"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
wishlist
...Happy reading...
Mereka hanya bisa pasrah dan menunggu, berharap orang tua mereka tidak terlalu marah dan bersedia datang ke kantor polisi untuk membantu mereka keluar dari masalah ini. Ruang kantor polisi itu terasa semakin dingin dan mencekam, menambah beban kecemasan yang semakin berat di pundak Cely dan Leo.
"Punya nomor telepon orang tua kalian?" tanya pak polisi, memecah keheningan yang kembali menyelimuti ruangan. Pertanyaan itu terdengar seperti harapan terakhir bagi Cely dan Leo, namun juga bisa menjadi awal dari masalah yang lebih besar.
Leo menggelengkan kepalanya lemah. "Saya ... saya tidak hafal nomor telepon orang tua saya, Pak. Kami juga tidak punya handphone," jawab Leo dengan suara yang semakin lirih, menunjukkan betapa tidak berdayanya mereka dalam situasi ini. Mereka benar-benar terisolasi, tanpa alat komunikasi dan tanpa daya untuk menghubungi siapa pun.
Polisi itu menghela napasnya panjang, raut wajahnya menunjukkan sedikit rasa kasihan. "Kalau begitu, biar kami yang antar kalian pulang!" kata polisi itu akhirnya, mengambil keputusan untuk mengakhiri kebuntuan ini. Tidak ada cara lain, mereka harus mengantarkan Cely dan Leo langsung ke rumah mereka masing-masing.
Mendengar tawaran polisi untuk diantar pulang, Cely yang sedari tadi diam akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, khawatir tentang nasib motor Leo.
"Terus ... motornya bagaimana, Pak?" tanya Cely.
"Motor kalian kami tahan di kantor polisi," jawabnya dengan mantap. "Biar orang tua kalian yang nanti akan datang ke sini untuk mengurus dan mengambilnya setelah semua prosedur selesai."
Pak polisi itu menjelaskan dengan jelas dan lugas, menutup semua harapan Cely dan Leo untuk membawa pulang motor mereka hari ini. Motor itu akan menjadi jaminan sampai orang tua mereka datang dan bertanggung jawab atas pelanggaran yang telah mereka lakukan.
Dengan pasrah, mereka bangkit dari kursi yang keras dan mengikuti polisi menuju mobil patroli yang sudah menunggu di depan kantor. Saat mereka berjalan keluar, Cely berusaha mencairkan suasana tegang dengan sedikit humor, meskipun getar kecemasan masih terasa dalam suaranya.
"Nggak papa deh, El," kata Cely, mencoba menyemangati diri sendiri dan Leo. "Seenggaknya wishlist gue buat naik mobil polisi terpenuhi!" ucap Cely diiringi dengan kekehan kecil.
Leo hanya tersenyum tipis menanggapi celotehan Cely. Perasaan takut dan bersalah masih menguasai hatinya.
"Iya, nggak apa-apa kok," jawab Leo.
"Saya cuma... cuma takut dimarahi sama bunda," ujarnya lirih, mengungkapkan sumber kecemasannya yang sebenarnya.
"Ah ... itu dia masalahnya ya," gumam Cely, mengakui ketakutan yang sama. "Gue juga takut sebenernya," bisiknya, "maaf ya, gara-gara gue udah maksa lo buat pergi tadi," lanjutnya lagi, suara Cely terdengar menyesal dan merasa bersalah.
Leo menggelengkan kepalanya pelan, berusaha menenangkan Cely. "Kenapa minta maaf? Ini juga karena kemauan saya kok," kata Leo dengan lembut, menolak menyalahkan Cely. "Jadi bukan kesalahan kamu juga," tegasnya, ingin Cely tahu bahwa ia tidak menyalahkan gadis itu sama sekali.
Cely tiba-tiba menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Leo dengan tatapan intens.
"Berhenti buat nggak apa-apa, Leo!" seru Cely, nada suaranya meninggi, frustasi dengan sikap Leo yang selalu mengalah dan menerima keadaan.
"Lo selalu bilang gitu sama gue, sesekali marah karena kelakuan gue bisa nggak?!" tanya Cely penuh penekanan, berharap Leo bisa menunjukkan sedikit saja rasa kesal atau marah padanya.
Leo terdiam sejenak, menatap Cely dengan bingung. Ia tampak berpikir keras, mencoba memahami keinginan Cely yang terdengar aneh di telinganya. Setelah beberapa saat, Leo menggelengkan kepalanya dengan lembut.
"Nggak!"
Cely mendengus kesal mendengar jawaban singkat Leo.
"Terrrrrserahhh!" ucap Cely frustrasi. Ia membalikkan badan dan kembali berjalan menuju mobil polisi, meninggalkan Leo yang masih terpaku di tempatnya.
Namun, bukannya marah atau kesal, Leo justru menanggapi sikap Cely dengan senyuman kecil yang tulus. Ia menyusul Cely yang sudah berjalan lebih dulu, menyamakan langkahnya dengan gadis itu.
"Kenapa jadi kamu yang marah?" tanya Leo dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana kembali. "Kalau kita nggak nekat tadi, wishlist kamu belum terpenuhi, kan?"
"Wishlist apa lagi yang belum terpenuhi? Biar kita penuhi bareng-bareng!" ucap Leo lagi.
Ia menawarkan solusi dan mengajak Cely untuk kembali fokus pada kesenangan, melupakan masalah yang sedang menimpa mereka sejenak. Senyuman tulus Leo dan ajakannya yang hangat berhasil meredakan sedikit ketegangan di antara mereka, menunjukkan bahwa meskipun terjebak dalam masalah, persahabatan mereka tetap utuh dan saling mendukung.
"Masuk!" suruh pak polisi sekali lagi, sedikit lebih sabar, menunggu mereka benar-benar masuk dan duduk dengan tenang di dalam mobil. Setelah memastikan keduanya duduk dan memakai sabuk pengaman, polisi itu menutup pintu mobil dengan bunyi yang cukup keras.
"Jangan tegang gitu mukanya! Saya ga bakalan penjarain kalian kok," ucap pak polisi. "Jangan lupa pakai sabuk pengamannya, ya!" katanya lagi.
Di dalam mobil, keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini terasa lebih pekat dan berat. Hanya suara dari telepon seluler milik polisi di depan yang sesekali memecah kesunyian. Cely dan Leo terdiam, terjebak dalam pikiran masing-masing, merasakan roda mobil patroli mulai berputar membawa mereka menuju rumahnya.
"Cel ..."
Leo memandang keluar jendela, menatap lampu-lampu jalan yang mulai menyala di senja yang semakin kelam.
"Kita... beneran kayak buronan yang abis ketangkep, ya," ceplosnya.
Cely, yang sedari tadi berusaha menahan tawa, akhirnya tidak bisa lagi membendungnya. Ia terkekeh pelan menoleh ke arah Leo, senyum kecil bermain di bibirnya.
"Iya juga, ya," bisik Cely, matanya sedikit menyipit karena menahan tawa.
"Ga apa-apa, seenggaknya nanti ada yang diceritain buat anak kita," lanjutnya, masih dengan nada berbisik, seolah takut didengar oleh polisi di depan.
"Anak kita gue bilang?" Cely menggelengkan kepalanya, ia terkekeh dengan apa yang diucapakannya barusan.
Mobil patroli berhenti tepat di depan pekarangan rumah Leo yang asri. Di bawah teduhnya pohon rindang, Bunda Leo tampak sedang sibuk menyirami tanaman bunga di pot-pot teras, sementara Ayah Leo dengan telaten membantu menyapu dedaunan kering yang berserakan di halaman. Suasana sore yang tenang dan damai di rumah itu tiba-tiba terusik oleh kedatangan mobil polisi yang tidak terduga.
Bunda Leo dan Ayah Leo sama-sama terkejut melihat mobil patroli berhenti di depan rumah mereka. Kegiatan menyiram bunga dan menyapu halaman langsung terhenti.
Wajah mereka menunjukkan kebingungan dan rasa penasaran yang bercampur khawatir. Tanpa menunggu aba-aba, keduanya bergegas mendekati mobil polisi yang semakin membuat jantung mereka berdebar tak karuan.
Pintu mobil patroli terbuka, dan dari dalamnya keluarlah Leo dan Cely. Mata Bunda Leo langsung tertuju pada Leo, anak semata wayangnya.
"Leo?" seru Bunda Leo.
Ia menolehkan pandangannya ke arah Ayah Leo, mencari jawaban atas kebingungan yang sama.
"Kalian kenapa bisa naik mobil polisi?!" tanya Bunda Leo dengan nada panik, berbagai pikiran buruk langsung berkecamuk di benaknya.
"Motornya mana? Kalian nggak papa kan? Atau kalian habis jatuh? Mana yang luka?"
Bunda Leo tanpa menunggu jawaban langsung meraih lengan Leo, memeriksa dengan teliti setiap jengkal tubuh anaknya, memutar-mutar badan Leo untuk memastikan apakah anak kesayangannya itu baik-baik saja, tidak ada luka atau cedera yang tersembunyi. Kekhawatiran seorang ibu terpancar jelas dari setiap gerak-geriknya.
"Bun ... Leo nggak apa-apa kok!" ucap Leo mencoba menenangkan bundanya yang panik, nada suaranya lembut namun sedikit tertahan karena rasa bersalah. Ia tahu betul, kedatangan polisi ke rumah mereka pasti akan membuat bundanya sangat khawatir.
Di belakang Leo, berdiri Cely yang memperhatikan interaksi haru antara ibu dan anak itu dengan senyum tipis yang sarat makna. Melihat betapa khawatirnya Bunda Leo pada Leo, Cely jadi teringat pada ibunya sendiri yang sudah tiada.
"Kalo ibu masih ada, pasti ibu bakalan khawatir juga ... sama khawatirnya kayak Bunda Leo," ucap Cely dalam hati, merasakan sentuhan rindu dan kasih sayang yang hangat di tengah situasi yang menegangkan ini.
Bunda Leo yang sedikit lebih tenang setelah memastikan Leo tidak terluka, kini mengalihkan perhatiannya pada Cely yang berdiri di belakang Leo.
"Cel? Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Bunda Leo dengan nada suara yang penuh perhatian, menunjukkan bahwa kekhawatirannya tidak hanya tertuju pada Leo, tapi juga pada Cely yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.
Cely mengangguk dengan senyum yang lebih lebar, berusaha meyakinkan Bunda Leo bahwa ia baik-baik saja.
"Nggak apa-apa kok, Tante," jawab Cely dengan sopan, "Cely juga nggak luka, Tante."
Cely merasa terharu dengan perhatian Bunda Leo yang begitu besar, seolah menggantikan sosok ibunya yang telah lama pergi.
...__________...