang lebih besar lagi? Tapi, bila mereka berdua diajak serta pun aku membayangkan akan begitu merepotkan karena saat ini kondisi mereka sedang sakit. Mumtaz sedang sakit batuk dan pilek, sedangkan Arsenio sedang demam. Memikirkan hal itu saja, sudah begitu membuatku semakin kebingungan.

Untuk memenuhi biaya akomodasi tersebut, aku sudah berusaha menjual rongsokan terakhir yang masih tersisa di gudang. Rongsokan terakhir yang kudapat hanya menghasilkan uang yang tak seberapa karena rongsokan tersebut kebanyakan terbuat dari plastik yang hanya dihargai sebesar dua ribu rupiah per karung. Bila rongsokan berupa besi bisa menghasilkan uang yang cukup besar karena bisa dihargai empat hingga lima rupiah per kilo. Sukur bila bisa mendapatkan rongsokan aluminium bisa dihargai hingga lima belas ribu rupiah. Bila dapat rongsokan tembaga, malah akan dihargai hingga seratus ribu rupiah per kilogram. Saat ini aku sedikit banyak mengetahui aneka harga rongsokan karena sering untuk menjual rongsokan di grosir besar.

Aku begitu kalut dan bingung karena hari telah memasuki waktu senja. Tak mungkin juga aku memimjam sepeda motor milik tetangga, serta meninggalkan ketiga anakku dirumah sekedar mendatangi orang yang kukenal untuk meminjam uang dengan jumlah yang begitu besar. Selain itu aku juga memikirkan belum tentu mereka akan mau memberikan pinjaman uang padaku, mengingat aku tak mampu memberikan kepastian kapan uang tersebut bisa kukembalikan.

Jangankan untuk meminjam uang dengan nominal besar, sekedar untuk meminjam beras untuk makan hari ini saja misalnya atau sejumlah uang dibawah lima puluh ribu untuk membeli lauk atau sekedar jajan untuk anak, aku sangat berpikir jauh. Aku selalu berpikir, apakah aku mampu atau tidak ya untuk membayarnya? Sedangkan untuk orang yang kupinjami, akankah mereka percaya padaku? Dengan melihat kondisiku saat ini, tidak memiliki kendaraan bermotor, hanya memiliki sepeda pancal satu saja dirumah, tidak memiliki pekerjaan tetap, memiliki tanggungan tiga orang anak, ditambah dengan keadaanku yang ditinggal suami saat ini, seakan paket komplit pakai telur dan hampir bisa dipastikan bahwa tidak akan ada orang yang berkenan memberikan pinjaman padaku. Siapa yang berani memberikan pinjaman pada orang seperti ku? Dalam pikiran mereka tidak mau memberikan pinjaman padaku karena takut uang mereka tak akan kembali. Seakan seperti kata pepatah. mengarami air laut. Hal itu adalah sebuah kesia-siaan semata.

Zahrana sedang membaca buku di ruang tamu, sedangkan Mumtaz dan Arsenio sedang bermain lego di ruang keluarga. Aku memanggil mereka semua untuk mengambil wudhu karena azan maghrib telah berkumandang dari loudspeaker mushalla yang terletak tak jauh dari rumah agar bisa menjalankan salat secara berjamaah di kamar depan.

Seusai salat berjamaah dan tadarus bersama, mereka kuminta untuk belajar. Aku masih asik disini, menekuri sajadah berwarna marun peninggalan bapak.

Aku berdoa seperti biasa. Untuk kedua orang tua, untuk keluarga, untuk ketiga anakku agar shalihah, shalih dan shalih (aku selalu mengunakan shalihah shalih karena sulungku seorang perempuan). Tapi kali ini aku menambahi do'a Wa ufawwidhu amri ilallaah. Kupasrahkan semua masalahku padamu, ya Allah ya Rabb.

Saat aku keluar dari mushalla mini di rumah, Zahrana menghampiriku.

"Bu, maaf. Sepulang sekolah, aku mampir sebentar ke Rumah Dinda. Aku tadi pinjam hp milik Dinda untuk menelpon ayah, tapi tak diangkat. Akhirnya aku mengirim pesan lewat WA dan memberitahu ayah jika aku akan tes offline ke Jogja. Aku pinjam hp Dinda, soalnya aku tahu, kalau WA memakai nomer hp ibu, ayah tak akan membalas wa tersebut," jelas Zahrana padaku.

Dalam hati, rasanya ingin melarang Zahrana menghubungi mas Anton, ayahnya karena aku masih merasa kesal dengan sikap suamiku tersebut saat kedua anakku menghampirinya tempo hari. Namun kupikir lagi, Zahrana juga anaknya. Tak mungkin aku malarang anak bertemu dengan ayahnya sendiri. Yang penting adalah itu murni hasil inisiatif Zahrana sendiri. Bukan karena aku.

"Iya. Tak apa mbak. Berdo'a saja, semoga ibu segera memiliki uang untuk melakukan tes babak final secara offline ke Jogja. Semoga saja ayahmu juga mau pulang dan menjaga adik dan mas yang sedang sakit dirumah," balasku.

Aku kembali ke kamar tidur dan mengambil gawai yang kutaruh di rak lemari paling atas. Aku menyalakan hp tersebut dan banyak notifikasi wa disana. Ku buka aplikasi berwarna hijau tersebut. kutemukan wa dari mbak Nina yang begitu menyesakkan dada.

Ternyata mau menyekolahkan Zahrana di sekolah internasional? Wong kok gak nyebut. Wis kere kok kakehan polah (orang kok gak tahu diri. Orang miskin kok banyak gaya)

Darimana mbak iparku dapat info tentang beasiswa ini? Entahlah. Aku hanya memejamkan mata menahan gejolak dihati. Sungguh, bukan aku tak mengetahui segala kemampuanku. Karena aku mengetahui dengan pasti kondisi serta kemampuanku seperti apa, maka aku harus mencarikan Zahrana beasiswa. Aku tahu diri dan menyadari bahwa aku belum mampu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan putri sulungku. Aku mencarikan beasiswa Zahrana bukan untuk bergaya atau apa. Aku mencari beasiswa agar Zahrana mendapatkan pendidikan yang terbaik. Apa salah bila aku sangat berusaha agar Zahrana mengikuti tes beasiswa ini? Pesan dari mbak Nina hanya kubaca saja agar hatiku tidak semakin kalut.

1
ibuke DuoElfa
semangat
ibuke DuoElfa
selamat membaca
kozumei
Wow, luar biasa!
ibuke DuoElfa: Terima kasih kak
semoga suka dengan cerita saya
total 1 replies
Eira
Ingin baca lagi!
ibuke DuoElfa: sudah update 2 bab kak
masih proses review
semoga suka dengan cerita saya ya

selamat membaca
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!