Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Ucup Iseng?
Keheningan yang pekat menyelimuti area proyek. Para preman telah lenyap, hanya menyisakan debu yang perlahan turun kembali ke tanah. Para pekerja masih membeku di tempat mereka, menatap Arjuna seolah ia adalah sebuah penampakan.
Orang pertama yang tersadar dari keterkejutannya adalah Pak Tarno. Ia mendorong tubuhnya dari pilar beton, mengambil napas dalam-dalam seolah baru saja ikut menahan napas selama pertarungan berlangsung. Ia menatap Arjuna, pemuda kurus yang kini berdiri tenang di tengah-tengah mereka, lalu sebuah senyum haru dan penuh kekaguman perlahan terukir di wajahnya yang letih.
PROK...
Pak Tarno mulai bertepuk tangan. Pelan pada awalnya, hanya satu tepukan.
PROK... PROK... PROK...
Tepukannya semakin cepat dan mantap. Satu per satu, para pekerja lain seolah tersadar dari hipnotis. Mereka melihat pemimpin preman yang tak berdaya, lalu menatap Arjuna yang berdiri tegak. Ketakutan di wajah mereka meleleh, digantikan oleh luapan emosi yang tak tertahankan.
Salah seorang pekerja ikut bertepuk tangan, lalu disusul oleh yang lain. Dalam hitungan detik, seluruh area proyek yang tadinya sunyi senyap kini dipenuhi oleh gemuruh tepuk tangan yang riuh dan sorak-sorai yang membahana.
"HIDUP ARJUNA!" teriak salah seorang kuli dengan suara serak.
"TERIMA KASIH, JUN!" sahut yang lain.
Kerumunan pekerja itu tidak lagi menjaga jarak. Mereka semua berlari menghampiri Arjuna. Mereka mengerumuninya, menepuk-nepuk pundaknya, menjabat tangannya dengan erat. Suasana yang tadinya mencekam kini berubah menjadi sebuah perayaan yang gegap gempita.
"Kamu pahlawan kami, Jun!"
"Utang budi kami semua sama kamu!"
"Gila, hebat banget kamu, Nak!"
Arjuna, yang tidak pernah mendapatkan perhatian seperti ini seumur hidupnya, merasa kewalahan. Ia hanya bisa tersenyum canggung, wajahnya memerah karena malu.
"Eh, sudah, Pak, jangan begini..." katanya, mencoba menenangkan.
"Angkat! Angkat pahlawan kita!" seru Budi KW-nya proyek, seorang pekerja yang paling jenaka.
Beberapa tangan kekar langsung mencoba mengangkat tubuh Arjuna ke atas bahu mereka.
"Eh, eh, jangan, Pak! Turunkan saya!" pinta Arjuna, panik sekaligus geli. Ia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.
Melihat itu, Pak Tarno tertawa keras lalu maju untuk menenangkan anak buahnya. "Sudah, sudah! Kasihan dia, jangan diganggu terus! Turunkan!"
Setelah Arjuna kembali menapak di tanah, Pak Tarno berdiri di hadapannya, menatapnya dengan tatapan penuh rasa terima kasih yang mendalam.
"Saya... saya tidak tahu harus bilang apa lagi, Nak Arjuna," kata Pak Tarno dengan tulus. "Kamu tidak hanya menyelamatkan proyek ini dari kerugian. Kamu... kamu sudah menyelamatkan kami semua. Menyelamatkan harga diri kami sebagai pekerja."
Ia berbalik menghadap semua pekerjanya. "Dengar semua! Selama anak ini ada bersama kita, saya jamin tidak akan ada lagi preman mana pun yang berani menginjakkan kaki di sini! Hari ini, kita semua berutang pada Arjuna!"
Sorak-sorai kembali terdengar.
Arjuna hanya bisa menunduk, merasa terharu oleh penerimaan dan kehangatan mereka. "Sudah kewajiban kita untuk saling menolong, Pak," bisiknya pelan.
"Betul," kata Pak Tarno. "Dan sebagai rasa terima kasih, pekerjaan hari ini kita sudahi sampai di sini! Kita semua bisa pulang lebih awal!"
Ia lalu menatap Arjuna. "Dan upahmu hari ini, ditambah bonus dariku nanti," katanya sambil tersenyum.
Arjuna duduk di antara para pekerja, berbagi botol air minum dan beberapa potong gorengan yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Ia bukan lagi sekadar kuli angkut semen. Di mata mereka, ia adalah pelindung. Seorang pahlawan yang lahir dari debu dan semen. Dan di tengah kehangatan persaudaraan yang baru ia temukan itu, Arjuna merasa bebannya sedikit lebih ringan. Ia mungkin penyendiri dalam rahasianya, tapi ia tidak lagi berjuang sendirian.
Arjuna tiba kembali di kosan jauh lebih cepat dari biasanya. Matahari bahkan belum condong ke barat. Perasaannya campur aduk antara lega, bangga, dan sedikit sisa adrenalin dari kejadian di proyek. Ia bersyukur Pak Tarno memaksanya pulang lebih awal untuk beristirahat.
Saat ia melangkah ke teras, ia melihat Ucup sedang duduk sendirian di bale-bale bambu, secangkir kopi hitam mengepul di sampingnya. Ucup tampak santai, menikmati harinya.
"Lho, Jun?" sapa Ucup, alisnya terangkat karena terkejut. "Tumben jam segini udah pulang? Proyeknya libur?"
Arjuna tersenyum dan menggeleng. "Enggak, Mas Ucup. Cuma disuruh pulang cepat hari ini," jawabnya, memilih untuk tidak merinci alasannya. "Mas sendiri libur kerja?"
"Iya, dapat jatah libur hari ini," kata Ucup sambil menyeruput kopinya. Ia mengamati Arjuna sejenak. "Muka lo kelihatan capek tapi senang gitu. Ada kabar baik ya?"
Arjuna hanya tertawa kecil. Ia memutuskan untuk tidak membahas pertarungannya atau bahkan kabar beasiswanya saat ini. Terlalu banyak untuk diceritakan.
Ucup sepertinya mengerti. Ia tidak mendesak lebih jauh. Ia meletakkan cangkir kopinya dan menatap Arjuna dengan tatapan yang berbeda, lebih serius.
"Jun, gue mau tanya," katanya. "Lo... punya uang, nggak?"
Pertanyaan itu terdengar aneh, tapi Arjuna tahu maksudnya baik. Mengingat tiga lembar uang ratusan ribu yang tersimpan aman di sakunya, pemberian dari Pak Tarno, Arjuna mengangguk dengan mantap.
Melihat anggukan itu, wajah Ucup langsung berubah cerah. Ia berdiri dengan semangat.
"Oke, bagus. Nggak ada tapi-tapian," katanya dengan nada memerintah yang ramah, tanpa basa-basi. "Sekarang lo masuk kamar, ganti baju yang paling rapi yang lo punya. Kita mau pergi."
Arjuna mengerutkan kening, bingung. "Pergi ke mana?"
"Belanja," jawab Ucup singkat. "Perlengkapan perang buat lo di kampus nanti. Nggak mungkin kan calon mahasiswa UNG nggak punya buku tulis, pulpen, sama tas yang layak? Ayo, cepat!"
Arjuna tertegun sejenak. Ia tidak pernah memikirkan hal itu. Ia terlalu fokus pada bagaimana cara mendapatkan uang untuk hidup, hingga lupa bahwa untuk menjadi mahasiswa pun butuh persiapan. Melihat kesungguhan di mata Ucup, Arjuna tidak bisa menolak. Kebaikan hati temannya ini begitu tulus. Ia pun mengangguk setuju.
"Tunggu sebentar ya, Mas," kata Arjuna sebelum masuk ke kamarnya.
Sembari menunggu Arjuna berganti pakaian, Ucup kembali duduk sambil tersenyum sendiri. Pikirannya mulai menyusun rencana. Awalnya, ia hanya berpikir untuk mengajak Arjuna ke toko ATK (Alat Tulis Kantor) besar di dekat pasar. Tapi kemudian, ia berpikir lagi. Arjuna bukan hanya butuh perlengkapan, ia butuh pengalaman. Ia butuh melihat dunia yang akan segera ia masuki. Anak sepintar dan sekuat Arjuna tidak boleh terus-menerus merasa minder karena hal-hal sepele seperti penampilan atau barang yang ia miliki.
‘Toko ATK biasa nggak seru,’ batin Ucup. ‘Sekalian aja gue ajak dia ke mall. Biar dia lihat suasana di sana, biar dia tahu ada banyak pilihan. Anggap aja ini ucapan terima kasih gue yang sesungguhnya.’
Tak lama, Arjuna keluar dari kamarnya. Ia sudah berganti dengan kemeja flanel satu-satunya yang ia bawa dari desa, yang sudah ia cuci bersih, dipadukan dengan celana panjang hitamnya. Terlihat sangat sederhana, namun rapi dan bersih.
Ucup tersenyum lebar melihatnya. "Nah, gitu dong! Ayo berangkat!"
"Kita mau ke mana sebenarnya, Mas?" tanya Arjuna lagi, masih penasaran.
Ucup hanya menepuk pundaknya sambil nyengir. "Ke tempat yang lantainya mengkilap dan ada tangga jalan sendirinya," jawabnya misterius. "Udah, ikut aja. Hari ini, lo serahin semua sama gue."
biar nulisny makin lancar...💪