Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Lima Belas
Fanny yang merasa bingung dan sakit hati karena Toni memintanya menggugurkan kandungan, akhirnya memutuskan menemui Ryan. Siapa tahu pria itu bisa memberikan solusi.
Dia lalu mendatangi perusahaan Ryan. Kebetulan dia mengenal karyawan di sana. Sehingga dipersilakan masuk saja.
Tanpa mengetuk pintu, Fanny masuk. Saat membuka pintu, bertepatan dengan Ryan yang sedang bercumbu dengan kekasihnya.
"Maaf, aku mengganggu," ucap Fanny.
Dira, kekasihnya Ryan tampak cemberut melihat kesenangannya di ganggu. Dia sedang asyik bermesraan harus terhenti karena kedatangan Fanny.
"Apa kamu tak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk?" tanya Dira dengan suara ketus.
"Maaf, aku mengganggu!" ucap Fanny dengan sedikit ketus. Tak senang melihat wajah Dira yang menatapnya tajam. Dia sadar jika salah, tapi tak suka melihat reaksi dari wanita itu yang dinilainya berlebihan.
"Lain kali, etika dan sopan santun itu di pakai. Masuk ke ruangan siapa pun, sebaiknya ketuk pintu dulu!" seru Dira masih dengan suara kesal. Dia lalu memperbaiki bajunya yang berantakan karena ulah tangan jahil dari Ryan.
"Sudah, tak apa, Dira. Mungkin Fanny ada perlu sehingga masuk dengan terburu-buru," ucap Ryan.
Ryan tak ingin Dira dan Fanny berdebat. Dia tahu bagaimana pribadi kedua wanita itu. Sama-sama keras kepala. Dia juga yakin, jika sekretarisnya tak tahu Dira ada di dalam ruangan sehingga membiarkan Fanny masuk tanpa permisi.
"Ada apa, Fanny?" tanya Ryan. Dia lalu meminta Dira yang awalnya duduk di pangkuannya untuk duduk di sofa saja. Dia juga berjalan ke sofa, begitu juga Fanny
"Aku mau bicara berdua denganmu," ucap Fanny.
Mata Dira langsung melotot mendengar ucapan Fanny. Dia langsung cemburu karena wanita itu yang hanya ingin bicara berdua dengan kekasihnya. Seolah mereka sedang menyembunyikan sesuatu.
"Kenapa harus berdua saja? Apakah kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Dira dengan rasa cemburu.
"Aku mau bicara mengenai masalah pribadi, jadi tak ada hubungan denganmu!"
"Jika itu bukan rahasia, kenapa tak bicara sekarang saja. Ryan tak akan aku izinkan untuk bicara berdua saja dengan wanita lain. Dia itu kekasihku!" ucap Dira.
"Cukup ... Dira. Jangan diperbesar masalah seperti ini. Mungkin Fanny ingin mengatakan sesuatu mengenai pribadinya, sehingga tak ingin di dengar orang lain!"
"Aku tidak peduli apa yang ingin Fanny katakan, yang jelas aku tidak ingin kamu berbicara berdua saja dengannya lagi," kata Dira, suaranya keras dan tegas.
Fanny memandang Dira dengan tatapan yang tajam, "Dira, aku tidak berniat apa-apa dengan Ryan. Aku hanya ingin membicarakan sesuatu yang penting dengannya," ucap Fanny dengan sedikit kesal.
Ryan memotong percakapan, "Dira, aku rasa kita harus berbicara tentang ini nanti. Sekarang aku mau bicara dengan Fanny dulu. Kamu bisa keluar!"
Dengan kesal Dira berdiri. Pandangannya langsung tertuju pada Fanny. Dari awal pacaran, dia memang kurang suka dengan wanita itu. Dia merasa sebagai sahabat, Fanny terlalu dekat dan akrab. Setelah itu tatapannya beralih ke kekasihnya.
"Jadi kamu mengusirku?" tanya Dira. Suaranya terdengar serak menahan amarahnya.
"Aku bukan mengusir'mu. Hanya minta pengertian kamu. Mungkin saja Fanny tak nyaman masalahnya diketahui orang."
"Omong kosong apa ini? Aku orang yang tak percaya dengan yang namanya persahabatan antara perempuan dan laki-laki. Satu di antara mereka pasti memiliki perasaan!" seru Dira.
Sepertinya kesabaran Ryan benar-benar di uji dengan kekasihnya itu. Dia lalu berdiri menghadap wanita itu.
"Jangan terlalu ikut campur dengan urusanku, Dira. Antara kita belum ada komitmen. Selama ini kita hanya menjalankan hubungan tanpa status. Jadi, aku harap kamu tau batasannya!"
Melihat situasi yang kurang kondusif, Fanny lalu berdiri. Dia tak mau pertengkaran kedua orang itu terjadi karena dirinya.
"Cukup ...! Kenapa kalian yang jadi bertengkar. Biar aku pergi saja. Aku akan coba selesaikan sendiri."
Tanpa menunggu jawaban, Fanny berjalan keluar dari ruang kerja pria itu. Sebenarnya dia sangat kesal atas sikap pacarnya Rayn itu.
Setelah Fanny menghilang, Ryan lalu berkata, "Sebaiknya kamu juga segera pergi. Aku sedang tak ingin bersama seseorang!" seru Ryan.
Tanpa sepatah kata pun, Dira pergi. Terlihat kekesalan di wajahnya.
Sementara itu di sebuah rumah sakit tampak Dipta yang sedang sibuk menyusun barang-barang milik Khanza. Hari ini dia diizinkan untuk kembali ke rumah, alias rawat jalan.
Vania tak bisa ikut menjemput karena ada banyak pasien. Ada juga yang akan melahirkan.
Dipta menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan rapi. Dia memastikan semua barang-barang Khanza sudah terkumpul dan siap dibawa pulang. Setelah itu, dia membantu Khanza memakai jaket dan menyiapkan kursi roda untuk membawanya ke luar rumah sakit.
"Siap-siap, Khanza. Kita akan pulang sekarang," kata Dipta dengan tersenyum.
Khanza membalasnya dengan tersenyum lemah dan mengangguk. Dia masih terlihat lelah setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Dipta membantu Khanza naik ke kursi roda dan mulai mendorongnya menuju lift.
Saat mereka berjalan, Khanza memandang Dipta dengan rasa syukur. "Terima kasih, Mas Dipta. Kamu selalu ada untukku. Aku bersyukur karena dipertemukan dengan orang sebaik Mas dan Mbak Vania.
Dipta tersenyum dan membalas, "Tidak perlu berterima kasih, Khanza. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai seorang teman. Aku juga tak sebaik yang kamu pikirkan.
Mereka berdua terus berjalan, menikmati suasana rumah sakit yang mulai sepi. Setelah beberapa menit, mereka akhirnya tiba di depan pintu keluar rumah sakit.
Dipta membantu Khanza naik ke mobil dan memastikan dia nyaman sebelum memulai perjalanan pulang. Khanza memandang Dipta dengan tatapan yang penuh kasih sayang.
"Aku senang kamu ada di sini untukku, Mas Dipta," kata Khanza dengan suara yang lembut.
Dipta tersenyum dan membalas, "Aku juga senang, Khanza. Sekarang, mari kita pulang dan kamu harus segera istirahat."
Mereka berdua melanjutkan perjalanan pulang, menikmati suasana kota yang mulai sibuk. Setelah satu jam, mereka akhirnya tiba di rumah Vania.
Dipta membantu Khanza masuk ke dalam rumah. Dia membantu wanita itu hingga ke dalam kamarnya. Setelah memastikan wanita itu nyaman, dia lalu pamit.
"Aku harus kembali ke perusahaan. Ada sedikit yang masih harus aku kerjakan. Ingat, Khanza. Aku tak mau kamu melakukan hal bodoh itu lagi. Kamu tidak sendirian. Ada aku dan juga Vania. Kamu bisa berbagi apa pun itu masalahmu!"
"Maaf, Mas. Aku jadi merepotkan. Aku tak bisa membalas semuanya. Hanya Tuhan yang bisa membalas semua kebaikan Mas dan Mbak Vania."
"Kamu cukup jaga kesehatanmu saja. Tak perlu membalas apa pun."
Dipta lalu pergi setelah dia memastikan Khanza berbaring di ranjang dengan nyaman. Dia juga tak lupa menyelimuti tubuh wanita itu.
Sementara di dalam ruang praktek Vania, dia sedang menghadapi seorang pasien.
"Kalau boleh saya tahu, nama Mbak siapa dan ada keluhan apa?" tanya Vania dengan ramah.
"Nama saya Fanny. Saya ingin minta bantuan Dokter," ucap wanita muda yang bernama Fanny itu.
"Bantuan apa ...?" Kembali Vania bertanya dengan ramahnya.
"Saya ingin menggugurkan kandungan. Apa Dokter bisa membantu?" tanya Fanny. Pertanyaan wanita itu membuat Vania terkejut. Dia tak bisa menjawab. Tampak Vania memandangi wajah Fanny dengan intens.
Semoga kalean selalu dalam lindungan Alloh SWT dan selalu di jaga oleh mama Reni 🤗🤗😍😍
tapi kali ini dia berada di tempat yang tepat.
tanpa ada konflik dalam hubungan orang...
semoga kamu betah ya Khanza...
hadapi rintangan dengan senyuman...