Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 Berita Duka
Naya segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Ia selalu didampingi Ibu paruh baya yang begitu setia mendampingi dan menolongnya dengan tulus.
Naya merasa cemas dan takut ketika ia dibawa masuk ke ruang UGD. Ia merasa bahwa kondisinya semakin memburuk dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya dan bayinya.
Ibu paruh baya yang telah menemani Naya sejak tadi masih berada di sampingnya, memegang tangannya dan memberikan dukungan emosional.
"Jangan khawatir, Neng. Dokter dan perawat akan melakukan yang terbaik untuk kamu dan bayimu. Kamu hanya perlu beristirahat dan membiarkan mereka bekerja," kata ibu tersebut dengan suara yang lembut dan menenangkan.
"Ibu, aku tidak tahu Ibu siapa. Tapi Ibu begitu baik padaku. Terima kasih Bu sudah mau menolongku,"
"Iya Neng engga apa-apa. Lagi pula sesama manusia memang harus saling menolong. Sudah ya Neng jangan sedih lagi. Sebentar lagi anakmu akan lahir,"
Naya terharu mendengar kata-kata ibu paruh baya tersebut. Ia merasa bahwa ibu tersebut telah menjadi seperti ibu kandungnya sendiri, yang selalu siap membantunya dan mendukungnya. Naya merasa bahwa ia sangat beruntung telah bertemu dengan ibu tersebut, yang telah memberikan kebaikan dan kasih sayang yang tulus kepadanya.
"Aku tidak tahu, bagaimana aku bisa membalas kebaikan Ibu," kata Naya dengan suara yang terharu.
"Tapi aku akan selalu mengingat kebaikan Ibu dan berdoa agar Ibu selalu sehat dan bahagia,"
Naya menatap ibu paruh baya tersebut dengan mata yang berair, merasa sangat berterima kasih atas kebaikan dan kasih sayang yang telah ibu berikan kepadanya.
Ibu paruh baya tersebut tersenyum lembut dan memeluk Naya dengan hangat.
"Aku juga akan selalu mendoakanmu, Neng. Semoga kamu dan bayimu selalu sehat dan bahagia. Sudah ya jangan nangis lagi,"
"Bu...aku tidak kuat jika harus manahan tangis. Aku teringat kejadian itu. Mas Ammar, di mana suamiku Bu? Dia baik-baik saja bukan? Aku ingin melihatnya," Naya membuka selimutnya, beranjak dari brankar.
Ia teringat dengan suaminya yang jatuh dari bus hingga terguling mencium aspal jalan tol.
"Aaawww sakiiit," Naya memegang perutnya yang luar biasa sakit.
"Ya Allah Neng. Kamu jangan kemana-mana dulu!"
Ibu tersebut membimbing Naya naik ke brankar kembali. Naya menurut.
"Neng sebaiknya engga kemana-mana dulu. Neng kan mau melahirkan,"
"Tapi Bu. Aku tidak punya uang untuk melahirkan di rumah sakit ini,"
Bu Nia memandang Naya dengan ekspresi khawatir dan peduli.
"Jangan khawatir, Neng. Aku akan membantu kamu. Aku akan mengurus semuanya. Kamu hanya perlu fokus pada kesehatanmu dan bayimu." Bu Nia berbicara dengan suara yang lembut dan menenangkan, membuat Naya merasa lebih tenang dan percaya diri.
"Ya Allah Bu. Bahkan kita tidak saling kenal. Ibu begitu baik padaku," Naya terharu.
"Kalau begitu kenalan dong. Panggil saja Bu Nia. Kalau tetangga sering memanggilku Nia Manis, beruntung para semut tidak menyukaiku. Karena ibu sudah ada yang punya," ujar Ibu Nia memperkenalkan dirinya.
Naya mendadak tertawa,
"Kok tertawa?"
"Ternyata Bu Nia bisa melucu juga,"
"Syukurlah. Ibu sengaja melakukannya buat menghiburmu. Lalu siapa namamu, Neng?"
Naya tersenyum dan mengucapkan namanya dengan suara yang lembut.
"Namaku Naya, Bu Nia. Senang berkenalan dengan Ibu," Naya berbicara dengan suara yang ramah dan sopan, membuat Bu Nia tersenyum dan merasa senang telah bisa membantu dan menghibur Naya.
"Maaf Bu kalau Bu Nia ada urusan penting, sebaiknya Ibu pergi saja. Aku tidak apa-apa ditinggal sendirian juga," ujarnya ragu.
Sebenarnya Naya takut ditinggal sendiri di tempat asing seperti ini.
Bu Nia memandang Naya dengan ekspresi yang lembut dan peduli.
"Tidak, Neng. Aku tidak akan meninggalkan kamu sendirian di sini. Aku sudah berjanji untuk menemanimu sampai lahiran. Aku tidak akan meninggalkan kamu dalam keadaan seperti ini. Kamu tidak perlu khawatir, aku akan tetap di sini bersamamu." Bu Nia berbicara dengan suara yang tegas dan meyakinkan, membuat Naya merasa lebih tenang dan percaya diri.
Naya memandang Bu Nia dengan mata yang berair, merasa sangat berterima kasih atas kebaikan dan dukungan yang diberikan oleh Bu Nia.
"Terima kasih, Bu Nia. Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Ibu. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa bantuan Ibu." Naya berbicara dengan suara yang terharu, merasa sangat bersyukur telah bertemu dengan Bu Nia.
Dreet
Dreet
Dreet
Ponsel Bu Nia memekik. Bu Nia lansung menekan tombol hijau.
"Ya Hallo!" sapanya.
Bu Nia menatap Naya dengan tajam. Bulir bening lolos dari kelopak matanya.
"Baik Pak, terima kasih informasinya," Bu Nia menutup ponselnya dengan menunduk.
Naya memandang Bu Nia dengan curiga dan khawatir. Ia dapat melihat bahwa Bu Nia sedang mencoba menyembunyikan sesuatu darinya.
"Bu, apa yang terjadi? Informasi apa yang Bu Nia dapatkan?" Naya bertanya dengan suara yang bergetar.
Bu Nia menunduk dan mengusap air matanya sebelum memandang Naya dengan mata yang berair.
"Neng, aku sangat menyesal... Informasi yang aku dapatkan... tentang suamimu..." Bu Nia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk mengatakan kebenaran yang menyakitkan.
"Suamimu, Mas Ammar... tidak ada harapan lagi untuknya, Neng. Ia meninggal di tempat kejadian, tidak dapat diselamatkan lagi." Bu Nia mengucapkan kata-kata tersebut dengan suara yang bergetar, sambil memeluk Naya yang terkejut dan sedih.
Naya merasa seperti dunianya runtuh. Ia tidak percaya bahwa suaminya, Mas Ammar, telah meninggal.
Ia merasa seperti sedang bermimpi buruk yang tidak akan berakhir. Naya menangis dengan keras, memeluk Bu Nia dengan erat, dan merasa seperti kehilangan segalanya.
"Tidak... tidak mungkin... Mas Ammar tidak bisa meninggalkan aku di saat seperti ini... Dia tidak bisa meninggalkan bayi kami..." Naya berbicara dengan suara yang terputus-putus, sambil menangis dengan keras.
Bu Nia memeluk Naya dengan erat, mencoba menenangkan gadis muda yang sedang berduka.
"Neng, aku tahu ini sangat sulit untuk kamu, tapi kamu harus kuat untuk bayi kamu. Mas Ammar pasti ingin kamu bahagia dan melindungi bayi kamu." Bu Nia berbicara dengan suara yang lembut dan penuh empati, mencoba membantu Naya melewati kesedihan yang mendalam.
Naya menangis dengan keras, tetapi perlahan-lahan ia mulai menenangkan dirinya. Ia mengambil napas dalam-dalam dan memandang Bu Nia dengan mata yang berair.
"Bu, aku tidak tahu bagaimana aku bisa melanjutkan hidup tanpa Mas Ammar. Tapi aku tahu aku harus kuat untuk bayi kami. Aku akan melindungi dan merawatnya dengan sepenuh hati." Naya berbicara dengan suara yang masih bergetar, tetapi ada kekuatan dan tekad di dalamnya.
Bu Nia tersenyum lembut dan memeluk Naya dengan erat. "Neng, aku bangga dengan kamu. Kamu sangat kuat dan berani. Aku tahu kamu bisa melalui ini dan menjadi ibu yang baik untuk bayi kamu." Bu Nia berbicara dengan suara yang penuh empati dan dukungan, membuat Naya merasa lebih kuat dan percaya diri.