Sebuah kisah cinta rumit dan menimbulkan banyak pertanyaan yang dapat menyesakan hari nurani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ericka Kano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesama manusia tidak sempurna (2014)
Dan benar saja. Maret 2014 aku dinyatakan hamil anak kedua. Benar-benar mengejutkanku dan Steve. Namun kami tidak bisa menolak. Banyak di luar sana yang berjuang mendapatkan anak tapi tak kunjung diberi. Sedangkan kami berdua, telat KB 3 hari saja langsung isi.
"Kalau sudah melahirkan nanti jangan lupa lagi jadwal KB mu, Ty," ujar Steve sepulang dari pemeriksaan ke dokter kandungan
"Iya, namanya juga sibuk," aku membela diri
"Aku masih muda dan tidak merokok dan minum alkohol, Ty. Kualitas sperma ku masih sangat bagus. Jadi tokcer kalau buang di dalam,"
"Iya tahu. Ini terbukti," kataku sambil memegang perutku
"Karier kamu lagi bagus-bagusnya, Ty. Sayang kalau terkendala di hamil, melahirkan, mengurus anak,"
"Ya sekarang perbagus juga kariermu, Steve. Anak kita sudah mau dua, masa aku saja yang berjuang keras. Kamu juga harus termotivasi untuk bekerja lebih keras lagi,"
"Iya, aku akan bekerja keras, tapi kamu tahu kan penghasilan ku saat ini masih kecil. Jadi bersabar dulu,"
"Kalau kamu merasa penghasilan mu masih kecil, yah tambah usaha kerjamu. Bukan suruh bersabar,"
"Semua ada waktunya, Ty. Tidak bisa cepat-cepat seperti yang kamu inginkan,"
"Bukan yang aku inginkan Steve. Tapi keadaan kita menuntut kamu sebagai kepala keluarga untuk bekerja lebih keras lagi,"
"Kurang keras apa aku bekerja, Ty. Aku juga masih mengurus Vincent kalau mama lagi ada agenda lain. Kurang keras apa. Kamu jangan menuntut gitu dong,"
Yah, beginilah kami jika sudah berhubungan dengan penghasilan. Selalu berdebat tanpa akhir. Steve akan membalikkan keadaan seolah-olah aku yang salah. Aku yang terlalu menuntut. Padahal aku tidak menuntut untuk kepentingan ku sendiri, tetapi untuk masa depan keluarga ini.
Antara aku yang terlalu memaksa atau Steve yang memang tidak punya effort lebih untuk keluarga ini.
"Selamat, Bu. Akhirnya Vincent punya adik," seru Icha ketika aku memberitahukan bahwa aku hamil anak kedua
"Wah berarti suami ibu top markotop. Gampang sekali buat gol," Stella menimpali dengan candaannya
"Apa sih La, kamu lupa, Ibu Christy kan masih muda. Umurnya saja masih tua-an kamu. Ya iyalah gampang gol," ujar Nata
"Oops, iya lupa. Pantas suami ibu ketagihan terus, ibu daun muda, kiw kiw," lagi-lagi Stella bercanda
"Huss, kamu ini," bentak Icha
Aku hanya tertawa mendengar candaan mereka. Ya benar. Tahun ini aku baru akan genap 25 tahun. Mungkin karena aku leader di sini mereka lupa kalau usia mereka sebenarnya lebih tua dibanding aku. Atau wajah ku yang ketuaan mungkin, hiks hiks.
"Bu, Pak Marsel ada menelpon di hp akademik. Katanya ada hubungi di nomor pribadi tapi tidak dijawab," Yuli muncul sambil membawa hp akademik dari dalam ruangan. Dia memang jarang kumpul-kumpul kalau lagi makan siang. Dia suka menyendiri.
"Oiya, hp ku di ruangan," kataku. Yuli menyerahkan hp nya kepadaku
"Halo, Pak," sapa ku
"Ty, ku telpon di nomor kau tak aktif. Ku chatting di telegram juga tidak aktif. Kemana kau rupanya," suara Pak Marsel terdengar gusar
"Gak ke mana-mana Pak, ini lagi makan sama teman-teman. Hp ku di ruanganku," jawabku
"Tadi aku ditelpon sama manager SDM. Kamu sama Triana berangkat dulu ke Bandung lagi. Kalian dipilih mengikuti Diklat khusus Kanit berprestasi. Sebenarnya cuma kamu saja. Namun karena Triana bertepatan baru jadi Kanit dia juga diberangkatkan. Biar kamu ada temannya gitu," Pak Marsel menjelaskan tujuannya menelpon
"Berangkat? Kapan, Pak?," tanyaku agak terkejut
"Besok, Ty. Tiketnya sudah ada. Keberangkatan siang. Nanti Triana ke sini pagi. Biar kalian sama-sama di antar Ewin ke bandara. Hubungi suami kamu dulu dan izin ya,"
"Oiya, baik Pak,"
Panggilan berakhir.
"Ibu berangkat lagi?," Icha memastikan
"Iya, besok, Cha,"
"Enak ya yang jalan-jalan," celetuk Yuli
"Bukan jalan-jalan Yul. Ikut Diklat," aku menekankan
Perkataan Yuli memang kadang tidak enak didengar. Suka menyeletuk tidak melihat situasi. Aku segera masuk ruangan untuk menghubungi Steve.
"Halo,Ty," Steve menjawab panggilan ku
"Steve, besok aku ke Bandung lagi. Diundang Diklat Kanit berprestasi ," ujarku tanpa basa-basi
"Wah bagus dong, Ty. Makin menyala kariermu, Ty," Steve bersemangat
"Bukan masalah menyala. Masalahnya aku hamil muda. Aku masih kena morning sick. Gimana kalau di sana tidak berjalan lancar karena keadaanku," keluhku
"Gak masalah, Ty. Kamu tinggal minum obat dari dokter. Pasti mual mu langsung berkurang," bantah Steve
"Bukan cuma mual Steve, bagaimana kalau di sana aku bawaannya bad mood, ngantuk sementara presentasi...,"
"Jangan dulu berpikir begitu,Ty. Kamu pasti bisa. Kamu itu kuat. Kamu bisa mengatasi morning sick mu. Ini kesempatan keluarga kita untuk lebih maju, Ty,"
"Kenapa harus aku yang punya tanggung jawab memajukan keluarga ini Steve? Kenapa bukan kamu," aku kesal
"Nah mulai lagi, kan. Kesempatannya sekarang ada di kamu, Ty. Yah kamu yang harus berjuang. Gunakan kesempatan ini,"
Panggilan berakhir.
Selalu dan selalu.
Aku memegang kepalaku. Menarik napas panjang. Ini jalan yang kupilih untuk kutempuh. Kalau aku tahu jalannya begini, mungkin aku akan berpikir berkali-kali lipat untuk menempuh jalan ini.
Terdengar pintu ruanganku diketuk.
"Riva, Bu," suara staf marketingku terdengar
"Masuk, Riv,"
Wajahnya lesu dan agak pucat.
"Kamu udah balik, Riv? Gimana marketing hari ini?," tanyaku sambil tanganku mempersilahkan Riva untuk duduk
"Aman, Bu. Tadi ada 3 sekolah yang bisa kita lobi untuk seminar orang tua," jawabnya
"Kamu kenapa? Sakit?," wajah Riva terlihat pucat
Dia mengangkat wajahnya, menatapku dengN berkaca-kaca.
"Bu, sepertinya aku hamil,"
Sontak aku terdiam sejenak.
"Sudah satu Minggu ini kepalaku pusing, aku mual dan muntah-muntah di pagi hari,"
Aku menelan ludahku dan mencoba berbicara dengan tenang.
"Kamu belum menikah, Riv. Siapa yang menghamilimu? pacarmu itu?,"
Riva mengangguk.
"Jordan ayah anak ini, Bu," jawab Riva pelan
"Jordan tahu kamu hamil?,"
Riva mengangguk.
"Apa tanggapannya?,"
"Dia bilang kami belum siap. Gugurkan saja dulu," suara Riva hampir tak terdengar
Aku menarik napas lagi.
"Tapi itu dosa, Riv. Anak ini tidak bersalah. Kalian yang bersalah," aku mengatur nada suaraku supaya tetap tenang dan tidak menyudutkan Riva.
"Saya tahu, Bu. Tapi saya takut. Jordan menyuruhku untuk istirahat dulu dari pekerjaan sampai saya pulih,"
"Hmm, cari kerja itu sulit loh, Riv. Gini aja, kamu ambil cuti beberapa hari. Istirahat dulu. Atau kamu bisa pulang kampung dulu. Lebih cerita ke orang tuamu dan pikirkan matang-matang soal menggugurkan itu. Saya yakin orang tuamu juga gak bakalan setuju,"
"Iya, Bu. Saya memang mau ajukan izin pulang kampung,"
"Ambil form cuti sama Icha. Isi dengan baik. Bawa ke sini akan saya ACC,"
Riva berdiri dan meraih tanganku. Sambil mencium tanganku.
"Makasih banyak, Bu,"
"Eh, gak usah cium tangan Riv," aku menarik tanganku
Aku memahami apa yang dia alami karena aku juga mengalami itu. Dia memang salah tapi menghakimi bukan jalan keluar. Bukan mendukung apa yang dia perbuat, tetapi memberi jalan keluar sebagai sesama manusia yang tidak sempurna.