Shanna Viarsa Darmawan melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan kehormatannya pada Rivan Andrea Wiratama. Kepercayaannya yang begitu besar setelah tiga tahun berpacaran berakhir dengan pengkhianatan. Rivan meninggalkannya begitu saja, memaksa Shanna menanggung segalanya seorang diri. Namun, di balik luka itu, takdir justru mempertemukannya dengan Damian Alexander Wiratama—paman Rivan, adik kandung dari ibu Rivan, Mega Wiratama.
Di tengah keputusasaan, Damian menjadi satu-satunya harapan Shanna untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi apa yang akan ia temui? Uluran tangan, atau justru penolakan yang semakin menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kontrol Bersama
Damian tidak mengendarai mobilnya sendiri kali ini. Seorang sopir kini mengambil alih kemudi, mengingatkan Shanna bahwa suaminya telah kembali ke kehidupannya yang biasa—sebagai seorang pimpinan perusahaan.
"Selamat datang, Nona. Perkenalkan, saya Banu, sopir Tuan. Nanti Nona juga akan punya sopir pribadi, saudara saya namanya Galih," ujar Banu sopan saat Shanna masuk ke dalam mobil.
Shanna menoleh ke Damian, sedikit bingung. "Kenapa harus pakai sopir, Pak? Saya bisa menyetir sendiri."
Damian yang baru saja masuk dari sisi lain langsung menanggapinya. "Karena kamu istri seorang Damian. Kamu nyonya keluarga Wiratama. Ini budaya keluarga kami."
Shanna mengangguk pelan. "Ah, berarti aku harus banyak belajar, ya?"
"Biasakan ini, Shanna," ujar Damian tegas.
"Ya, aku mengerti, Om," jawab Shanna refleks.
Damian menoleh tajam. "Dan, Shanna... jangan panggil saya 'Om' lagi. Kita sudah menikah."
Shanna terkekeh. "Lalu aku harus panggil apa?"
"Terserah, asal bukan 'Om'. Saya bukan sugar daddy-mu," jawab Damian, nadanya sedikit geli.
Shanna tertawa lebih keras. "Baiklah, suamiku!"
Damian langsung mengerutkan dahi. "Ah, itu sangat kampungan, Shanna," ucapnya dengan ekspresi jijik.
Shanna semakin terbahak melihat wajah Damian. Ia lalu tersenyum jahil sebelum mencoba lagi. "Mas Damian..."
Lelaki itu menghela napas, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. "Ya, lebih baik begitu."
Shanna tersenyum kecil, merasa aneh sekaligus nyaman memanggil nama suaminya begitu saja.
Sepanjang perjalanan, ia memperhatikan jalanan kota yang mulai padat oleh aktivitas pagi. Sesekali ia melirik Damian yang sibuk membaca sesuatu di ponselnya. Laki-laki itu tampak tenang, seolah tak terganggu dengan kehadiran Shanna di sisinya.
Shanna menghela napas pelan. Perasaan canggung itu masih ada, tapi Damian tidak menunjukkan penolakan seperti dulu. Setidaknya, sekarang ia mulai membuka ruang untuknya.
"Mas..." panggil Shanna, memecah keheningan.
"Hm?" Damian menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada layar ponselnya.
"Kita mau langsung ke rumah sakit?"
"Ya. Setelah itu kita mampir sebentar ke kantorku."
Shanna mengangguk. "Baik."
Damian kembali menatap layar ponselnya. Namun, beberapa detik kemudian, ia melirik ke arah Shanna yang tampak diam, memainkan jemarinya sendiri.
"Kamu kenapa?" tanyanya akhirnya.
Shanna tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku hanya masih menyesuaikan diri."
Damian terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kamu tidak perlu terburu-buru. Lakukan semuanya dengan caramu sendiri."
Kata-kata Damian membuat dada Shanna menghangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa laki-laki itu tidak sekadar mengurusnya karena tanggung jawab, tetapi benar-benar memperhitungkan perasaannya.
Mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhenti di depan rumah sakit. Damian segera turun, membuka pintu untuk Shanna, lalu menggenggam tangannya, membantunya keluar dari mobil.
Shanna sedikit terkejut dengan gestur itu, tapi ia membiarkan saja. Sentuhan Damian terasa asing, namun di sisi lain memberikan rasa aman.
Mereka berjalan memasuki rumah sakit, langsung menuju lantai tempat praktik dokter kandungan yang sudah Damian pesan sebelumnya. Shanna duduk di kursi tunggu, sementara Damian berdiri di dekatnya, melipat tangan di dada.
“Mas…” panggil Shanna pelan.
“Hm?”
“Kenapa repot-repot membawa supir dan mobil pribadi untukku?”
Damian menatapnya sekilas. “Aku tidak ingin kamu kelelahan. Apalagi saat ini kamu sedang hamil.”
Shanna menghela napas pelan. “Aku masih bisa mengurus diriku sendiri, Damian.”
“Aku tahu.” Damian menoleh, menatap mata Shanna dengan serius. “Tapi sekarang kamu tidak sendiri.”
Shanna menatapnya balik, lalu menunduk, menyadari maksud Damian.
Ia tidak hanya membawa dirinya sendiri lagi, tapi juga kehidupan lain di dalam tubuhnya.
Sebelum Shanna bisa berkata apa-apa lagi, seorang perawat keluar dari ruangan dokter dan memanggil namanya.
“Shanna Wiratama?”
Shanna tertegun mendengar nama barunya disebut. Butuh beberapa detik baginya untuk sadar bahwa itu adalah namanya sekarang.
Damian menoleh dan mengulurkan tangan. “Ayo.”
Shanna meraih tangan Damian, lalu mereka melangkah masuk ke dalam ruangan dokter bersama.
Di dalam ruangan dokter, seorang wanita paruh baya dengan jas putih tersenyum ramah kepada mereka.
“Silakan duduk, Shanna.”
Shanna duduk di kursi di depan meja dokter, sementara Damian mengambil tempat di sebelahnya.
“Bagaimana kondisi Anda sejauh ini? Ada keluhan yang mengganggu?” tanya dokter dengan nada lembut.
Shanna mengangguk pelan. “Saya sering mual di pagi hari, kadang juga pusing.”
Dokter mencatat di buku medisnya, lalu menatap Shanna dengan perhatian. “Itu wajar untuk kehamilan trimester pertama. Apakah ada gejala lain yang mengkhawatirkan?”
Shanna menggeleng. “Sejauh ini tidak ada.”
“Bagus.” Dokter tersenyum sebelum menatap Damian sekilas. “Suami Anda sangat perhatian, ya? Biasanya banyak ibu hamil yang datang sendiri.”
Shanna terdiam, sementara Damian hanya mengangguk kecil, ekspresinya tetap datar.
“Baik, mari kita lakukan pemeriksaan USG untuk melihat kondisi janinnya.”
Shanna menelan ludah. Ini pertama kalinya ia akan melihat kehidupan kecil di dalam perutnya. Rasa gugup dan haru bercampur menjadi satu.
“Damian…” panggilnya pelan.
“Hm?”
“Temani aku.”
Damian menatapnya, lalu mengangguk. “Tentu.”
Shanna berbaring di tempat tidur periksa, dan dokter mulai mengoleskan gel dingin di perutnya sebelum menggerakkan alat USG di atasnya.
Tak lama, suara detak jantung kecil terdengar di ruangan.
“Ini dia,” kata dokter sambil menunjukkan gambar di layar. “Jantungnya sudah berdetak dengan baik. Bayinya sehat.”
Shanna menatap layar itu dengan mata berkaca-kaca. Itu… anaknya.
Anak yang ada dalam tubuhnya.
Damian, yang berdiri di sampingnya, menatap layar dengan ekspresi sulit ditebak. Namun, Shanna bisa merasakan genggaman tangan Damian di tangannya semakin erat.
Shanna menggigit bibir bawahnya, matanya masih terpaku pada layar USG. Jantung kecil itu berdetak dengan ritme yang stabil, mengisi ruangan dengan suara yang begitu menenangkan sekaligus menggetarkan hatinya.
"Ini... anak kita?" suaranya nyaris seperti bisikan.
Dokter tersenyum. "Ya. Usianya sekitar delapan minggu. Perkembangannya sangat baik."
Shanna mengalihkan pandangannya ke Damian. Pria itu tetap diam, tapi tatapannya pada layar penuh intensitas. Jemarinya yang tadi menggenggam tangan Shanna, kini sedikit mengencang.
"Apa Om—eh, maksudku, Mas," Shanna buru-buru meralat, "ingin bertanya sesuatu ke dokter?"
Damian mengalihkan pandangan padanya, lalu kembali ke dokter. "Ada yang perlu saya lakukan untuk memastikan kesehatan Shanna dan bayi ini?"
Dokter mengangguk. "Pastikan istri Anda cukup istirahat, makan makanan bergizi, dan hindari stres berlebihan. Jika ada keluhan seperti perdarahan atau nyeri hebat, segera periksakan ke dokter. Selain itu, Shanna perlu mulai mengonsumsi vitamin kehamilan secara rutin."
Damian mengangguk tegas. "Baik."
Shanna menatap suaminya dengan perasaan aneh yang sulit dijelaskan. Damian mungkin bukan tipe pria yang ekspresif, tapi di balik sikap dinginnya, ada perhatian yang nyata.
Saat mereka selesai pemeriksaan dan keluar dari ruangan dokter, Damian tiba-tiba berkata, "Mulai hari ini, kamu tidak boleh melewatkan makan. Aku akan memastikan itu."
Shanna terkekeh kecil. "Sejak kapan kamu jadi cerewet soal makanku?"
Damian menoleh, menatapnya dengan ekspresi datar. "Sejak aku tahu ada nyawa lain di dalam tubuhmu."
Jantung Shanna berdegup lebih cepat. Ia tidak tahu harus merasa bagaimana, tapi satu hal yang pasti—pria ini mulai membuatnya kehilangan pertahanan.