Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Sakit
Langit pagi menyapu jendela dengan warna lembut. Abu-abu tipis, seperti sisa mimpi yang belum selesai.
Cahaya matahari belum sepenuhnya masuk ke kamar itu. Hanya seberkas hangat yang jatuh pelan di atas selimut putih.
Laras membuka mata perlahan.
Kepalanya terasa ringan… dan kosong. Ia tidak tahu sudah berapa lama tertidur.
Hal terakhir yang ia ingat adalah suara pintu yang dihantam keras… Sosok Arka yang muncul dari balik debu… Pelukan hangat yang membawanya menjauh dari mimpi buruk…
Setelah itu, semuanya terasa gelap.
Sepertinya, tubuhnya menyerah. Setelah semua yang terjadi, setelah ketakutan, luka, dan tangis yang ditahan terlalu lama—ia pingsan.
Dan kini, ketika ia membuka mata di tempat asing ini… ia menyadari kalau sepertinya dia berada di rumah sakit.
Bau antiseptik, suara mesin infus, dan detak pelan dari alat monitor detak jantung mengisi udara.
Tangan kirinya dibalut perban. Perihnya masih terasa samar. Di kakinya, balutan elastis menyelimuti pergelangan yang sempat terkilir. Rasa sakitnya masih sering kali membuatnya meringis.
Namun rasa perih di tubuhnya tidak ada apa-apanya dibanding hampa yang mengendap dalam benaknya.
Malam itu terasa seperti mimpi buruk. Tapi rasa sakit yang dia rasakannya begitu perih, hingga tak mungkin ia salah.
“Laras…?”
Suara lembut itu membuatnya menoleh perlahan.
Ibunya—Ratna—duduk di sisi ranjang dengan mata bengkak dan napas tertahan. Di sebelahnya, ayahnya, Aditya, berdiri kaku. Kedua tangan pria itu mengepal, tapi matanya… menyimpan sesuatu yang tak bisa disebut dengan kata lain selain cemas.
Laras membuka mulut, namun suara yang keluar hanya bisikan kecil. “Mamah…”
Ratna segera merengkuhnya. Pelukan itu hangat, namun sedikit gemetar.
“Syukurlah, kamu sudah sadar…” Suara ibunya nyaris pecah.
“Kamu baik-baik saja, kan, Nak? Apakah tangan dan kakimu masih sakit? Apakah ada bagian lain yang sakit juga?”
Rentetan pertanyaan itu keluar begitu saja.
“Aku baik-baik saja, Mah.” Laras tersenyum kecil, berusaha menenangkan.
Aditya menarik kursi, duduk di sisi lain. Ia menggenggam tangan Laras pelan.
“Maafkan Ayah… Ayah... Ayah gak bisa jagain kamu…”
Laras menunduk. Ia ingin bilang bahwa ini bukan salah siapa-siapa. Tapi tenggorokannya masih tercekat.
Air mata mulai mengalir, perlahan…
Bukan karena ketakutan lagi, tapi karena beban itu mulai menemukan jalan keluar.
Mereka hanya diam beberapa saat.
Tiga orang, dalam satu ruang, membiarkan luka mereka sembuh dalam keheningan. Tanpa perlu banyak kata.
_______
Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar dari luar pintu. Dua sosok masuk tergesa—Vivi dan Ayu.
Begitu melihat Laras sadar, Vivi langsung memeluknya tanpa izin.
“Astaga… kamu sadar juga! Ya Tuhan, kamu bikin aku gila!”
Laras tertawa kecil meski lemah. “Vivi… pelan dikit… ini rumah sakit…”
Tapi belum sempat merespon lebih jauh, Ayu sudah berdiri di sisi ranjang dengan wajah penuh air mata. Ia menutup mulutnya, menahan isak yang terus mendesak keluar.
“Ayu…” bisik Laras.
Dan saat itu, gadis yang biasanya pendiam dan kuat… pecah. Ia merunduk dan menangis.
“Aku minta maaf… aku minta maaf, Ras… ini semua salahku… Kalau aku gak minta kamu ke pesta... Kalau aku nggak membiarkan kamu cari outer… kalau aku nggak… aku…”
“Hei, hei…” Laras mengangkat tangannya pelan, meski masih lemas. Ia menyentuh lengan Ayu, mencoba menenangkan.
“Ini bukan salah kamu…”
“Tapi—”
“Aku yang mutusin buat ke pesta, aku yang mutusin buat cari outer. Aku yang jalan sendiri.” Laras tersenyum tipis. “Kamu nggak salah, Yu…”
Ayu menggeleng keras. Tapi kali ini, ia tak membantah lagi. Ia hanya menangis di sisi ranjang, menggenggam selimut seolah dari situ ia bisa menyalurkan semua penyesalannya.
Vivi duduk di ujung tempat tidur, matanya merah.
“Kamu mau air? Atau… kita cariin sereal kesukaan kamu? Atau—”
Laras tertawa pelan. “Aku cuma mau satu hal.”
“Apa?”
“Tidur lima hari… tanpa dibangunin tugas.”
Vivi menatapnya sejenak, lalu ikut tertawa. Tangis di wajah Ayu juga berubah menjadi senyum samar.
Untuk pertama kalinya sejak semalam, ruangan itu terasa lebih ringan.
Seperti ada cahaya yang masuk lewat celah jendela, dan menyapu kabut yang lama menggantung.
Tak lama setelah obrolan ringan itu, Vivi melirik jam tangannya dan berdiri sambil menggeliat kecil.
“Aku harus pulang dulu, takut ayah nanti nyariin.” katanya, mencium pelan kening Laras.
“Kalau kamu butuh apa-apa, tinggal chat aja, ya…”
Ayu juga ikut berdiri, meski matanya masih sembap. “Aku juga ya… nanti sore aku balik lagi.”
Laras mengangguk pelan. “Terima kasih, kalian…”
“Jangan gitu, dasar drama queen,” goda Vivi sambil tersenyum, sebelum mereka berdua keluar dari ruangan.
Tak lama kemudian, Ratna bangkit dari kursinya. “Mamah juga ke bawah dulu, mau cari suster buat nanyain soal jadwal kontrol kamu.”
Laras hanya mengangguk.
Kini hanya tinggal ia dan ayahnya saja di ruangan itu.
Untuk beberapa saat ruangan itu terasa sunyi.
Bukan sunyi yang canggung. Tapi seperti jeda panjang yang akhirnya menemukan tempat untuk bernafas.
Aditya masih duduk di sisi ranjang, tangan besarnya menyelimuti tangan Laras yang kecil dan dibalut perban.
“Yah…” suara Laras pelan, nyaris tak terdengar.
Pria itu menoleh, wajahnya masih menyimpan sisa lelah.
“Aku cuma mau bilang…”
Laras menatap langit-langit sejenak, mencari kekuatan. “Waktu malam itu… saat semuanya hampir… terjadi…”
Tenggorokannya tercekat. Tapi ia lanjut, pelan.
“Arka datang. Dia… nyelametin aku. Dia masuk ke ruangan itu... semuanya terjadi begitu saja… terus bawa aku keluar.”
Aditya diam.
Tatapannya menunduk, tapi ada sedikit gerak di matanya. Seperti gelombang yang pelan-pelan menyentuh pantai.
“Ayah tahu,” ujarnya pelan. “Semalam… waktu Ayah dan Mamah kamu belum tahu, dia yang bawa kamu ke sini.”
Aditya menunduk lebih dalam, suaranya nyaris seperti bisikan.
“Dia hanya berdiri di depan tempat tidurmu, tanpa melakukan apa-apa. Tapi Ayah tahu dari matanya… dia marah. Takut. Dan terluka.”
Laras terdiam.
“Waktu kami datang, dia gak banyak bicara,” lanjut Aditya. “Dia cuma bilang, ‘Maaf, Pak… saya telat.’”
Napas Aditya terdengar berat.
“Dan Ayah gak ngerti kenapa… waktu Ayah dengar dia ngomong itu… Ayah hanya diam tertegun. Bukan karena Ayah marah… tapi karena Ayah merasa… ada seseorang yang bener-bener jaga anakku.”
“Seharusnya Ayah mengucapkan terima kasih waktu itu.”
Aditya menghela napas panjang. Tangannya menggenggam tangan Laras lebih erat.
“Kamu tau? Waktu kamu kecil… Ayah selalu mikir, gak akan ada orang yang cukup baik buat kamu.”
Ia menoleh, menatap mata anaknya sendiri.
“Tapi malam itu… Ayah sadar. Walaupun latar belakangnya tidak jelas, tapi Ayah merasa, dia benar-benar ingin melindungi kamu.”
Aditya tersenyum kecil. Kaku, tapi hangat.
“Mungkin… Ayah bisa belajar buat nerimanya.”
Laras tak menjawab. Pipinya sedikit merona. Ia hanya menggenggam tangan ayahnya balik, dan dalam genggaman itu, ada jembatan yang perlahan dibangun kembali.
______
Langit di luar jendela mulai berubah warna.
Sinar matahari yang tadinya malu-malu kini masuk lebih terang, menyapu lantai putih dan menghangatkan sisi ranjang.
Laras menoleh ke arah cahaya itu.
Untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia tak merasa takut. Tubuhnya masih lelah. Hatinya masih bergetar. Tapi di sela-sela luka itu… ada sesuatu yang pelan-pelan tumbuh.
Ia menghela napas perlahan, menatap tangannya yang dibalut perban. Tangan yang semalam menggigil. Tangan yang pagi ini… masih bisa menggenggam.
Mungkin semuanya belum selesai. Mungkin luka itu akan lama sembuhnya. Tapi Laras tahu satu hal:
Ia tidak sendirian.
Di luar sana, ada orang-orang yang mencintainya dengan caranya masing-masing. Dan ada satu sosok,
yang datang menembus debu dan gelap,
hanya untuk membawanya pulang.
Laras menutup mata perlahan, membiarkan tubuhnya tenggelam lagi dalam keheningan.
Tapi kali ini, ia tidak tenggelam karena lelah... Melainkan karena tenang.