NovelToon NovelToon
Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Amelia greyson

Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

30

Amira Yang dimarahi ibu Arif, menunduk dalam-dalam, meremas ujung baju tidurnya. Sorot mata tajam Bu Ningsih, ibu Arif, membuatnya merasa kecil, seolah semua kebaikan yang pernah ia lakukan untuk Maira lenyap begitu saja.

"Kalau Maira jadi tidak sopan begini, itu pasti karena kamu!" bentak Bu Ningsih, suaranya tajam menusuk telinga. "Dari kecil, Arif sudah ajarkan Maira untuk hormat pada orang tua. Sekarang, setelah kamu masuk ke rumah ini, dia malah diam saja, tidak mau menyapa!"

Amira membuka mulutnya, ingin membela diri, tapi suaranya tercekat. Ada rasa sakit yang sulit diungkapkan. Ia tahu, Maira hanya sedang butuh waktu—hubungan mereka belum sempurna, tapi Amira tidak pernah, bahkan tidak akan pernah, mengajarkan hal buruk pada anak itu.

"Saya tidak pernah mengajarkan Maira begitu, Bu," akhirnya Amira berani berkata, suaranya bergetar. "Saya hanya ingin dekat dengan Maira, tidak lebih."

Bu Ningsih mendengus keras. "Dekat? Dengan cara apa? Menghasut dia supaya melupakan keluarga aslinya?"

Amira menahan air mata yang menggenang. Ia ingin berlari, ingin berteriak, tapi ia memilih berdiri tegak. Di dalam hatinya, ada rasa sedih bercampur tekad. Ia tidak akan pergi. Ia tidak akan menyerah.

Arif yang baru saja pulang dari kantor, karena dia kepikiran terang Amira, akhirnya dia memilih untuk pulang.

Saat sampai dirumah, Arif, terkejut melihat suasana tegang itu. Ia meletakkan tasnya cepat-cepat. "Ada apa ini?"

Bu Ningsih segera mendekati Arif. "Anakmu sekarang jadi tidak hormat pada orang tua! Semua gara-gara istrimu ini!"

Arif menghela napas panjang. Tatapannya beralih pada Amira, yang masih berdiri di tempat dengan mata berkaca-kaca. Hatinya mencelos. Ia tahu, Amira bukan orang seperti itu. Ia telah melihat sendiri betapa sabarnya perempuan itu menghadapi Maira.

"Bu, tolong jangan tuduh Amira sembarangan," kata Arif, suaranya tenang namun tegas. "Kalau ada masalah dengan Maira, biar saya yang urus."

Bu Ningsih terbelalak, merasa tidak terima. Tapi Arif sudah mendekati Amira, membisikkan, "Aku percaya sama kamu."

Kata-kata itu seperti pelukan hangat untuk Amira. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. Tapi di dalam hatinya, luka itu sudah terlanjur membekas.

Setelah kejadian tadi, suasana di rumah Arif masih tegang. Ketika Arif kembali ke rumah setelah bekerja, ia mendapati bahwa suasana tidak lagi seperti biasa. Ibu dan ayahnya sudah duduk di ruang tamu, wajah mereka dipenuhi kekecewaan.

"Arif!" suara ayahnya terdengar keras. "Kamu ini bagaimana, sih? Sejak kapan kamu menyembunyikan hal penting dari keluarga?"

Arif tertegun sejenak, baru menyadari bahwa kemarahan orang tuanya bukan hanya soal Amira dan Maira. Ini lebih besar dari itu.

"Ada apa, Pa?" tanya Arif dengan nada hati-hati, berusaha mencari tahu sumber kemarahan yang lebih dalam.

"Ibu kamu baru saja bilang kalau kamu menikah tanpa memberi tahu kami!" suara ayahnya semakin keras. "Kenapa kamu tidak memberi tahu kami sebelumnya? Kamu pikir keluarga ini tidak perlu tahu tentang hal seperti itu?"

Amira yang mendengar percakapan itu, mulai merasa cemas. Ia tahu ini bukan tentangnya, tapi tentang keputusan Arif yang selama ini ia tanggung sendiri tanpa berkonsultasi dengan keluarganya. Ia bisa merasakan ketegangan yang mengisi udara di ruang tamu itu.

Arif menghela napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Saya tahu, Pa, Bu, ini memang tidak mudah. Tapi, saya rasa ini adalah keputusan saya yang harus saya ambil sendiri."

Bu Ningsih, yang sepertinya sudah tidak sabar, berdiri dan menatap tajam pada Arif. "Keputusan yang kamu buat tanpa meminta pendapat kami? Tanpa berbicara terlebih dahulu dengan kami? Kamu tahu, kami juga ingin tahu tentang hidupmu! Terutama soal istrimu.

"Bu, Pa," Arif berbicara dengan suara yang lebih lembut, "Saya tahu saya salah tidak memberi tahu kalian lebih dulu, tapi saya juga merasa ini adalah langkah yang harus saya ambil dengan pertimbangan saya sendiri."

"Langkah apa itu, Arif?" tanya Ayahnya dengan nada penuh tanya. "Menikahi perempuan yang baru saja kita kenal? Bagaimana kita tahu dia orang yang tepat untuk kamu dan Maira?"

Arif menunduk sejenak, berpikir keras. Ia tidak bisa menjelaskan perasaannya dengan mudah, tetapi hatinya tahu bahwa keputusan itu datang dari tempat yang benar.

"Aku menikahi Amira karena aku merasa dia bisa jadi teman hidup yang baik untuk aku dan Maira. Tidak ada yang lain. Aku harap kalian bisa percaya pada keputusan yang sudah aku buat."

Kedua orang tuanya saling bertukar pandang, tidak tahu harus berkata apa. Mereka tampak bingung dan sedikit kecewa, tapi tak bisa membantah kata-kata Arif yang tegas.

Amira yang selama ini diam, akhirnya memutuskan untuk berbicara. "Saya tahu saya tidak bisa memaksa kalian untuk langsung menerima saya," katanya dengan lembut. "Tapi saya ingin kalian tahu, saya hanya ingin yang terbaik untuk Maira dan Arif. Saya berharap kita bisa saling belajar mengenal satu sama lain."

Suasana menjadi lebih tenang setelah itu, meskipun masih ada sisa ketegangan. Namun, Arif tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju perubahan, dan ia berharap keluarga kecilnya bisa bersatu, meski dimulai dengan cara yang penuh tantangan.

***************************************

Saat makan malam, ketegangan terasa sangat kental. Arif mencoba untuk menjaga ketenangan, tetapi kata-kata Bu Ningsih yang semakin tajam membuatnya semakin terpojok.

"Arif," suara Bu Ningsih terdengar dingin, "kamu ini sudah tidak peduli dengan keluarga lagi, ya? Apa kamu pikir kita bisa menerima semuanya begitu saja? Apa kamu pikir Amira itu orang yang tepat untukmu? Apa yang bisa dia berikan selain masalah?"

Arif menatap ibunya dengan penuh kesedihan, tapi ia berusaha tetap tenang. "Ibu, saya menikahi Amira karena saya merasa dia bisa menjadi pasangan yang baik. Saya tidak ingin membuat ibu dan ayah marah, tapi ini adalah keputusan saya."

Ayah Arif, yang sebelumnya lebih pendiam, kali ini ikut menyuarakan pendapatnya. "Keputusanmu itu sangat gegabah, Arif. Kamu harusnya tahu, keluarga ini tidak bisa langsung menerima orang asing begitu saja, terutama tanpa memberi penjelasan terlebih dahulu. Kami ini orang tua, Arif! Kami berhak tahu!"

Arif merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tidak bisa menahan rasa frustrasinya. "Saya tahu kalian orang tua saya, dan saya sangat menghargai itu. Tapi, saya juga harus membuat keputusan untuk diri saya sendiri, bukan hanya mengikuti apa yang kalian mau!"

Bu Ningsih menyeringai tajam. "Kamu pikir kami ini tidak tahu apa-apa? Kamu menikahi perempuan yang tidak dikenal dan berharap semuanya akan berjalan lancar? Tidak ada yang percaya bahwa Amira bisa mengurus rumah tangga ini dengan baik. Dia bukanlah wanita yang tepat untukmu, Arif!"

Arif menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan amarah yang mulai merayapi dirinya. "Saya tidak minta persetujuan kalian, Bu, Pa. Saya hanya ingin kalian menghargai keputusan saya. Amira adalah pilihan saya, dan saya ingin kalian memberinya kesempatan."

Tapi Bu Ningsih tidak mau mendengarkan. "Memberi kesempatan? Kamu sendiri yang harus diberi kesempatan untuk berpikir matang! Kalau kamu merasa bahagia dengan keputusanmu, kenapa tidak memberi tahu kami dulu? Kenapa kamu harus menyembunyikan ini dari kami? Jangan pikir kami akan diam saja!"

Arif memejamkan matanya, menahan setiap kata yang ingin keluar. Ia tahu ini bukan hanya tentang dirinya dan Amira. Ini tentang prinsip keluarga, tentang bagaimana ia ingin dihormati sebagai suami dan kepala keluarga yang mengambil keputusan dengan bijaksana. Namun, apa yang ia hadapi malah kebalikannya—pertentangan dan penghinaan yang terus-menerus datang dari orang tuanya.

Amira yang mendengar perdebatan itu hanya bisa duduk diam di sudut ruangan, merasa terasing dan tidak dihargai. Ia ingin berbicara, ingin menjelaskan bahwa ia tidak ada niat buruk, bahwa ia hanya ingin diterima oleh keluarga suaminya, tetapi setiap kali ia membuka mulut, Bu Ningsih selalu menghentikannya dengan tatapan tajam.

Suasana semakin canggung. Ketegangan yang terbangun dalam beberapa hari terakhir ini semakin membebani Arif. Di satu sisi, ia merasa terikat dengan keluarganya, yang selama ini menjadi tempat ia bergantung. Namun di sisi lain, ia juga harus mempertahankan kebahagiaan rumah tangganya dengan Amira, meskipun itu berarti melawan kerasnya pendapat orang tuanya.

"Aku tidak akan membiarkan ibu dan ayah terus mengatur hidupku seperti ini," kata Arif akhirnya dengan suara yang tegas, meski terdengar penuh keraguan. "Aku sudah dewasa. Aku sudah membuat keputusan. Jika kalian tidak bisa menerima itu, aku tidak tahu lagi harus bagaimana."

Bu Ningsih dan Ayah Arif terdiam, namun tatapan mereka tetap penuh amarah. "Kalau begitu," kata Ayah Arif dengan dingin, "teruskan saja jalanmu. Tapi ingat, tidak ada yang bisa kami lakukan untuk membantu jika kamu terus menutup telinga terhadap nasihat kami."

Dengan perasaan berat, Arif meninggalkan meja makan, meninggalkan keluarganya yang masih terperangkap dalam kemarahan dan kekecewaan. Amira, yang sedari tadi hanya diam, mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. Ia tahu ini belum selesai, tetapi Arif tetap berusaha untuk bertahan.

1
kalea rizuky
dr marah baik marah lagi baik. lagi mau nya apa ortu arif nee
kalea rizuky
kok aneh dr marah2 langsung cpet luluh
kalea rizuky
lu aja yg tolol Rif ngapain ngasih celah ke perempuan lain meski sahabat bodoj
leahlaurance
wow....so sweet,thor lebih diperhati ya banyak typo nya.
Hyyyyy Gurliiii🪲: Terimaksih banyak kak,
total 1 replies
leahlaurance
kaya dikit semacam ,satu imam dua makmum😅
Hyyyyy Gurliiii🪲: Haiiii kakak kak, maaaf yaaa sblum nya
Saya gak tau cerita ituuu 🤣
total 1 replies
leahlaurance
cerita ini kaya,curhat seoramg isteri.ayu usaha terus embak.
leahlaurance
mampir ,dan di bab ini sepertinya biasa juga.
leahlaurance
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!