Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Mulai Penasaran
“Bisa gak ya, kamu jangan ngomong-ngomong hal kayak gitu. Saya gak kebiasa tahu,” protes Nabila.
“Ya kalau gitu, kamu harus mulai kebiasa,” sarannya. “Udah, cepet kamu siap-siap, supir kita bentar lagi dateng. Aku tunggu di ruang tamu ya.”
Tanpa menunggu jawaban Nabila, Dzaki pun berjalan menuju ruang tamu. Karena mulai merasa lapar, Nabila pun memutuskan untuk mengikuti keinginan Dzaki. Ia bergegas mandi dan bersiap. Beberapa saat kemudian ia menghampiri Dzaki yang menunggunya di ruang tamu.
Dzaki menoleh ke arah Nabila dari ponsel yang sedang dimainkannya, dan kemudian tatapannya langsung seperti terkunci. Ia begitu terpesona pada Nabila yang menggunakan dress berwarna baby peach dengan hijab berwarna senada, membuatnya terkesan manis dan segar.
“Yuk,” ajak Nabila akhirnya saat Dzaki terlihat bengong menatap dirinya.
Dzaki tersipu malu karena Nabila sampai berdandan seperti itu untuk makan malam bersamanya. Ia pun mendekat pada Nabila dan menyodorkan lengannya. “Yuk,” ujarnya.
Nabila mengerutkan dahi lalu menatap ke arah Dzaki. Ia pun menggeleng dan mulai berjalan ke arah luar seorang diri.
Dzaki terkekeh gemas. “Dasar Bila, bisa banget bikin gue gemes kayak gini. Lihat aja, dalam waktu satu bulan gue bakal bikin lo jatuh cinta juga sama gue.”
Nabila dan Dzaki menikmati makanan yang tersaji di depan mereka. Tak ada percakapan, mereka sama-sama fokus menghabiskan makanan mereka masing-masing sambil mendengarkan live music. Setelah selesai, Nabila memanggil pelayan untuk meminta bill.
Belum sempat Nabila menyerahkan kartunya, Dzaki sudah mendahului. “Tapi…” Nabila merasa sedikit keberatan.
“Masa aku ngebiarin istri aku yang bayar,” potong Dzaki.
“Saya tahu kamu punya uang dari orang tua kamu, tapi gak baik kamu hambur-hamburin. Makanan yang kita pesen barusan harganya lumayan loh,” protes Nabila.
“Kata siapa aku bayar pakai uang orang tua aku?” sahut Dzaki. “Aku juga punya uang sendiri, Bila. Kamu gak usah khawatir.”
Lalu pelayan datang membawakan tanda terima. Kemudian mereka pun berlalu meninggalkan restoran dan berjalan menuju mobil.
“Sekarang kita ke tempat selanjutnya,” ucap Dzaki saat baru saja duduk di kursi kursi penumpang.
“Mau kemana lagi? Kenapa gak pulang aja?” tanya Nabila. Ia merasa lelah dan ingin segera pulang untuk beristirahat.
“Masa pulang, ini masih jam delapan. Mending kita jalan-jalan. Atau mungkin kamu pengen cepet-cepet pulang karena…” Dzaki melirik Nabila dengan tatapan nakal.
“Maksud kamu apa?” Nabila menatap galak pada Dzaki. “Kamu itu mikirnya jangan macem-macem. Saya cape pengen cepet tidur makanya saya ngajak buat cepet pulang.”
Dzaki terkekeh gemas. “Sebentar aja, Bila. Aku yakin kamu akan suka di sana.”
Beberapa saat kemudian mereka tiba di sebuah kafe. Kafe itu terletak tepat di pinggir pantai, suasana malam bertambah syahdu dengan adanya live music dan lampu-lampu yang menyala temaram. Dzaki membawa Nabila ke meja paling dekat dengan laut. Tak lama seorang pelayan datang membawakan beberapa cemilan berupa buah, kacang-kacangan, dan finger cakes.
“Ya ampun, kita 'kan baru makan, ini udah dateng lagi aja makanannya,” protes Nabila.
“Ini buah sama kacang almond, kok, sehat cemilannya dan aman dimakan malem-malem gini. Buat nyemil-nyemil aja nemenin kita ngobrol.”
Nabila tak menyahut lagi. Ia mulai mengetahui Dzaki adalah orang yang akan melakukan semuanya sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Jadi percuma saat ia memprotesnya, ia tak akan mendengar.
“Sekarang ceritain tentang keseharian kamu,” pinta Dzaki.
“Kenapa kamu pengen tahu?”
“Ya aku harus tahu, dong. Aku ini suami kamu. Masa suami gak kenal istrinya? Masa juga istri gak kenal suaminya,” ucapnya.
“Saya pengen nanya, kamu bener-bener akan melanjutkan semua ini?”
“Iya. Kenapa enggak?” sahut Dzaki dengan santainya.
“Tapi kenapa?”
“Bila, aku yakin kamu percaya akan takdir yang udah Allah tentukan untuk setiap hamba-Nya. Kenapa kamu gak mikir ini adalah takdir bagi kita? Lagian pernikahan itu 'kan ibadah. Kita udah terlanjur menikah, daripada kepikiran untuk cerai, kenapa kita gak coba jalani? Allah gak suka loh sama perceraian. Aku yakin kamu tahu itu.”
“Ternyata kamu tahu agama juga, mengejutkan,” sindir Nabila teringat Dzaki yang mabuk-mabukan sampai salah masuk kamar.
Dzaki terkekeh. “Iya ngertilah dikit-dikit. Tapi emang masih banyak yang gak ngertinya. Tapi aku mau nyoba buat jadi orang yang lebih baik, orang aku punya istrinya berhijab gini.”
Nabila kembali terheran-heran dengan sikap Dzaki. Seperti yang Gina katakan, Dzaki ini memang sering kali bertingkah ajaib. Namun ia tak bisa menyangkalnya bahwa yang Dzaki katakan memang benar, pernikahan bukan satu hal yang akan terjadi dengan tanpa maksud. Tuhan pasti punya rencananya sendiri.
Baiklah, Nabila akan mencoba untuk menjalani semua ini.
“Okay, kalau gitu saya pengen nanya kenapa kamu masih belum lulus kuliah? Padahal umur kamu udah 25 tahun 'kan?”
Dzaki tersenyum melihat Nabila sudah mulai penasaran akan dirinya. “Karena aku ngerasa gak butuh gelar. Aku udah punya uang, jadi buat apa gelar. Gelar gak akan ngasih aku kerjaan.”
“Kamu emang punya uang, kamu juga punya bisnis ayah kamu yang akan kamu kelola nantinya, tapi apa kamu gak berpikir buat bisa berdiri di kaki kamu sendiri? Punya uang dengan jerih payah sendiri? Itu akan jauh lebih menyenangkan saat kita bisa melakukan sesuatu dengan kemampuan kita sendiri.”
“Kata siapa aku punya uang karena orang tua aku?” tanya Dzaki. Ia mendekat pada Nabila dan berbicara sedikit berbisik. “Aku juga udah punya kerja sendiri loh.”
Nabila bingung sendiri. “Kerja apa?”
“Sebenernya ini rahasia. Orang tua aku juga belum tahu ini. Tapi karena kamu sekarang istri aku, jadi aku kasih tahu. Aku kerja sebagai programmer di satu perusahaan di Jerman.”
Tanpa sadar Nabila tertawa, ia sedikit meremehkan Dzaki.
“Kamu gak percaya?” tanya Dzaki.
Nabila hanya diam, ia bukan tipe orang yang akan mengatakan sesuatu yang menjatuhkan orang lain. Meskipun dalam hati ia ingin sekali berkata, ‘kalau bohong coba deh lebih realistis.’
Dzaki memperlihatkan ponselnya pada Nabila. Ia memperlihatkan sebuah tanda pengenal bahwa ia memang bekerja di perusahaan tersebut dengan sistem remote job.