Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan orang yang sangat ia sayangi, membuat seorang Fiorella harus merelakan sebagian kebebasan dalam kehidupannya.
"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya ditempat itu, kamu tenang saja. Gajinya sangat cukup untuk kehidupan kamu."
"Pengasuh? Apakah bisa, dengan pendidikan yang aku miliki ini dapat bekerja disana bi?."
"Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Dio, yang mereka lihat adalah kenerja nyata kita."
Akhirnya, Fio menyetujui ajakan dari bibi nya bekerja. Awalnya, Dio mengira jika yang akan ia asuh adalah anak-anak usia balita ataupun pra sekolah. Namun ternyata, kenyataan pahit yang harus Fio terima.
Seorang pria dewasa, dalam keadaan lumpuh sebagian dari tubuhnya dan memiliki sikap yang begitu tempramental bahkan terkesan arogan. Membuat Fio harus mendapatkan berbagai hinaan serta serangan fisik dari orang yang ia asuh.
Akankah Fio bertahan dengan pekerjaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Era Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCC. 7.
"Tuan perlu bantuan kah? Keong ini siap untuk membantu?" Ujar Fio dengan menghela nafasnya.
"Lamban sekali, lain kali tidak usah kemana-mana hingga Jam kerjamu habis. Merepotkan sekali." Elio membawa kursi rodanya masuk ke dalam kamarnya, dimana saat itu ia berada didepan pintu kamarnya ketika memanggil Fio.
Mengikuti langkah tuan muda nya, Fio hanya bisa pasrah dengan sikap tersebut.
"Bantu aku ke tempat tidur." Perintah tanpa aba-aba, membuat Fio mengkerutkan keningnya.
Karena perintah yang tidak biasanya terjadi, membuat Fio terpaku ditempatnya saat itu. Diam dan tanpa pergerakan apapun.
"Kamu tuli ya? Cepat bantu aku! Lamban sekali " Umpatan terus dilontarkan pris bermulut pedas itu.
"Ah, baik tuan. Maafkan saya." Fio tersadar dari lamunannya, lalu ia segera menghampiri dan membantu Elio untuk berpindah ke tempat tidur.
"Tapi tuan, tidak baik terus-terusan berbaring di tempat tidur. Apa tuan mau jalan-jalan? Menghirup udara segar di sore hari, akan terasa nyaman." Fio menawarkan agar Elio dapat berinteraksi dengan kehidupan di luar dari mansion tersebut.
"Jangan pernah mengatur hidupku, kamu hanya orang luar yang bekerja disini." Ucapan itu begitu tegas.
"Tidak ada salahnya, jika tuan mencoba untuk sedikit demi sedikit kembali menghirup udara segar di luar. Itu juga, dapat membantu pemulihan anda." Fio terus berusaha untuk membujuk pria keras kepala itu.
"Diam!"
Tubuh Fio seketika menegang, karena kata tersebut sangat membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Baiklah tuan, maafkan saya." Fio sadar, jika ia belum bisa mengajak Elio untuk mencobanya.
"Dasar ja**ng tidak tahu diri, cukup kerjakan apa yang menjadi tugas mu. Jangan terlalu ikut campur dalam urusan kehidupanku, kamu bukan siapa-siapa." Elio menghempaskan tubuh Fio yang sudah membantunya dengan cukup keras, tanpa sadar jika itu sangat berbahaya.
Dugh!
"Aduh!" Erang Fio, dimana pinggulnya menghantam dengan keras, nakas yang berada disisi tempat tidur tersebut.
Rasa sakit bercampur nyeri itu sangat kuat, Fio memejamkan kedua matanya ketika tubuhnya merasakan itu semua. Di ujung kedua matanya terdapat air mata yang sudah akan menetes, namun ia berusaha menahannya. Akan tetapi, rasa sakit itu semakin kuat. Membuat Fio segera meninggalkan kamar tersebut tanpa berpamitan dengan sang punya kamar, ia berjalan dengan tertatih namun bergegas.
Mendapati hal tersebut, Elio mendadak terdiam. Ia menatap Fio yang berjalan tertatih keluar dari kamarnya, wanita itu tidak mengeluh padanya ataupun marah.
Terlepas dari hal tersebut, Fio terus berjalan menuju kamar miliknya yang ia gunakan saat beristirahat disana.
"Sakit sekali, rasanya seperti patah saja." Fio mengusap kedua matanya yang sudah meneteskan air mata.
Perlahan, Fio melihat pinggulnya dari balik pakaian yang ia kenakan dan terasa begitu sakit. Terlihat ruam kemerahan yang bercampur dengan sedikit warna kebiruan, memar yang cukup besar.
Untuk mengurangi rasa sakit yang ada, Fio mencari dan bertanya kepada Sela atas obat yang ia cari.
"Wih, udah berubah biru merah kayak gitu Fi. Sshh, sakit banget ya?" Sela meringis melihat luka milik Fio yang berhasil membuatnya merinding.
"Kamu, tidak apa-apa kan Fi? Tuan muda, nggak aneh-aneh lagi selain ini ?" Sela menatap Fio secara keseluruhan.
"Tidak apa-apa, kok. Tadi hanya karena aku yang lalai, air minum tuan tumpah di lantai dan aku nggak sengaja terpleset dan terbentur nakas. Ternyata, sakit juga ya." Walaupun tubuhnya mendapatkan memar, Fio masih tetap bisa tersenyum.
"Kamu ini, wanita besi banget. Kalau aku jadi kamu, Weh. Sudah lama, aku menghilang dari bumi." Sela tidak bisa menahan kekesalannya.
Cukup lama, Fio beristirahat dan rasa sakit itu sudah berangsur mereda walaupun tidak langsung hilang. Dan kini, waktu sudah mulai sore. Sudah saatnya, Fio untuk mengarahkan dan membantu Elio membersihkan dirinya.
Pintu kamar terbuka perlahan, terlihat jika Elio sedang duduk bersandar di atas tempat tidurnya. Tatapan itu menatap jauh ke arah jendela, hal tersebut membuat hati kecil Fio seakan terusik dan iba.
"Permisi." Fio masuk dengan perlahan, ia mulai menyiapkan keperluan yang akan dibutuhkan Elio untuk membersihkan dirinya.
Air hangat, bahkan dengan beberapa benda-benda kecil yang diperlukan pun telah ia persiapkan namun yang anehnya. Pria yang sangat keras kepala itu, masih tetap dalam posisi awalnya. Termenung, melamun dengan pandangan kosong ke arah jendela kamar tersebut.
Tidak ingin mencari masalah, Fio melanjutkan tugasnya yang lain. Membereskan ruangan tersebut, hingga tugasnya selesai. Pria itu tetap dengan posisi tersebut, tidak ingin kecolongan. Fio memberanikan diri untuk mendekatinya, tangan itu pun melambai di hadapan muka Elio.
"Tuan, tuan Elio."
"Tuan, tuan baik-baik saja?" Fio memastikan tidak ada yang terjadi pada pria itu.
Tetap tidak ada pergerakan apapun dari pria itu, namun yang Fio lihat. Kedua mata kosong itu meneteskan air mata yang sangat jarang sekali untuk seorang pria, dan kini ia saksikan sendiri.
"Ternyata, selain keras kepala. Dia juga cengeng sekali, terlihat kuat tapi rapuh." Ucap Fio tanpa sadar.
"Eh!"
Tiba-tiba saja, lengan Fio mendapatkan genggaman yang begitu kuat. Ternyata, itu adalah tangan milik Elio.
"Lancang sekali mulutmu."
Dianggap tidak mendengar, namun nyatanya Elio mendengar setiap ucapan yang di ucapkan oleh Fio. Bahkan, air mata yang sebelumnya terlihat. Kini sudah tiada, tergantikan dengan tatapan tajam.
"Ah! Tuan, maafkan saya." Belum hilang rasa sakit pada pinggulnya, kini lengan itu mendapatkannya lagi.
"Mulutmu terlalu lancang, jangan menganggap semuanya bisa kamu lakukan. Dasar, Ja**ng. Enyah dari kamarku!" Tangan itu menghempaskan lengan Fio dengan cukup keras, membuat Fio terhuyung.
"Baik tuan, jika anda ingin membersihkan diri. Semuanya sudah saya persiapkan, dan juga makan ringan untuk anda. Saya permisi." Fio benar-benar sudah tidak ingin mendapati rasa sakit lagi untuk hari ini.
Keluar dari sana, Fio segera membereskan dirinya untuk pulang. Memang setiap hari, Fio akan pulang pergi dan tidak menginap. Setelah berpamitan, Fio pun pulang.
Dalam lamunannya, Fio berusaha untuk selalu menguatkan dirinya secara mental dan fisik untuk terus bekerja disana. Walaupun ia harus menerima cacian bahkan hinaan, dan tidak menutup kemungkinan luka fisik juga ia dapatkan. Jika bukan untuk menghasilkan uang, dirinya akan berpikir berulang kali untuk menjadi pekerja disana. Bahkan dengan bayaran yang tinggi sekalipun, ia juga harus memikirkan dirinya.
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Fio melamun dan isi didalam kepalanya terus tergiang akan kesehatan sang adik. Uang yang ia miliki, sudah dibelikan obat untuk adiknya.
Saat kaki itu sudah sampai di halaman rumahnya, tiba-tiba saja ponsel milik Fio berbunyi notifikasi pesan. Dimana isi pesan tersebut mengatakan, jika dirinya harus menghadap dosen pembimbing nya untuk menyegerakan skripsi yang sedang ia kerjakan.
"Bagaimana ini, apa aku bisa izin untuk tidak bekerja besok? Apalagi baru beberapa hari bekerja disana."