Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20. MULAI MENYADARI SESUATU
"Jaga diri kakak baik-baik. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungi aku," ucap Aidan setelah mengurai pelukan.
Fiona mengangguk. "Bagaimana keadaan Papa dan Mama, apa mereka sehat?" tanyanya kemudian.
Aidan terdiam sejenak. "Mereka sehat, Kak," jawabnya berdusta. Sebenarnya sudah beberapa hari ini kesehatan sang mama sedang menurun, namun ia tidak ingin membebani pikiran kakaknya yang saat ini tengah mengandung. Meski kehadiran bayi itu tak berarti apa-apa bagi keluarganya sebab setelah lahir akan menjadi milik Teddy dan Agnes, tapi Aidan tidak ingin membuat kakaknya khawatir dan berimbas pada kandungannya.
Fiona tersenyum lega mendengarnya. "Apa Mama dan Papa masih marah sama kakak?" tanyanya lagi.
"Mana mungkin Papa dan Mama bisa marah pada anak kesayangannya ini. Mereka hanya merasa kecewa saja," jawab Aidan sembari mencubit gemas hidung sang kakak.
"Ya udah, kak, aku duluan ya," pamit Aidan kemudian begitu melihat Teddy berjalan ke arah mereka.
Lelaki yang telah memiliki dua orang anak itu mengayun langkah cepat memasuki koridor rumah sakit dan melewati Teddy sang kakak ipar begitu saja tanpa menyapa.
Teddy hanya dapat menghela nafas melihat perubahan sikap Aidan. Dulu hubungan mereka begitu baik, tapi semuanya berubah setelah ia menikahi Fiona. Bahkan mereka sudah seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal meski hampir setiap hari bertemu di rumah sakit.
Fiona menatap punggung adiknya yang kian menjauh. Matanya berkaca-kaca, belum puas rasanya melepas rindu.
"Ini obat kamu," Teddy menyodorkan sebuah plastik berisi obat pada Fiona.
Baru saja wanita itu akan mengangkat tangan untuk mengambil bungkusan tersebut, tapi Agnes sudah lebih dulu mengambilnya lalu kembali menggandeng tangannya menuju parkiran.
Lagi, Teddy hanya dapat menghela nafas karena lagi-lagi Agnes selalu saja membatasi dirinya dengan Fiona.
Begitupun saat sampai di rumah, Agnes langsung menuntun Fiona menuju kamar tanpa menunggunya.
"Kamu gak usah turun, nanti biar aku minta Bi Ira bawakan makanan untuk kamu kesini," ucap Agnes setelah berada di kamar madunya itu.
Fiona hanya mengangguk, lagipula ia tidak ingin terus bersitatap dengan Teddy. Ia juga merasa sesak setiap kali melihat kemesraan lelaki itu bersama istri pertamanya.
"Oh ya, ini obat kamu. Jangan lupa diminum teratur dan tepat waktu," ujar Agnes memperingati
"Iya."
Agnes kemudian keluar dari kamar itu dan mencari suaminya yang tadi ia tinggalkan di pelataran. Tak menemukan suaminya di sana, ia pun gegas menuju kamarnya. Teddy sedang duduk di sofa dan tampak melamun saat ia masuk.
"Mas," panggil Agnes, namun suaminya tak menyahut.
Teddy larut dalam pikirannya dan tak menyadari kedatangan Agnes.
"Mas...." Agnes menepuk pundaknya suaminya yang membuat lelaki itupun terkesiap.
"Iya, ada apa?" tanya Teddy sedikit terkejut.
"Mas kenapa melamun? Lagi mikirin apa?"
Teddy menghela nafas. "Gak mikirin apa-apa," jawabnya berdusta. Sejak tadi ia terus memikirkan Fiona. Bagaimana caranya agar ia bisa berbicara dengan istri keduanya itu tanpa harus diganggu oleh istri pertamanya.
Agnes menatap suaminya sedikit curiga, sebab tak biasanya Teddy seperti ini. "Apa ada masalah yang sedang Mas sembunyikan dariku?"
Teddy terlihat gelagapan, namun sebisanya ia bersikap seperti biasa. "Memangnya, apa aku kelihatan seperti orang yang sedang berbohong?" Ia balik bertanya.
"Aku tidak bilang kalau Mas sedang berbohong. Aku cuma tanya apa ada masalah yang sedang Mas sembunyikan karena gak biasanya Mas melamun seperti ini," ucap Agnes.
Teddy seketika salah tingkah, ia memalingkan wajahnya sejenak. Begitu takut kebohongannya diketahui Agnes membuatnya berpikir jika Agnes sedang mencurigainya.
"Gak ada, Sayang. Aku lagi gak ada masalah apa-apa," jawabnya kemudian.
"Tapi kenapa tadi Mas sampai melamun, seperti sedang banyak masalah?" tanya Agnes lagi, belum merasa puas dengan jawaban suaminya.
"Beneran, aku lagi gak ada masalah. Cuma sedikit kecapean aja jadi bawaannya lesu."
Agnes menatap suaminya dengan lekat. Entah kenapa ia merasa tak percaya dengan jawaban yang diberikan suaminya. Selama bersama Teddy, tak pernah suaminya itu mengeluhkan hal seperti ini. Bahkan Teddy tetap terlihat bersemangat meski waktunya lebih banyak tersita oleh pekerjaannya.
"Kamu gak lagi bohong sama aku, kan, Mas?"
Teddy hanya mampu menggelengkan kepalanya. Untuk berkata 'tidak' pun rasanya tak sanggup ia ucapkan. Entah harus berapa banyak kebohongan lagi yang ia lakukan demi menutupi satu kebohongannya.
"Mas, aku itu orangnya perasa. Jadi semisalnya sikap Mas berubah sedikitpun itu akan berpengaruh banget buat aku. Walaupun perubahan itu bukan karena aku penyebabnya, tapi aku bakal terus kepikiran dan aka membuat aku jadi berpikiran yang tidak-tidak dan bertanya pada diriku sendiri, apakah aku sudah melakukan kesalahan sehingga membuat sikap Mas berubah?"
Teddy hanya diam, tak tahu harus berkata apa. Dari ucapan Agnes, sepertinya istri pertamanya itu mulai menyadari sesuatu.
*****
Dini hari, Teddy belum juga dapat memejamkan matanya. Ia menoleh menatap Agnes yang telah terlelap di sampingnya. Menurunkan tangan wanita itu yang melingkar di perutnya lalu menggoyangkan tangan di depan wajahnya.
Setelah memastikan Agnes benar-benar telah tertidur pulas, ia pun perlahan turun dari tempat tidur dan berjalan pelan keluar dari kamar. Hanya ingin menemui Fiona saja ia harus mengendap-endap seperti maling.
"Fio, apa kamu sudah tidur?" panggilnya sembari mengetuk pelan pintu kamar istri keduanya itu. Namun hingga beberapa kali tak juga ada sahutan.
Ia pun menekan handel pintu yang ternyata tidak dikunci. Membuka sedikit daun pintu dan mengintip ke dalam kamar. Suasana yang temaram membuatnya tak dapat melihat jelas keberadaan sang penghuni kamar. Namun, hanya lampu tidur yang menyala itu menandakan Fiona sudah tidur.
Ia pun memilih masuk. Meski tak dapat berbicara dengan Fiona sebab ternyata wanita itu benar-benar telah tertidur, tapi setidaknya ia bisa melihatnya dari jarak yang dekat seperti ini.
Ia duduk di sisi ranjang, menatap dalam-dalam wajah yang ingin sekali dibelainya itu namun tak pernah memiliki keberanian.
Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada perut Fiona, kemudian membacakan doa agar calon bayi dan istri keduanya itu diberikan kesehatan selama kehamilan serta dilancarkan proses persalinannya nanti. Hal yang ingin sekali dilakukannya saat pertama kali mengetahui kehamilan Fiona, namun Agnes tak pernah memberinya kesempatan.
Ketika akan beranjak keluar dari kamar itu, perhatiannya tertuju pada layar ponsel Fiona yang tiba-tiba menyala. Ada sebuah pesan masuk.
Penasaran siapa yang mengirim pesan selarut ini, Teddy pun meraih benda pipih milik istri keduanya itu. Nama si pengirim pesan membuatnya meradang, perasaan cemburu itu seketika merasuk ke hatinya. Bagaimana tidak, Fiona masih menyimpan nomor Damar yang dinamai 'Calon Imam'.
["Aidan sudah cerita sama aku. Katanya sekarang kamu lagi hamil. Biasanya orang-orang akan mengucapkan selamat pada si calon Ibu. Tapi aku mau mengucapkan selamat untuk kita berdua, karena gak akan lama lagi kita bisa melanjutkan rencana pernikahan kita."]
Tanpa berpikir panjang, Teddy langsung menghapus pesan tersebut.
kasih faham thor ... /Angry/