NovelToon NovelToon
Benang Merah Yang Berdarah

Benang Merah Yang Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Penyesalan Suami / Psikopat itu cintaku / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Phida Lee

Blurb:

Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.

Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.

Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.

Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.

Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?


Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

Dengan Mia berusaha untuk berdiri. Meski lututnya masih terasa gemetar ia memaksakan tubuhnya untuk tegak. Senyum kecil muncul dari sudut bibirnya walaupun napasnya masih belum sepenuhnya stabil.

"Aku tidak percaya ini..." ucapnya pelan sambil menatap wajah pria yang ada di hadapannya. "Kau... Kau Daniel, kakak kelasku dari SMA Seoul Arts, bukan?"

Daniel tersenyum cerah, seperti menemukan kembali bagian hidupnya yang telah lama menghilang.

"Haha! Akhirnya kau mengingatku juga," katanya dengan mata yang berkilat penuh rasa antusias.

Mia menundukkan kepala sesaat. Matanya berkaca-kaca dan saat ia kembali menatap Daniel, ia berkata, suaranya terdengar lirih.

"Bagaimana mungkin aku tidak mengingatmu... Kau orang yang pernah menyatakan cinta padaku di depan seluruh teman sekelas waktu itu."

Daniel menggaruk tengkuknya dan tertawa gugup. Wajahnya sedikit memerah, seperti bocah yang tertangkap basah setelah melakukan sesuatu yang sangat memalukan.

"Itu... yaah, memang memalukan sekali. Tapi jujur saja, aku tidak pernah menyesalinya."

Mia tersenyum samar. Ingatan di masa remajanya perlahan-lahan menyusup ke permukaan.

"Saat itu aku sangat tergila-gila pada Christopher," ucapnya jujur. "Aku tidak pernah benar-benar melihatmu."

Daniel mengangguk pelan.

"Aku tahu, kok. Tapi meski begitu... aku tetap menyukaimu waktu itu. Dan aku... masih terus berharap."

Mia terdiam, dan untuk sesaat hanya suara detak jantungnya yang terdengar.

"Kemudian kita lulus… dan semuanya menghilang begitu saja," gumamnya seolah ia hanya berbicara pada dirinya sendiri.

Daniel menatapnya dalam-dalam, kemudian senyum tipis mengembang di wajahnya.

"Benar. Jejakmu juga seakan telah lenyap," ujarnya pelan.

Keheningan menyelimuti mereka. Lalu mata Daniel terarah pada pelipis Mia. Ia melihat luka kecil yang belum sepenuhnya sembuh dan ekspresinya tiba-tiba berubah serius.

"Apa yang terjadi dengan kepalamu?" tanyanya dengan rasa khawatir.

Mia tersenyum hambar, lalu berusaha mencari alasan.

"Ini? Aku hanya tidak sengaja terjatuh saat dirumah, dan kepalaku membentur meja," jawabnya ringan, mencoba bersikap semuanya baik-baik saja.

Daniel menyipitkan matanya, lalu tatapannya berubah sedikit tajam.

"Jatuh? Sendirian?"

Matanya kemudian melirik ke arah tangan Mia. Cincin emas mungil di jari manis kanan wanita itu tak luput dari perhatiannya.

"Kau sedang terluka... tapi tidak ada yang merawatmu? Di mana Christopher?"

Pertanyaan itu membuat tubuh Mia seketika menegang. Dia terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab dengan tergesa-gesa dan matanya menghindari tatapan pria itu.

"Dia… dia baru saja pergi. Aku keluar untuk mengantarnya tadi."

Daniel mengerutkan dahi. Ada kebingungan yang tidak bisa ia sembunyikan.

"Hah? Tapi bukankah Chris sedang berada di luar kota ya sekarang? Kakakku juga sedang ada proyek besar di sana..."

Wajah Mia seketika memucat. Ia menghindari pandangan Daniel dan berusaha menyembunyikan sesuatu yang jelas mulai terbaca.

"Aku... aku tidak tahu... mungkin... dia akan kembali lagi nanti..."

Daniel tidak langsung menanggapinya. Ia membaca kebohongan di balik mata itu, tapi memilih untuk tidak terlalu mendesaknya. Lalu suaranya kembali melembut untuk mencoba meredakan suasana ketegangan.

"Baiklah. Kita lupakan soal itu dulu."

Ia tersenyum tipis lalu mengulurkan tangannya dengan niat yang begitu tulus.

"Mia, apa kamu masih pusing? Ayo, aku akan membantumu untuk kembali ke kamar."

Namun Mia segera menepis tawaran itu. Ia mundur setengah langkah dengan suara tegas.

"Tidak usah! Aku bisa sendiri. Terima kasih, tapi aku tidak mau merepotkanmu."

Daniel tidak tersinggung. Ia hanya menatapnya dengan penuh kesabaran.

"Kau tidak merepotkanku, Mia. Tapi baiklah... kalau kau mau sendiri, aku akan tetap berjalan di sampingmu."

Mia menyandarkan tubuhnya pada dinding, lalu mulai berjalan dengan perlahan.

"Kalau begitu... jalanlah di belakangku. Jangan terlalu dekat denganku."

Daniel tertawa kecil.

"Aku akan menjaga jarak, Nona Lee Mia," katanya ringan, namun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam, sebuah tekad untuk tidak lagi kehilangan wanita yang pernah ia cintai.

Langkah mereka menyusuri lorong rumah sakit berlangsung lambat dan hampir tanpa suara. Suasana sunyi itu terasa seperti selimut tipis yang menyelimuti mereka, terasa sunyi, namun juga tidak canggung. Di belakang Mia, Daniel berjalan dengan tenang, ia menjaga jarak seperti yang diminta gadis itu.

Setelah beberapa langkah, Daniel memecah keheningan.

"Masih ingat waktu kau jatuh dari kursi saat lomba seni di aula sekolah? Wajahmu merah padam dan semua orang disana sedang menertawaimu, termasuk juga aku."

Mia tidak bisa menahan senyum. Tawa kecil akhirnya lolos dari bibirnya, terlihat begitu alami sehingga membuat Daniel menoleh.

"Itu... sungguh sangat memalukan," katanya sambil menggeleng pelan. "Kenapa kau harus mengingat hal seperti itu?"

Daniel tersenyum puas, ia senang bisa melihat senyum Mia yang selama ini terkubur dalam luka dan kelelahan.

"Aku mengingat semuanya tentangmu, Mia. Bahkan hal-hal kecil yang mungkin sudah kau lupakan."

Mia terdiam. Hatinya yang semula tertutup rapat mulai terasa hangat, kata-kata Daniel mengetuk hatinya secara perlahan.

"Kenapa… kau masih seperti dulu..." gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Masih sangat menyebalkan."

Daniel hanya tertawa kecil, tidak membalas gumaman Mia, tetapi dia mendengarnya.

Begitu mereka sampai di depan pintu kamar rawat, sosok pria tua yang berdiri di dekat pintu langsung bergerak cepat menghampiri Mia. Paman Jack, pelayan setia keluarga Lee, terlihat begitu panik dan cemas.

"Nona muda! Akhirnya Anda kembali... Saya sangat khawatir," katanya dengan napas memburu, matanya tidak lepas menatap wajah Mia yang pucat.

Mia tersenyum lemah, mencoba menenangkan pria tua itu.

"Aku hanya berjalan-jalan sebentar, Paman. Maaf sudah membuatmu khawatir."

Paman Jack dengan sigap mememberikan segelas air putih dari nampan kecil di meja samping dan menyerahkannya dengan kedua tangan.

"Silakan diminum dulu, Nona. Wajah Anda tampak sangat pucat," katanya dengan penuh perhatian.

Mia menerima gelas itu dengan kedua tangannya. Ia menatap cairan bening di dalamnya sejenak, lalu menyesapnya dengan perlahan. Kesegaran air itu tidak hanya membasahi tenggorokannya, tapi juga memberikan sedikit ketenangan pada pikirannya yang berkecamuk.

"Terima kasih, Paman," ucapnya tulus.

Paman Jack yang sejak tadi berdiri di dekat pintu kamar rawat akhirnya menyadari keberadaan orang lain di belakang Mia. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan menatap pria muda yang berdiri tak jauh dari tuan putrinya.

"Ah, maaf... Anda siapa, ya?" tanyanya dengan sopan namun dengan penuh kewaspadaan.

Mia menoleh pelan ke belakang, lalu menjawab dengan nada tenang.

"Dia Yang Daniel. Teman sekelas Christopher, sekaligus kakak tingkatku dulu di SMA Seoul Arts."

Mendengar namanya disebut, pria itu langsung membungkuk ringan dengan sopan.

"Senang bertemu dengan Anda, Pak. Saya tidak bermaksud untuk mengganggunya."

Paman Jack mengangguk kecil, meski sorot matanya belum benar-benar lepas dari pria muda itu. Ada tanda tanya yang bergelayut di pandangannya, namun ia memilih untuk menahan diri.

"Senang bertemu denganmu juga, Tuan Yang," jawabnya singkat.

Daniel kemudian merogoh saku celananya lalu mengeluarkan selembar kartu nama dan menyerahkannya langsung pada Mia.

"Sepertinya aku harus pergi sekarang. Tapi ini nomorku. Kita kan tidak bertemu selama bertahun-tahun… Tidak masalah, kan, kalau kita tetap berkomunikasi?" tanyanya dengan senyum yang hangat.

Mia menerima kartu itu. Jarinya menelusuri nama dan nomor di permukaan kertas itu selama beberapa detik, lalu ia mengangguk pelan.

"Tentu saja. Terima kasih, Daniel."

Senyum nakal tersungging di wajah pria itu. Kemudian ia mengangkat ponselnya dan menggoyangkannya pelan ke arah Mia.

"Mia, kau juga harus menghubungiku. Awas saja kalau aku tidak menerima panggilan darimu."

Mia mengangkat alisnya menoleh padanya dengan ekspresi tak percaya.

"Hah? Kau sedang mengancamku, ya?"

Daniel tertawa kecil.

"Bukan ancaman, Mia. Aku hanya… sangat merindukanmu saja."

Ia melirik Paman Jack sekilas lalu kembali menatap ke arah Mia.

"Kalau kau ada waktu luang... izinkan aku menjemputmu untuk makan malam, ya? Apakah kau mau?"

Tapi Mia tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil dan berusaha tidak terlihat terlalu terpengaruh oleh kata-kata itu.

"Kita lihat saja nanti, ya," ucapnya singkat.

Daniel melangkah kakinya mundur dan tubuhnya perlahan menjauh menuju ke arah lift. Sebelum pintu lift itu terbuka, ia melambaikan tangan ringan ke arah Mia.

"Sampai jumpa, Mia. Jaga dirimu baik-baik."

Tatapannya sempat kembali ke arah Paman Jack. Senyum sopan kembali muncul, namun sorot matanya lebih sulit diartikan.

"Senang bertemu dengan Anda juga, Pak."

Lalu pintu lift itu menutup dengan pelan.

Di dalam ruangan kecil itu, Daniel berdiri diam dalam beberapa detik. Kemudian ia menunduk lalu menggigit bibir bawahnya untuk menahan tawa geli yang mengembang begitu saja. Napasnya keluar dengan cepat, ia tidak percaya dengan keberuntungan yang baru saja ia dapatkan.

"Ya Tuhan... ternyata dia masih mengingatku!" bisiknya sambil melonjak kecil seperti anak remaja yang baru saja mendapatkan jawaban dari cinta pertamanya.

Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menatap layar sejenak.

"Nomorku sudah ada di tangannya. Mia… kau sungguh masih seperti dulu."

Wajahnya merona merah. Mungkin karena merasa senang atau mungkin juga karena harapan yang diam-diam mulai tumbuh kembali di dalam hatinya.

[Kembali ke kamar rawat Mia]

Mia merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Angin dari pendingin ruangan menggulung lembut, menyapu helaian rambutnya yang jatuh di sisi wajahnya. Suasana saat itu terasa hening, hanya suara alat monitor di sudut ruangan yang terdengar begitu samar.

Paman Jack berdiri di dekat pintu, tatapannya masih terpaku ke arah lift yang baru saja tertutup. Ia lalu menoleh pelan ke arah Mia, namun raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang tak biasa.

"Nona muda... Tadi dia bilang namanya Yang Daniel, bukan?" tanyanya dengan rendah.

Mia menatap kartu nama yang baru saja ia terima, jari-jarinya menyentuh tepi kertas itu dengan hati-hati. Ia mengangguk pelan sambil membaringkan tubuhnya lebih nyaman.

"Iya. Kenapa, Paman?"

Paman Jack mengerutkan dahinya, ia sedang menimbang sesuatu yang berat.

"Apakah dia... Tuan muda dari 5Star Financial Group?"

Mia kembali memandangi kartu nama itu. Di bawah nama Daniel, tertera jelas logo kecil studio milik Daniel yang dulu sering ia dengar dari Daniel sendiri saat masih duduk di bangku SMA. Ia mengangguk kepalanya lagi, kali ini dengan lebih pasti.

"Ya. Itu benar dia."

Paman Jack tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, mematung dalam diam, ia sedang mencoba menelan sebuah kebenaran yang tidak ia harapkan datang begitu cepat.

Mia mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar itu.

"Dia datang... di saat aku hampir lupa bagaimana rasanya dipedulikan oleh orang yang aku cintai."

Ia menatap kartu nama itu kembali. Kali ini matanya lebih lembut, ia mengingat masa lalu yang pernah ia kubur rapat-rapat.

"Studio Dit Musik..." gumamnya. "Itu milik Daniel, ya? Tentu saja... dia memang mencintai musik sejak dulu."

Lalu senyum tipis menghiasi bibirnya. Meski tampak samar, ada kebanggaan dan kekaguman dalam ekspresi itu.

"Dia akhirnya mewujudkan mimpinya..."

Paman Jack perlahan melangkah mendekat, matanya menyipit memandangi kartu nama yang berada di tangan Mia. Ia sedikit menunduk lalu berkata dengan suara penuh dengan kehati-hatian.

"Nona Mia... buang kartu nama itu."

Mia menoleh dengan cepat dan keningnya berkerut. "Hah? Kenapa?"

Raut wajah Jack mengeras dan sorot matanya penuh dengan kecemasan yang tidak bisa disembunyikan.

"Jika Tuan Christopher melihat itu... akan sangat berbahaya, Nona." Suaranya tegas, namun ia gemetar oleh rasa takut yang begitu dalam. "Percayalah padaku, Nona. Lindungilah diri Anda. Dan lindungi hati Anda."

Mia terdiam sejenak. Lalu matanya menatap lurus ke arah kartu nama itu. Akhirnya, ia menarik napas dalam dan menganggukkan kepalanya dengan pelan.

"Baiklah... Aku mengerti, Paman."

Ia menggenggam erat kartu nama itu, seolah hendak menyimpannya untuk yang terakhir kali sebelum ia melepaskannya.

.

.

.

.

.

.

.

- TBC -

1
partini
semoga hati kamu benar benar mati rasa untuk suami mu Mia,
partini
semoga kau cepat mati Mia
partini: mati rasa Thor sama cris bukan mati raga atau nyawa hilang ,,dia tuh terlalu cinta bahkan cinta buta
dan bikin cinta itu hilang tanpa bekas
Phida Lee: jangan dong, kasihan Mia :(
total 2 replies
partini
drama masih lanjut lah mungkin Sampai bab 80an so cris nikmati aja
Sammai
Mia bodooh
partini
oh may ,ini satu satunya karakter wanita yg menyeknya lunar binasa yg aku baca ,,dah crIs kasih racun aja Mia biar mati kan selesai
Phida Lee: nah bener tuh kak 😒
total 1 replies
partini
crIs suatu saat kamu tau yg sebenarnya pasti menyesal laki laki tergoblok buta ga bisa lihat
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah
Sammai
Mia terlalu bodoh kalau kau terus bertahan untuk tinggal di rumah itu lebih baik pergi sejauh jauhnya coba bangkit cari kebahagiaanmu sendiri
partini
dari sinopsis bikin nyesek ini cerita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!