Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Akan Mencintaimu
Zayyan cukup kecewa mendengar itu, “Maaf… aku terlalu terbawa suasana." Hanya kalimat itu yang bisa ia ucapkan.
"Bukan... bukan karena aku nggak mau. Aku cuma... belum siap," Aira beralasan.
"Aku mengerti. Kita punya waktu, Aira. Aku nggak akan memaksamu. Kita akan berjalan bersama… pelan-pelan saja."
Lalu, pria itu merogoh saku celananya, "Oya, aku punya sesuatu untukmu," Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah beludru, dan menyerahkannya ke tangan Aira.
Di dalamnya, terbaring sebuah cincin rose gold yang begitu indah. Kilauan berlian kecil menghiasi lengkungan halusnya. Di tengahnya, satu batu berlian mungil bersinar terang, dikelilingi aksen seperti mahkota kecil. Desainnya begitu anggun. Seperti dirancang khusus untuk seseorang yang memiliki keindahan dalam diam.
"Cincin ini… aku pilih sendiri. Karena menurutku, desainnya seperti kamu. Kuat, tapi lembut. Sederhana, tapi memikat. Dan yang terpenting… berharga."
Mata Aira berkaca-kaca. Ia tidak menyangka akan menerima lagi sesuatu yang begitu indah dan penuh perhatian dari suaminya.
"Kalau kamu bersedia, tolong… pakai ini. Sebagai simbol awal kita. Bukan karena kewajiban… tapi karena aku ingin kita sama-sama berusaha."
Dengan tangan gemetar, Aira mengangguk. Ia menyerahkan tangannya, dan Zayyan dengan lembut menyematkan cincin itu di jari manisnya. Cincin itu pas. Seolah memang diciptakan untuknya.
"Ini… indah," Cincin itu melingkar sempurna di jari manis sang istri. Membuat Zayyan tersenyum senang.
Aira perlahan menyandarkan kepala ke dada suaminya. Ia semakin bahagia. Apakah itu tanda bahwa Aira sudah bisa menerimanya?
Aira berbisik, "Aku... Aku akan mencintaimu, Kak Zayyan Kalandra."
"Eh?" Zayyan terkejut. "Akan, ya? Belum sekarang?" Meski sedikit getir, Zayyan membalasnya dengan mengelus kepala istrinya dengan lembut.
"Jadi... aku boleh tanya sesuatu?" Tanya Zayyan akal-akalan. Zayyan mencoba memfokuskan apa yang sudah ia rencanakan sejak awal.
Aira menegakkan tubuh, "Tanya apa?"
"Sebenarnya aku udah siap... ehm, bukan siap begitu sih, maksudku... aku pakai sesuatu yang lucu malam ini, Aira." Pria itu tertawa kecil, canggung, lalu mulai membuka sabuk celananya.
Aira menegang. "Apa?! Jangan-jangan kamu-- Apa? Apa yang mau kamu lakuin?!"
"Tenang, Aira. Bukan yang kamu pikirin. Aku cuma mau nunjukin… sesuatu."
Klik.
Celana bagian atasnya terbuka sedikit, dan Zayyan dengan bangga memperlihatkan boxer abu-abu muda setengah paha yang bercorak. Ada gambar gajah kecil dengan telinga lebar dan belalai muncul di bagian tengahnya.
Sontak saja Aira langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan setengah panik. "Itu? Itu apaan?! Zayyan! Itu badak! Itu badak mau ngapain sih?!"
"Bukan badak, ini gajah! Dan dia cuma mau bilang 'halo'! Supaya kamu nggak tegang, Aira. Aku siapin ini biar lucu buat kamu."
"Please, tutup lagi! Tutup! Aku nggak sanggup liatnya," Aira masih menutup matanya, meski tawa malu-malunya terdengar lucu.
Zayyan pun kembali merapikan pakaiannya sambil terkekeh. "Oke, oke. Tapi minimal kamu ketawa. Itu misi pertamaku malam ini supaya kamu nggak takut lagi lihat si badak."
“Tapi… jangan sekarang. Aku belum siap,” ujar Aira pelan. Ia melepaskan kerudungnya perlahan, lalu menggulungnya dan menyelipkannya di lengan.
Sudah keberapa kali Aira menolak, Zayyan tetap berusaha untuk bisa mengerti. "Aku mengerti, Aira. Tenang aja ya, okei." jawabnya.
Aira menunduk. Rasa bersalah menelusup diam-diam. “Maaf… kalau aku mengecewakanmu.”
“Tidak, Aira." Zayyan menyela. "Kamu nggak mengecewakanku. Kamu berhak atas waktumu sendiri. Aku cuma ingin kamu nyaman bersamaku. Itu saja.”
Sejenak hening.
“Sekarang, kamu tidurlah. Udah malam. Besok masih ada acara ngunduh mantu di rumahku. Kamu pasti capek,” ucap Zayyan seraya tersenyum kecil.
Aira mengangguk. “Um.”
Zayyan pun bangkit dan berjalan ke arah balkon kamar. Aira memperhatikannya dari balik bahu, menunggu barangkali Zayyan akan kembali menghampirinya, tapi tak terjadi. Ia hanya berdiri di sana, membelakangi kamar, menatap langit malam.
Lalu, tangan Zayyan bergerak ke saku celananya. Ia merogoh sesuatu. Aira menyipitkan mata, dan saat Zayyan menariknya keluar, Aira terhenyak.
Rokok.
Zayyan memegang sebungkus rokok di tangan kanannya, lalu menyelipkan satu batang ke bibirnya tanpa ragu. Korek pun menyala.
Aira terbelalak, “Dia… merokok?”
Hampir tak percaya. Ada riak kecil di dadanya. Bukan hanya terkejut, tapi juga bingung. Zayyan yang tadi begitu lembut, penyabar, dan terlihat sholeh saat shalat... kini memegang rokok di tangan seperti sudah terbiasa.
Aira belum tahu harus merasa apa.
Gadis itu perlahan menarik diri. Ia naik ke ranjang, menarik selimut sebatas dada, lalu berbaring miring membelakangi balkon. Matanya menatap temaram lampu kamar yang memantul di dinding, tapi pikirannya tak bisa diam.
"Kenapa? Kenapa aku merasa kecewa? Hanya karena dia merokok… kenapa hatiku jadi berat?" pikirnya dalam diam.
Padahal, Aira tahu, itu bukan urusannya. Mereka baru saja menikah. Hatinya pun belum sepenuhnya diberikan. Seharusnya, ini semua tak ada hubungannya dengan perasaannya.
Tapi kenyataannya berbeda.
"Aku peduli."
Kata-kata itu mengendap di relungnya sendiri. Pelan, tapi pasti, seperti hujan yang meresap ke tanah. Ia peduli. Entah sejak kapan, entah karena apa. Mungkin karena perhatian Zayyan, atau karena cara pria itu memperlakukannya dengan penuh kehati-hatian dan kesabaran.
Momen kecil tadi, saling menatap, doa yang mereka panjatkan bersama, pelukan hangat itu, membuatnya lupa bahwa hatinya belum boleh hanyut.
"Aku... nggak boleh jatuh cinta padanya."
Di balkon, Zayyan bersandar santai, menghembuskan asap rokok ke udara malam. Tatapannya redup menembus langit, seperti seseorang yang telah berdamai dengan luka-luka lamanya.
Zayyan pernah merantau selepas SMA, ikut pamannya ke kota demi harapan akan masa depan. Ia menempuh jalan sulit karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan tetap. Kadang jadi kurir, paruh waktu menjadi pelayan restoran, belajar teknisi, hingga akhirnya direkrut sebuah perusahaan karena kerja kerasnya.
Tak berhenti di situ, ia menabung pengalaman dan modal untuk membangun bisnis sendiri. Perjalanan itu penuh liku: ada yang menolong, ada yang mengkhianati. Tapi dari semua itu, Zayyan belajar, tumbuh, dan membentuk prinsip hidupnya. Ia bukan lagi remaja pencari arah, tapi pria yang teguh pada perjuangan.
Lima tahun kemudian, ia pulang membawa mimpi yang sudah dirintis. Bisnisnya kini jaya, dan hatinya mantap untuk meminang gadis yang ia cintai.
Malam itu, dengan rokok di tangan dan dada yang terasa sesak, Zayyan menatap langit kosong. Dalam diam, menyimpan banyak cerita.
"Besok... acara ngunduh mantu, ya," gumamnya lirih. "Aku pun sudah mempersiapkannya. Tapi entah kenapa, aku tak yakin Ibu akan bisa menerima Aira. Resepsi tadi saja... Ibu bahkan tak mau datang."
Ia menghela napas, kali ini lebih berat dari sebelumnya.
"Aira... tumbuh di keluarga yang penuh cinta dan kehangatan. Perangainya lembut, tingkahnya terkadang lucu tapi tetap punya wibawa yang memancar alami." Senyumnya samar, lebih mirip luka yang disamarkan. "Aku merasa bersalah... telah menyeretnya menjadi bagian dari hidupku."
😢💔😔