Cita-cita adalah hal mutlak yang harus dicapai. Sedangkan, prinsipnya dalam bekerja adalah mengabdi. Namun sebagai gadis miskin tanpa pendidikan penuh ini — pantaskah Meera menjadi sasaran orang-orang yang mengatakan bahwa 'menjadi simpanan adalah keberuntungan'?
Sungguh ... terlahir cantik dengan hidup sebagai kalangan bawah. Haruskah ... cara terbaik untuk lepas dari jeratan kemalangan serta menggapai apa yang diimpi-impikan — dirinya harus rela menjadi simpanan pria kaya raya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sintaprnms_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7 : Meera ...
7 : Meera ...
Sebelum tidur Meera sudah mengirim uang ke rekening sang Kakak. Sudah lah, tujuannya sekarang … ingin hidup damai saja, tanpa gangguan. Dikatakan kejam dan tak berempati pun, seharusnya tidak. Karena Meera masih menganggap Kak Seno sebagai keluarganya.
Meera hanya membantu semampu yang dibisa tanpa memaksa diri. Sekurang-kurangnya biar Kak Seno sendiri yang mengurus.
Padu bunyi lonceng jam terdengar, pertanda bahwa telah memasuki pukul 6 pagi tepat. Jam itu. Pak Said bilang, adalah peninggalan dari mendiang Nyonya Asmita — istri pertama Bapak Manggala. Dan sampai sekarang pun tidak pernah rusak, hanya mungkin baterai saja yang habis, lalu diganti dengan yang baru.
Tetapi … sayangnya, Nyonya Asmita — mungkin tidak dirindu sangat lah lama. Karena Pak Said bilang, memang secepat itu Bapak Manggala menikah dengan Nyonya Yasmina. Entahlah … entah … sebenarnya saja ia tidak ingin mengingat cerita sedih. Namun kan … sebagai wanita yang berperasaan Meera sedikit … kasihan.
“Dor!”
“Astaghfirullah!” Meera memukul bahu Lika. “Kaget tauk!”
Lika tertawa. “Ehe, sengaja emang! Lagian … ngapain kamu ngelamun?”
Meera abai tidak mau menjawab.
“Mending bersihin kamar Tuan tuh. Takut-takut orangnya nongol lagi tiba-tiba, kamunya kena semprot lagi!”
Ah iya, ada benernya. Tuan sekarang apa-apa emang suka mendadak. Nggak lucu banget Tuan tiba-tiba datang. Meera berjalan meninggalkan Lika. “Yaudah. Aku bersih-bersih dulu.”
📍Lazuardi Hotel, Jakarta Selatan.
Sesungguhnya Abhimana datang bukan untuk mengurus Hotel di cabang Jakarta ini. Ia datang, untuk menginap saja. Tetapi apa yang diminta oleh Papa? Semenjak Linggar meninggalkan Hotel yang berpusat di Surabaya. Papa Tama tiba-tiba memintanya untuk menghandle yang disini.
Kata beliau, meng-check saja. Barang kali kinerja orang-orang disini kurang baik. Maka Papa akan menggantikan. Dan setelahnya, jelas saja ia akan kembali mengurus Resort, tidak dengan yang lain-lain.
Dan mengapa bukan Kak Ranjendra saja? Orang itu, kan, gila sekali dengan — ah, tidak. Papa jelas tahu. Putra beliau yang satu itu memang agak lain.
“Setelah ini, Tuan ingin diantar kemana?” Pertanyaan tiba-tiba itu muncul dari sopir yang menemaninya.
Abhimana berjalan menuju lift. “Saya mau istirahat aja. Tapi Bapak bisa ikut saya ke atas bentar?”
Abhimana. Sungguh tak ingin dijuluki si kaya baik hati. Tidak. Sangat tidak ingin. Alasan ia meminta sopir itu ke kamar Hotel, selain memberi uang tip adalah untuk membantunya mengirim barang berharga ke Batu menggunakan J&T secara instant.
Tentu saja, ia mengucapkan terima kasih dan memberi upah. Karena Bapak sopir ini orang yang bertanggung jawab. Dan mengenai barang itu — ya … sejujurnya adalah vas bunga, yang dibeli percis seperti yang dipecahkan oleh Meera.
Gadis itu tahu apa tentang vas bunga favorit Mama jika sedang menginap ke Villa? Jika Mama tahu vas kesayangan beliau meletakkan bunga, hancur tak berupa. Mama bukan sekadar mengomel, bisa dipecat detik itu juga si Meera.
Bukan masalah harga, hanya masalah kelalaian dalam bekerja. Mama membenci orang ceroboh.
1 hari berlalu …
Siang hari sekitar pukul 11. Ada paket datang dikirim atas nama Abhimana untuk Meera. Dan sudah tahu pasti, kan, reaksi orang-orang?
“Paket apa tuh di kirim Tuan dari Jakarta?”
“Meera ya ampun … kamu …”
“Kamu keliahatan deket banget sama Tuan.”
Demi mematahkan kesalahpahaman. Meera memilih membuka paket kirim sang Tuan di depan meja tamu yang sangat besar dan luas itu. Capek banget aku dituduh-tuduh punya hubungan! Srek — crak — paket terbuka dan keras?
“Vas?”
Suara itu berasal dari Ailin.
Meera langsung menatap sekeliling. “Lihat. Bukan apa-apa. Ini vas — yang kemarin aku pecahin.”
“Ah, aku kira kan … itu …” Ailin tidak melanjutkan ucapan.
Risa yang berada disamping pun berkata, “Mirip banget kayak vas yang pecah. Kamu minta Tuan beli lagi? Pakek uangmu?”
Meera menggeleng. “Enggak. Tapi — nggak tahu lah! Nanti kalau Tuan pulang aku tanya.”
Semua bubar. Termasuk dengan Risa. Meera menatap vas bunga dan meletakkan pada meja dibagian pinggir berdekatan dinding, supaya aman. Setelah itu ia duduk di kursi tamu.
Mata Meera langsung beralih fokus saat melihat sepertinya … diselipkan secarik kertas disina. Ya .. bener. Ada tulisannya.
0895******* hubungin nomor ini, via whatsapp. Kalau kamu sudah menerima paket.
Sebagai orang yang sangat mencintai pekerjaannya. Meera menurut. Ia memasukan satu persatu nomor dan setelah tersimpan — langsung saja mengirim pesan.
^^^Saya sudah menerima paket vas bunga.^^^
📍Senayan City, Jakarta Pusat.
0859********
Saya sudah menerima paket vas bunga.
Meera? Batin Abhimana bertanya.
Apa dicatatan itu tidak tertulis bahwa nomor itu adalah miliknya — milik sang Tuan? Apa-apaan? Tidak ada sopan santun. Untung saja jarak usia kami tidak jauh, jika yang dikirim pesan ini adalah Mama Cecil, sudah dipecat gadis ini!
Abhimana memilih tidak membalas. Ia menyimpan nomor Meera saja dengan nama panggilan yang sama. Setelah kedatangan Aldo — teman akrab semasa sekolah. Ia langsung meletakkan ponsel di meja dan menatap.
“Sorry, Bro. Tadi gue habis dari Kelapa Gading.”
Kelapa Gading? Ya, dirinya tak begitu paham dengan kehidupan rumit Aldo. Anak itu bilang bahwa orang tuanya yang di Surabaya adalah orang tua angkat. Dan yang di Jakarta adalah — bagaimana mungkin orang berada seperti kami pun memiliki rasa malu?
Jika memang Aldo adalah anak hasil hubungan gelap. Yasudah, dibuat mudah saja seperti Shanum — anak Om Jaiz itu. Dirawat. Tidak perlu diberikan pada orang lain.
“Rumah Bokap gue,” imbuh Aldo.
Abhimana mengangguk-angguk.
“Lo tumben ke Jakarta?” tanya Aldo.
Abhimana menatap sekilas. “Lo juga tumben ke Jakarta?”
“Lah. Malah nanya balik.”
“Bukannya lo kerja ikut Lutfan?”
Aldo tersenyum tipis. “Iya dulu. Udah 1 tahun lebih kayaknya. Gue udah nggak ikut Lutfan lagi.”
“Kenapa?”
“Ya nggak papa.” Aldo mengeluarkan ponselnya dari saku celana. “Berkembang, Bro. Gue — mau nikahin cucu orang soalnya.”
“Hah? Gimana?” Otak Abhimana tak sampai rasanya. Ada apa? Pernikahan? Cucu orang? Mimpi apa pria ini, hah? Ingin mengikuti jejak Lingga dan Linggar? “Coba ulangi lagi lo ngomong.”
“Apasih, Anj*ng. Nggak usah suruh gue —“
Abhimana memotong. “Mulut lo.”
“Apa?”
“Masih kotor, sok-sok-an nikahin cucu orang. Yakin lo bisa ngedidik dia? Atau — oh, lo yang di-didik dia?”
Lihat … mimik wajah itu berubah. “Ya, sorry. Spontan. Udah gue kurang-kurangin juga.”
“Do Aldo, lo nggak usah sok-sok-an ngikutin jejak Lutfan. Ilmu dia itu lebih tinggi dari kita — dari elo. Karena lo jelas tahu, dia di-didik baik, lingkungannya mendukung. Terus juga —"
Aldo memotong. “Nggak usah lo jelasin. Gue udah tahu kok. Terus apa salahnya sih Bro kalau gue ngikutin jejak Lutfan? Kan yang diikutin baik-baik.”
Hadeh. “Serah lo.”
“Kalau kata Lutfan, konsep berhubungan yang baik dalam islam, itu pernikahan.” Aldo menjeda. “Gue nggak pernah setuju sama nikah muda atau nikah tua. Gue setujunya, nikah disaat siap. Dan gue rasa — yaudah, gue udah siap.”
“Yaudah. Gue tunggu lah undangannya.”
Pulang dari Senayan City. Abhimana — jujur saja bosan. Persetan dengan pernikahan orang-orang. Hidup bebas adalah impian.
Tetapi ... ini gila … bagaimana mungkin gemerlap lampu kota, keindahan gedung-gedung, tempat hiburan malam dimana-mana. Satu pun, tidak ada yang menarik?
Seingatnya, sudah 3 bulan ia terakhir mengunjungi klub malam. Itu pun, di Honey Bunch — tempat Vincent. Di Jakarta jelas ada. Temannya pun mengajak, tetapi mengapa ia memilih menolak? Ah … karena bosan! Disana hanya ada hal yang sama, seperti di Surabaya. Tidak ada bedanya.
Meera …
Mata Abhimana langsung terbuka. Sialan! Apa-apaan nama itu? Mengapa tiba-tiba muncul dipikiran?
Bisa gila ...
...[tbc]...
1165 kata, Kak. Jangan lupa tekan like, sub dan komen. 🤏🏻😉
Tetap lanjut dong :)
btw abhimata kocak banget si😂, cocok nih iya sama lu nai, jodoin bhi mereka, btw lagi udah akrab banget lagi sama dahayu romannya🤭
pesannya, yg nerimah sama faham beda ya bi🤭
btw iya juga ya, gak mungkin juga kan langsung jatuh cinta, untuk yg setara juga gak selalu apalagi ini beda kasta,, selalu menarik cerita KA Sinta😊, ok KA Sinta lanjut, penarikan ini jalan cerita bakal gimana,
ini demam kecapean+liat Meera kembenan🤦🤣
btw bhi baju begitu malah lucu bagus Anggunly, estetik, dan syantik 🥰 KA Shinta banget ini mah🤭
Abhimana semangat makin susah ini romannya buat deketin kalo begini ceritanya 🤭
tapi kita liat KA Shinta suka ada aja jalannya🤭😅