Airilia hidup dalam keterbatasan bersama ibunya, Sumi, yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya meninggal sejak ia berusia satu minggu. Ia memiliki kakak bernama Aluna, seorang mahasiswa di Banjar.
Suatu hari, Airilia terkejut mengetahui ibunya menderita kanker darah. Bingung mencari uang untuk biaya pengobatan, ia pergi ke Banjar menemui Aluna. Namun, bukannya membantu, Aluna justru mengungkap rahasia mengejutkan—Airilia bukan adik kandungnya.
"Kamu anak dari perempuan yang merebut ayahku!" ujar Aluna dingin.
Ia menuntut Airilia membiayai pengobatan Sumi sebagai balas budi, meninggalkan Airilia dalam keterpurukan dan kebingungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7. Dinda hamil
Di sebuah rumah mewah dan megah, tepatnya di ruang tengah, sepasang suami istri tengah bertengkar.
"Dari mana kamu, Mas? Jam segini baru pulang?" tanya Dinda dengan nada penuh curiga.
"Aku sudah bilang, aku lembur. Banyak pekerjaan di kantor," jawab Reza dengan nada lelah.
Dinda tidak percaya begitu saja. Ia melemparkan beberapa lembar foto ke wajah Reza. Dengan kaget, Reza mengambil salah satu foto itu dan melihat dirinya bersama Aluna di sebuah apartemen—yang tak lain adalah apartemen milik Dinda sendiri.
"Jadi selama ini kamu memata-matai aku?" tanyanya dengan nada gusar.
"Iya, kenapa? Kaget?" Dinda menatap suaminya penuh kemenangan. "Aku bisa saja mengirim foto ini ke Ayah. Biar kamu dipecat dari perusahaan keluarga kami!"
Mendengar ancaman itu, wajah Reza berubah marah. "Kamu berani mengancam aku?"
"Tentu saja. Aku punya kekuasaan, Reza. Aku bisa menghancurkanmu dan mengembalikanmu ke jalanan seperti dulu!"
Emosi Reza memuncak. Ia mendorong Dinda hingga perempuan itu terjatuh dan kepalanya membentur meja. Seketika, Dinda pingsan.
"Tante Dinda!"
Seorang pemuda berlari menghampiri tubuh Dinda yang tergeletak di lantai. Tanpa pikir panjang, ia segera mengangkatnya dan membawanya ke dalam kamar. Tak lupa, ia menghubungi dokter keluarga mereka.
Tak sampai sepuluh menit, dokter Ika tiba dan segera memeriksa Dinda.
"Bagaimana keadaan Tante saya, Dok?" tanya pemuda itu, Rehan, dengan cemas.
Dokter Ika menghela napas lega. "Alhamdulillah, luka Dinda tidak serius. Hanya luka kecil. Tapi lain kali, harus lebih hati-hati. Kasihan bayi dalam kandungannya."
Mendengar itu, Reza yang berdiri di balik pintu membelalak kaget. "Dinda… hamil?"
Setelah dokter Ika pergi, Rehan menatap bibinya. "Tante, Tante hamil?"
Dinda mengangguk pelan, tangannya mengelus perutnya yang mulai sedikit menonjol.
"Rehan, tolong panggilkan Paman Reza."
"Tapi, Tante… aku takut Paman akan menyakiti Tante lagi."
"Paman Reza tidak akan mungkin menyakiti Tante lagi, apalagi setelah tahu ada anaknya di dalam perut ini."
Dengan ragu, Rehan akhirnya menuruti permintaan Dinda. Selang beberapa menit, Reza masuk ke dalam kamar dengan wajah penuh penyesalan.
"Dinda, maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahu kalau kamu sedang hamil anak kita."
Dinda menatap Reza dengan mata berkaca-kaca. "Sebenarnya, aku ingin memberitahumu. Tapi saat aku melihatmu dengan Aluna di apartemen itu…"
Reza mendekat, menggenggam tangan Dinda. "Dinda, maafkan aku. Yuk, kita mulai dari awal lagi. Kamu tidak mau, kan, kalau anak ini lahir tanpa ayah?"
Dinda terdiam sejenak. Ia masih sakit hati, tapi demi anak yang dikandungnya, ia ingin memberikan Reza kesempatan.
"Aku akan memberimu kesempatan, tapi ada syaratnya."
"Apa itu? Aku akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahanku."
"Kamu harus mengakhiri hubunganmu dengan Aluna, tepat di depan mataku."
Reza menelan ludah. "Baiklah. Besok aku akan mempertemukanmu dengan Aluna."
Dinda mengangguk puas. Tapi di dalam hati, Reza bimbang. Bisakah ia benar-benar meninggalkan Aluna demi memperbaiki rumah tangganya?
---
Di Kost Aluna
Setelah pulang dari apartemen, Aluna langsung mandi. Hari ini ia sangat senang—semua barang impiannya bisa ia beli dengan mudah berkat Reza.
"Enggak sia-sia aku mendapatkan pria beristri," gumamnya puas.
Tiba-tiba, suara seseorang terdengar dari luar. "Aluna! Luna, kamu di mana?"
"Sebentar, aku di kamar mandi!" sahutnya.
Renata, sahabat Aluna, sudah masuk ke kamar kost dan melihat beberapa paper bag di atas kasur. Karena penasaran, ia membuka salah satunya.
"Wow… dress merah? Punya kamu?"
Aluna keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya. "Iya, dibelikan Reza."
Renata menghela napas. "Luna, besok aku pulang kampung. Kamu mau ikut?"
"Ngapain pulang kampung?" Aluna bertanya malas.
"Kampus libur, jadi aku mau pulang. Kamu enggak kangen sama ibumu?"
Aluna mendengus. "Males. Kalau aku pulang, pasti Ibu selalu membela Airilia. Anak pelakor itu!"
Renata menatapnya prihatin. "Jadi kamu mau tetap di sini sendirian? Semua penghuni kost pada pulang, loh."
Aluna terkejut. "Serius, Ren?"
"Iya. Aku enggak bohong."
Aluna menghela napas. "Ya udah deh, aku ikut."
Renata tertawa. "Tapi bensin motor aku kamu yang bayar, ya?"
Aluna menatap tajam. "Pelit banget sih kamu!"
"Bercanda, Luna! Santai aja."
Mereka pun tertawa bersama.
---
Malam Hari
Saat jam menunjukkan pukul 10 malam, Renata masih betah di kamar kost Aluna. Mereka menonton sinetron bertema perselingkuhan. Namun, Aluna justru sibuk dengan ponselnya.
"Btw, setelah keluar dari kampus, kamu mau ngapain?" tanya Renata.
"Nikah, dong!"
"Sama Reza?"
"Ya iyalah!" Aluna menjawab santai.
Renata menghela napas. "Ngapain sih sama suami orang? Kamu mau jadi istri kedua?"
"Kenapa tidak? Yang penting uang bulanan lancar, selancar jalan tol!"
Renata menatap sahabatnya dengan prihatin. "Kamu enggak takut kena karma?"
Aluna mengangkat bahu, lalu kembali tersenyum saat membaca pesan dari Reza.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Renata.
"Enggak papa. Oh ya, kayaknya besok aku enggak jadi ikut pulang."
Renata terkejut. "Kenapa? Baru juga bilang mau ikut!"
"Reza ngajak ketemuan besok."
Renata memutar matanya. "Bukannya tadi siang udah ketemu?"
"Iya, tapi mungkin dia kangen sama goyangan aku!" Aluna tertawa.
Renata menatapnya dengan ekspresi tak percaya. "Luna, kamu sadar enggak sih apa yang kamu lakukan?"
"Sudahlah, Ren. Hidup cuma sekali. Yang penting, aku bahagia."
Renata hanya bisa menggeleng, merasa Aluna semakin jauh tenggelam dalam dunianya sendiri.
Bersambung...