NovelToon NovelToon
JANJI Yusuf Dan Sari

JANJI Yusuf Dan Sari

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / nikahmuda / spiritual / Pengantin Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: David Purnama

Kisah asmara antara Yusuf seorang pemuda yang sedang dalam pencarian jati dirinya dengan Sari sang bunga desa. Lika-liku perjuangan kehidupan dan jalan yang telah digariskan mempertemukan mereka. Novel ini bercerita tentang cinta, persahabatan, kondisi sosial dan semangat pantang menyerah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon David Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6 KEMBANG DESA

Hari itu benar-benar mengejutkanku. Ternyata apa yang diceritakan Yusuf semalam bukanlah khayalannya yang berlebih-lebihan. Sejak aku melangkahkan kakiku keluar dari rumah sayup-sayup terdengar pembicaraan dari orang-orang. Sebenarnya itu adalah rutinitas yang biasa terjadi di setiap harinya ibu dan ibu itu membicarakan ibu yang lainnya atau pun sebaliknya. Yang membuat kupingku meruncing adalah ketika kusadari bahwasanya apa yang menjadi topik pembahasan mereka adalah hal yang sama. Hal itu terus kudengarkan sejak perjalananku dari rumah menuju ke sungai.

Sari benar-benar menjadi primadona desa dalam waktu yang singkat karena kepulangannya.

“Iya saya hampir pangling.”

“Cantik ya, kulitnya putih, bersih”.

“Itu namanya sawo matang bukan putih.”

“Tingginya seperti bapaknya.”

“Senyumnya.”

Itu hanya sebagian kecil dari kata-kata yang kudengar, pujian-pujian mengenai anak semata wayang pak Dul yang kini sudah menjadi gadis remaja yang bagaikan magnet menarik perhatian seluruh warga Tunggal.

Cantik mempunyai arti sendiri bagi setiap orang yang ingin menafsirkannya. Tidak ada batasan-batasan tertentu mengenai seseorang perempuan itu dikatakan cantik atau tidak cantik. Tapi kali ini aku sepenuhnya setuju dengan Yusuf dan juga para warga desa lainnya Sari memanglah seperti sosok yang belum pernah kami lihat selama ini. Tidak hanya postur tubuhnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak perempuan lain di desa dan juga rambut hitam legam panjang yang banyak orang mengatakan mirip dengan rambut milik ibunya. Wajahnya yang teduh dipandang. Matanya yang jujur.

Sikap ramahnya yang lembut dan juga kebaikan hatinya. Bicaranya santun dan juga perilakunya yang sopan. Inilah yang membuat orang-orang tidak hanya mengaguminya tapi juga ada rasa segan dan juga rasa kasih sayang terhadapnya. Hal in juga mematahkan stigma jika seorang dari desa pindah dan menetap di kota pasti pulangnya sudah hilang jati dirinya terbawa-bawa gaya hidup norma-norma kehidupan kota yang cenderung bebas dalam pergaulannya.

BERMEKARAN

Sekarang aku jadi sering bangun lebih pagi. Hampir setiap pagi aku selalu berangkat ke surau. Nenekku pun keheranan katanya aku sekarang lebih bersemangat. Dulu sekeras apapaun suara ayam jago aku abaikan tidak bisa mengusikku. Bahkan dengan adanya perubahan ini nenekku sempat curiga dan menanyai yang hal yang bukan-bukan. Apakah aku memakan tanaman liar dari hutan? Tentu saja tidak. Tapi memang seperti itulah ciri khas simbah terkadang aku dibuat bertanya-tanya dengan sikapnya apakah dia hanya bercanda denganku atau dia sedang bersungguh-sungguh.

Setelah beberapa hari ia akhirnya sadar dan malah menertawaiku. Dia memergokiku sedang menyisir rambutku yang sudah mulai memanjang menyentuh bahu. Awal mulanya nenek heran sebelum akhirnya ia tertawa puas. “Ha ha ha ha... Yusuf Yusuf”, tawanya yang khas dengan mempertontonkan beberapa giginya yang masih tersisa membuatku tersenyum kecut. Aku paham maksudnya kenapa nenek tertawa. Dari dulu aku aku biasanya hanya menggunakan jari-jariku yang sudah kubasahi untuk merapikan rambutku tentu saja nenek jadi tertawa ketika melihatku menggunakan serit kepunyaannya.

Berbeda lagi dengan tetanggaku yang juga kawan baikku. Walaupun umurku lebih tua darinya tapi kami cukup dekat dan juga cocok satu sama lain. Dia lugu, karena itulah aku sering mengerjainya. Mukanya akan terlihat musam jika aku berhasil menyulut sedikit emosinya. Tapi dibalik itu semua dia juga adalah pendengar yang baik dan aku pun senang dengan kehadirannya di keseharianku.

Jika nenekku terheran-heran melihat sedikit demi sedikit perubahanku tidak dengan temanku ini, sepertinya dia memahaminya apalagi setelah di malam sebelumnya aku bercerita padanya. Tapi aku juga tidak begitu tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Meskipun ada raut senang tersenyum diwajahnya tapi juga ada raut yang tertahan di senyum sahabatku itu.

Siang itu aku sempat terkejut saat aku pertama melihatnya. Tak terasa waktu begitu cepatnya berlalu. Aku tertegun menatapnya ketika sapaannya akhirnya menyadarkan kebisuanku.

“Ini Sari mas”, katanya.

“Ini ayam”, jawabku spontan yang membuatnya sedikit tersipu.

Kemunculannya dari dalam rumahnya yang redup cahaya menuju ke pintu depan rumah dimana aku menunggu berteman ayam yang kubawa.

“Oh Sari, kapan pulang? Mbak Sri ada? Ibu maksudnya. Ini aku bawa ayam pesanannya?”, entah kenapa pertanyaan-pertanyaan itu keluar dengan begitu cepatnya dan gugup.

“Iya mas. Sebentar aku panggilkan ibu?”

Hari itulah pertama kalinya aku kembali berjumpa dengan Sari. Mereka sekarang sudah besar. Sari, Sapto dan yang lainnya yang dulu kerap mengikutiku untuk sekedar bermain dan untukku mengawasi mereka. Begitu juga denganku. Lihatlah ternyata benar juga kata Sapto. Aku sudah cukup tua katanya jika melihat teman-teman sebayaku di desa yang sedang pergi merantau ataupun sudah berkeluarga.

Harapan. Itulah kata terakhir yang kuucapkan pada Sapto di malam setelah aku bercerita tentang pertemuanku dengan Sari. Aku jadi teringat perkataan Pak Dul tentang apa itu harapan menurut cerita pisang gorengnya. Hampir semua orang desa terutama anak-anak muda pernah diceramahinya tentang harapan ini. Sebagian orang termasuk aku hanya menganggapnya sebagai bualan orang tua yang gemar berbicara dan menceramahi.

Malam harinya setelah aku bertemu dengan Sari terasa menjadi begitu panjang. Entah apa yang menyebabkan aku sulit untuk memejamkan mata. Apakah karena secangkir kopi yang tadi kuhabiskan dengan Sapto? Tentu saja itu tidak akan membuatku tetap terjaga hingga malam yang selarut ini.

Kenapa aku terus memikirkannya? Tadi aku sudah menceritakannya. Biasanya jika sudah kuceritakan maka akan berlalu begitu saja. Senyumnya. Aku tersenyum. Siapa yang menyangka dia akan tumbuh menjadi seperti ini? Wajahnya ayu, semua orang pasti akan sependapat denganku. Caranya berbicara begitu syahdu untuk didengarkan. Pandangan matanya begitu dalam.

Tidak hanya memikirkannya tapi dadaku juga berdebar kencang. Seperti ada tenaga yang luar biasa mengisi diriku. Apakah ini yang dinamakan menyukai seseorang? Tapi aku hanya baru bertemu dengannya tadi setelah sekian lama dan itu juga hanya beberapa saat. Apakah ini termasuk harapan?

***

“Sudah seminggu yang lalu mas”, suara Sari mengagetkanku ketika aku sedang membersihkan kandang milik Pak Dul. Aku memang diminta mbak Sri untuk membersihkan kandang miliknya ketika kemarin mengantarkan ayam pesanannya. Memang biasanya Pak Dul suka menyuruh orang kalau dia tidak punya waktu karena kesibukannya.

“Seminggu apanya?”, tanyaku kepada Sari.

“Kemarinkan mas Yusuf tanya kapan Sari pulang.”

“Oh iya ya. Habis kemarin aku gugup lihat Sari. Pangling.”

“Kenapa gugup mas?”

“Ya itu. Karena pangling jadi gugup.”, Sari menahan tawa karena jawaban asalku ini.

“Itu mas disuruh ibu istirahat dulu. Ngopi dulu”.

“Iya makasih. Ini sebentar lagi sudah mau selesai. Aku rampungkan dulu ya. Nanggung.”

“Iya mas.”

Setelah aku selesai membersihkan kandang aku pun menuju ke teras depan rumah pak Dul di sana sudah ada segelas kopi hitam dan juga tempe goreng yang segera aku nikmati. Kopinya pas, tempenya juga masih hangat.

“Enak mas?”, tanya Sari yang muncul dan berdiri di depan pintu.

“Iya enak. Sari sekarang sudah pinter masak ya”, sanjungku.

“Enak ya gorengannya. Dihabiskan mas. Itu ibu yang buat.”

Aku menahan malu mendengar jawaban Sari.

“Ayo mas pindah ke dalam. Makan dulu sudah disiapkan.”

Sebenarnya aku belum terlalu lapar. Tapi tidak sopan saranya menolak tawaran orang apalagi sudah disediakan.

Ketika awal-awal bertemu dengan Sari angan-angan begitu menggebu-gebu. Tetapi setelah bisa melihatnya dari dekat dan berbicara dengannya timbullah pertanyaan-pertanyaan di benakku.

Sari benar-benar berbeda dengan perempuan lainnya di desa ini. Meskipun kami semua menyukainya tapi kami semua termasuk aku juga menaruh segan kepada bunga desa kami ini. Rasa yang kami miliki untuknya adalah rasa kasih sayang dan melindungi.

Sari sepantasnya bersama dengan orang yang mampu, yang sejajar dengannya dan tentunya sanggup membahagiakannya. Siapa kami ini? Siapa aku?

Suatu hari aku dan Sapto diajak Pak Dul ke kota untuk mengambil barang-barang Sari yang masih tertinggal di rumah kerabatnya yang menjadi tempat tinggal Sari selama bersekolah di kota dulu. Dari desa kami berangkat berjalan kaki menuju jalan besar kurang lebih menempuh waktu setengah jam baru setelah itu kami bisa menemukan kendaraan umum atau pun truk pengangkut barang jika kami beruntung untuk bisa membawa kami sampai ke kecamatan. Jika saja waktu itu musim panen tentu saja kami tidak perlu repot untuk berjalan kaki karena setiap musim panen desa kami pasti didatangi mobil-mobil pikup dan juga para juragan untuk membeli hasil panen dari warga desa yang bisa kami tumpangi setidaknya sampai ke pasar.

Ternyata keberangkatan kami di awal pagi tidaklah sia-sia. Tidak berapa lama setelah dijalan besar kami mendapat angkot yang bisa membawa kami ke kota. Memerlukan hampir setengah jam akhirnya kami turun di pasar. Waktu yang masih pagi menyerukan ramainya pasar kota ini.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Dari pasar kami hanya perlu untuk berjalan kurang dari lima menit untuk sampai di tempat kediaman kerabat pak Dul. Kami pun juga diperlihatkan dimana Sari dan penduduk di kota ini bersekolah. Di sana ada sekolah yang bangunannya cukup besar yang mencakup tiga jenjang pendidikan sekaligus dari mulai sekolah dasar hingga SMU dan untuk alasan itulah Pak Dul menyekolahkan Sari di sini. Ia merasa bersyukur tidak harus mengirim putri kesayangannya untuk jauh-jauh mencari ilmu hingga ke kota besar.

Meskipun kami menyebutnya kota atau pun juga orang-orang menyebutkan dengan sebutan kecamatan sebenarnya kota ini masihlah kota dengan skala yang kecil. Bagiku dan Sapto ini bukanlah pertama kalinya kami pergi ke kota. Biasanya di masa panen kami pemuda-pemuda desa cukup sering untuk pergi ke kota dengan menumpang truk pembawa hasil panen hanya untuk sekedar berjalan-jalan dan untuk kembali menceritakannya kepada teman-teman kami di desa setelahnya kami pulang.

Benar kata Pak Dul tidak membutuhkan waktu lama akhirnyan kami sampai di depan rumah berwarna kuning dengan pagar kayu setinggi dada di mana kami kini berdiri.

“Assalamualaikum”, sapa pak Dul.

“Waalaikumussalam. Masuk Dul”, tampak seseorang yang sedang duduk di kursi rotan di teras rumah menjawab salam Pak Dul sekaligus menyuruh kami masuk melewati pintu pagar yang memang telah dibiarkan terbuka.

Pak Dul pun menghampiri sosok pria tua berambut putih itu dan menyalaminya diikuti aku dengan Sapto. Jika aku perhatikan mimik wajahnya mirip dengan Pak Dul dengan hiasan jambang dan juga kumis yang sudah memutih. Perbedaan yang mencolok ialah postur tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari Pak Dul dan juga perutnya yang lebih buncit.

“Kamu ini Dul Dul, sukanya menyusahkan diri sendiri. Sri sama Sari tidak ikut sekalian?”

“Tidak mas. Ini saya ajak Yusuf sama Sapto buat bantu-bantu membawa barang”. Baru kali ini aku mendengar nada bicara Pak Dul begitu kalem tidak seperti yang selama ini kami kenal yang selalu lantang dan menggebu-gebu.

Kami pun dipersilahkan masuk ke rumahnya.

“Ayo diminum dulu. Sambil istirahat dulu kalian pasti capai setelah perjalanan jauh.”

“Sudah siap-siap mas. Memangnya mas tahu kalau aku mau kemari?”

“Batinku ini kuat Dul. Ayo sambil dimakan jajanannya. Masih anget.”

Tidak hanya Pak Dul, aku dan Sapto pun cukup terkejut ternyata dimeja tamu sudah tersedia tiga gelas teh dan juga jajanan-jajanan pasar. Padahal pak Dul ketika terakhir kali datang ke sini tidak pernah bilang bahwa hari ini adalah hari dimana dia akan datang untuk mengambil barang-barang Sari yang masih belum dibawa dari rumah Pak Dhe nya itu selama ia tinggal di sini.

“Simbahmu sehat kan Suf?”

“Iya Pak Dhe. Alhamdulillah sehat.”

“Simbahmu itu termasuk luar biasa. Tidak hanya kuat tapi juga pemberani. Dulu zaman aku masih sering main ke Tunggal aku suka ngikut simbahmu kalau masuk-masuk ke hutan.”

“Kalau kamu aku benar-benar pangling Sapto. Aku dulu lihat kamu masih digendong sekarang sudah sebesar ini. Kamu Sapto anaknya pak Yanto kan?”

“Iya Pak Dhe.”

“Bapakmu masih di Kelapa Sawit? Sebentar lagi kamu nyusul pasti.”

Itulah basa-basi kami dengan Pak Dhe kakaknya pak Dul yang ternyata beliau sedikit-sedikit masih mengenali kami.

“Kamu sudah bicara sama Sari Dul?”

“Belum mas. Dia baru saja selesai sekolah biarkanlah Sari ngaso dulu. Sepertinya Sari juga belum terlalu tertarik. Belum pernah saya dengar Sari membahas hal semacam itu dengan ibunya apalagi dengan saya.”

“Saya ke tempatnya Busro dulu ya mas. Tadi saya lewat di pasar belum buka sekarang sudah hampir jam sepuluh pasti sekarang rukonya sudah buka.”

“Kamu masih mau ngajak Busro untuk buka usaha di Tunggal?”

“Iya mas, pelan-pelan. Nanti akhirnya dia pasti bersedia buka ruko di Tunggal”.

“Ya sudah sana Dul. Kalau bisa sekalian kamu tanyakan soal Bambang.”

“Ya saya lihat nanti dulu mas. Aku tinggal dulu ya Suf, To. Kalian santai dulu di sini nemenin masku.”

Setelah berpamitan dengan kami Pak Dul pun menuju ke tempat sahabat karibnya yang bernama Busro. Pak Busro sendiri merupakan salah satu juragan yang telah punya nama di sini begitupun di desa Tunggal. Dia adalah salah satu pembeli besar dan rukonya pun terkenal sebagai salah satu yang terbesar di pasar.

“Dul itu anaknya benar-benar keras kepala. Ngeyel. Dulu aku dan bapak sudah memperingatkannya bahwasanya program urbanisasi, transmigrasi itu tidak semanis apa yang dijanjikan. Butuh proses yang lama. Tapi Dul kekeh tetap mau ambil bagian dalam program itu. Aku sudah sering menawarinya untuk kembali tinggal dirumah ini tapi dia bersikeras dengan kehidupannya yang sekarang.”

“Oya Suf, ngomong-ngomong kamu belum punya niatan untuk menikah? Umur kamu berapa Suf”?

“Saya sudah dua puluh lima pak Dhe.”

“Oya sudah waktunya itu Suf.”

“Iya Pak Dhe”, pertanyaan semacam inilah yang benar-benar membuatku menjadi malas.

“Kamu tahu Busro temannya Dul kan? Yang sekarang jadi juragan tersukses di kota ini. Busro itu punya anak namanya Bambang. Bambang ini anaknya baik, rajin. Dia sekarang bantu-bantu bapaknya di ruko. Dia yang sering mengantar sayur-sayuran dan juga hasil panen lainnya ke kota besar.”

“Bambang anaknya Busro ini yang aku sarankan ke Dul untuk dijodohkan, dikawinkan dengan Sari. Cocokkan? Dul dan Busro sudah kenal dari kecil, mereka akrab. Bambang anaknya baik, ibadahnya juga rajin, dan lagi anaknya pekerja keras. Nah ini sekalian buat kalian tahu Suf, Sapto. Perempuan itu, apalagi yang sudah memasuki usia kawin, bukan lagi tentang tampan dan tidaknya seorang laki-laki yang menjadi penilaiannya. Perempuan itu suka dengan laki-laki yang pekerja keras dan juga bertanggungjawab. Kalau kesehariannya hanya nongkrong saja mana ada perempuan yang mau mempercayainya.”

Kalimat terakhir itu entah sengaja dimaksudkan untuk menyindirku dan Sapto aku tidak tahu. Yang jelas kalimat itu benar-benar menampar kami. Akupun bisa lihat dari raut muka Sapto. Tapi pikirku mungkin itulah batasannya orang-orang berada seperti keluarga Pak Dul ini.

“Sari. Siapa yang tidak mau dengan Sari? Ya atau tidak Suf? Sapto? Hahahaha....”

Aku dan Sapto pun ikut tertawa. Memang tepat sekali yang dikatakan Pak Dhe. Siapa yang akan menolak Sari?

“Oya jangan bilang-bilang ke Dul ya. Waktu Sari di sini selama sekolah dulu aku melihatnya dia juga sudah cukup akrab dengan Bambang. Perasaanku mereka berdua juga suka satu sama lain.”

Cerita Pak Dhe inilah yang menggangguku. Meskipun aku bukan siapa-siapa Sari dan aku tahu siapa aku. Tapi mendengar Sari dekat dan bahkan akan dijodohkan hati ini merasa resah. Memang aneh rasanya.

Setelah Pak Dul kembali dari kunjungan ke tempat sahabat karibnya dia sempat memberi kabar kepada kami bahwasanya beberapa bulan lagi listrik sudah akan di pasang di kota ini yang berarti itu pun kabar gembira bagi kami warga Tunggal karena setelah kota ini dipasang listrik tentunya selanjutnya adalah giliran desa-desa di sekitarnya untuk juga mendapatkan pemasangan listrik.

Akhirnya setelah selesai dengan jamuan makan siang dan bercakap-cakap sebentar kami pun pamit untuk kembali ke Tunggal. Kami pun juga membawa barang bawaan yang memang menjadi tujuan kami untuk datang ke sini. Sebenarnya barang-barang yang tertinggal itu tidaklah terlalu banyak. Atau lantaran inilah pak Dul mengajakku dan Sapto supaya bisa meringankan barang bawaan. Coba saja kalau hanya satu orang yang diajak Pak Dul pasti bawaannya untuk satu orang saja akan terasa lebih berat.

Dari pasar kami naik angkot dan turun dijalan besar di depan simpang jalan yang menuju ke desa Tunggal. Pantaslah belum ada jurusan angkutan yang mau masuk ke desa kami karena memang jalannya buntu dan juga untuk hari-hari biasa tidak banyak yang menggunakan jasa angkutan untuk pulang pergi ke Tunggal hanya di waktu tertentu saja seperti pasaran atau saat panen.

Kami bertiga pun melanjutkan perjalan dengan berjalan kaki dan sungguh beruntung bagi kami dimana siang itu hawanya sejuk dan tidak panas meskipun langit seperti mendung tapi tidaklah juga turun hujan.

Malam harinya setelah menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan seharusnya aku bisa cepat tertidur dengan pulas. Tapi dari perjalanan mengantar Pak Dul tadi ada satu hal yang masih kupikirkan. Tentang Sari yang rencananya akan dijodohkan dengan seorang laki-laki bernama Bambang yang merupakan anak dari sahabat Pak Dul. Benar-benar gambaran pasangan yang serasi. Bahkan Pak Dhe, kakaknya Pak Dul terlihat sangat antusias ketika menceritakan ini kepada kami. Jika Sapto mengangguk-angguk tanda setuju dengan pernyataan yang diberikan Pak Dhe aku pun sebernanya tidak ada permasalahan toh siapa juga aku ataupun Sapto dalam persoalan itu kami hanyalah sebagai pendengar dimana Pak Dhe ingin mengutarakan rasa senang akan gagasannya.

Ada rasa resah dan penolakkan dari diriku. Seperti aku tidak terima dengan rencana perjodohan Sari dan seseorang bernama Bambang itu. Aku melihat Pak Dul tidak terlalu tertarik dengan pembahasan Pak Dhe soal perjodohan putrinya dengan anak sahabatnya. Aku yakin Pak Dul termasuk orang yang tidak kaku dan tidak secara mutlak mengamini perjodohan-perjodohan seperti ini. Menurut penilaianku Pak Dul pasti orang yang terbuka yang tidak akan memaksa kehendak apalagi untuk kebahagiaan anaknya sendiri. Siang itu Pak Dul justru begitu bersemangat membahas masalah lain seperti bagaimana perkembangan pasar, menanyakan harga-harga bahan-bahan pokok dan yang paling membuatnya gembira adalah adanya kabar tentang listrik yang akan segera dipasang. Tapi menurutnya itupun masih jauh-jauh hari. Jika kabar yang beredar listrik akan mulai dipasang dalam beberapa bulan ke depan Pak Dul meyakini minimal satu atau dua tahun lagi hal itu akan terealisasikan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!