Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Terima!
'Ah, sial! Kalau tidak terpaksa mah, boro-boro,' rutuk Dirli dalam hati.
Ia kembali memasang senyuman hangat di wajahnya.
"Syaratnya kalian belanja di sana, apa pun itu boleh kalian makan dan nikmati."
"Terus, sisanya gimana, Bang?"
"Boleh kalian ambil. Tapi, syaratnya harus ada struk bukti belanja, berikan pada saya," ucap Dirli.
"Oke, Bang ... Oke ... Ah, kebetulan perut kami udah lapar, makasi ya, Bang."
"Tunggu ya, Bang. Nanti kami kasih struknya ke Abang," ucap yang lain.
Dirli mengangguk, lalu melakukan hal yang sama kepada driver ojol lain yang kebetulan lewat hingga dua puluh orang seperti yang diperintahkan Pak Wirya. Ia harus memastikan warung Ratna tetap ramai, tapi dengan dalih kepedulian kepada para ojol.
Setelah selesai, Dirli mengerutkan dahi melihat isi dompetnya yang langsung terkuras tak kira-kira.
"Hah, tiga hari. Lima puluh kali dua puluh, itu artinya sehari harus menyiapkan satu juta untuk para gembel itu. Agghh, tiga juta gue menguap bagai udara gara-gara istri sial*n itu," umpatnya bersandar di mobil menunggu para ojol yang akan menyerahkan bukti belanja.
.
.
Sementara itu, di sisi lain, Ratna yang baru saja mengalami nasib tragis pagi tadi, masih duduk merenung di sudut warung. Ia menunduk dalam diamnya, matanya sembab dan merah sembari menatap cincin yang baru saja menghiasi jemari yang telah lama kosong. Tiga kejadian membuat perasaannya bercampur aduk.
Namun, suara klakson motor dan teriakan ramah dari luar warung membuyarkan lamunannya.
"Bu, ada kopi susu? Dua, ya! Sama gorengan!"
"Bu, kopi hitam satu, teh manis dua, dan nasi kucingnya kalau ada!"
"Bu, es kopi tanpa gula satu, kopi mix satu!"
Satu per satu, para pengendara ojek daring mulai berdatangan dan duduk di kursi plastik di warung Ratna. Mereka tampak santai, ngobrol ringan, sambil menunggu pesanan.
Ratna yang masih berkelumit oleh perasaan yang hancur sempat terdiam. Matanya menyapu kerumunan itu dengan perasaan bingung. Ia belum siap, tetapi tak pantas rasanya ia mengusir para pejuang rupiah ini.
“Astaghfirullah...” bisiknya lirih, mencoba bangkit dan menyeka air mata yang masih mengambang di pelupuk mata. Ia buru-buru masuk ke dapur, mengambil termos, menuangkan kopi, dan menyiapkan pesanan dengan tangan yang sedikit gemetar.
“Bu, ini kue ini enak banget ya,” ujar salah satu ojol sambil tersenyum. “Lain kali saya ke sini lagi, deh.”
Ratna tampak sedikit kelimpungan karena keramaian yang datang dalam waktu yang bersamaan ini sungguh membuatnya tak siap.
"Wah, warungnya ramai kali."
Tatapan Ratna beralih pada suara yang baru saja masuk. Ia seakan mulai menghapal suara pria itu. Suara pria yang tadi pagi mengajaknya menikah.
"Iya," gumamnya singkat melanjutkan pekerjaan.
"Sini, saya bantu," tawarnya.
"Pak, harusnya Bapak mencari uang buat makan. Ini kenapa ke sini mulu?" tanyanya masih sibuk menyiapkan pesanan.
Robin mengangkat satu alisnya. "Ya ini karena kamu menolak saya. Ya, saya akan datang terus sampai kamu menerima ajakan saya."
Para driver yang mendengar obrolan itu, ikut menimpali. "Emang Bapak sepuh kami ini ngajak apa sama Ibu cantik ini?"
"Menikah," jawab Robin singkat melirik Ratna yang sibuk.
"Ayo kawan-kawan, kita dukung rekan satu aspal kita ini agar bisa diterima Ibu itu!"
"Terima!"
"Terima!"
"Terima!"
Ratna melongo mendapat sorakan demikian.
“Terima! Terima!”
Sorakan itu makin riuh. Robin hanya tersenyum kecil, sementara tangan Ratna gemetar di atas nampan berisi gelas kopi. Rasanya, bukan masanya lagi untuk diperlakukan seperti ini.
Namun tiba-tiba—
"Hmmm, heh ... Eh, maksudku, Mama Ratna?" Sebuah suara canggung namun familiar menyentak dari arah pintu masuk.
Semua kepala menoleh.
Di ambang pintu warung berdiri Amora, berdiri dengan tangan terlipat dan tatapan tajam. Di belakangnya, sebuah mobil hitam terparkir dengan logo R.H. Group di kaca depannya.
Robin langsung menundukkan kepalanya.
Sementara itu, Ratna hanya berdiri membatu.
Suara di warung perlahan meredup. Yang terdengar hanya detak jantung dan desis air panas di dapur.
Dan Amora akhirnya membuka suara tanpa senyum.
"Mama Ratna, sudah cukup main warung-warungnya, kan? Kali ini aku ingin tahu seberapa dalam hubunganmu dengan perusahaan suamiku yang tidak aku ketahui?"