Sinta tidak tahan lagi dengan perlakuan tidak baik dan semena-mena oleh Ayah dan keluarganya, terlebih mereka selalu menghina Ibunya.
Sinta yang awalnya diam saja, sekarang tidak lagi. Dia akan membalas sakit hati Ibu nya kepada orang-orang yang sudah menolehkan luka di hati Ibu.
Apa yang akan Sinta lakukan untuk membalaskan luka sakit hati sang Ibu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 7 Mengambil Barang Ibu yang di rampas Nenek
Shuutt.
"Kamu jangan berisik Sinta, nanti kalau berisik kita bakalan ketahuan dan Nenek mu bisa denger dan datang kemari. Ibu sedang mencari barang berharga milik Ibu yang di rampas oleh Nenek mu. Sekarang kamu bantu cari sebelum Nenek mu datang." bisikan Ibu berbisik pelan kepada ku.
"Barang berharga apa maksud Ibu? Oke akan Sinta bantu cari. Tapi barang apa yang sedang kita cari biar lebih mudah menemukannya." tanyaku.
"Perhiasan, Nak. Tolong bantu cari kotak perhiasan merah dengan tanda "SA" di bagian atas kotak itu. Itu merupakan peninggalan Nenek mu Sri yang telah meninggal untuk Ibu, karena Nenek mu tidak suka melihat Ibu memakai perhiasan, akhirnya ia pun merampas paksa perhiasan Ibu waktu kamu kecil dulu." Sahut Ibu menjelaskan dengan suara pelan.
"Apa ? terus apa yang di lakukan Ayah saat melihat perhiasan Ibu, Nenek rampas?." ucapku mulai kesal.
"Shuut, Ayahmu diam saja justru memaksa Ibu memberikan semua milik Ibu pada Nenek itu beserta kotak perhiasannya. Padahal perhiasan itu satu-satu nya peninggalan Nenek Sri dulu untuk Ibu, tidak ada sangkut paut nya dengan Ayahmu, itu sepenuhnya hak Ibu." balas Ibu sembari mencubitku supaya menurunkan nada suara ku.
"Baiklah, Sinta bantu cari. Tpi kenapa baru sekarang Ibu ambil, kenapa ngga dari dulu?." tanyaku.
"Udah lah jangan dulu banyak tanya, keburu Nenek mu itu datang. Nah ini dia yang Ibu cari. Ayo Nak kita keluar perhiasan Ibu sudah ketemu!." pungkas Ibu lalu menarik ku untuk Ikut keluar kamar.
Aku pun mengikuti Ibu dan menyuruh nya untuk keluar dari pintu depan saja karena tadi aku yang melihat Nenek ada di belakang rumah. Aku lega tadi Nenek sihir itu tidak melihat ku masuk ke dalam rumah. Ibu berhasil keluar rumah.
Sementara aku yang masih di dalam, mendengar suara yang memanggil Nenek.
"Bu, Ibu."
"Aargh, itu suara Ayahku. Dia pasti akan masuk lewat pintu depan, gimana nih." gumamku dalam hati.
Aku tidak ingin Ayah melihatku, aku malas beradu argumen dengan Ayah. Ayah pasti akan banyak pertanyaan kalau sampai melihatku masuk ke dalam rumah Nenek.
Krieet...
Pintu depan perlahan terbuka, aku langsung bersembunyi di belakang sofa besar ruang tamu yang berada dekat pintu depan rumah seraya memasukkan kotak perhiasan Ibu ke dalam tas sekolah ku.
"Bu, Ibu kok di rumah pada sepi? Ibu kemana ya?." ucap Ayahku seraya berjalan mencari Nenek.
Aku pun sedikit mengintip dari balik sofa, ku lihat Ayah sudah berjalan ke arah dapur yang berdekatan dengan kamar Nenek dan juga pintu belakang rumah. Dengan sigap aku berjalan keluar dengan perlahan supaya tidak ketahuan oleh Ayah.
Krieet.
Aku akhirnya berhasil keluar lewat pintu depan tanpa di ketahui oleh Ayah atau Nenek ku, sembari celingak-celinguk melihat ke dalam rumah. Saat menutup kembali pintu rumah.
Tit.
Tit.
Titittt.
Tak sengaja aku menyenggol motor milik Ayahku seketika membuat alarm motor itu berbunyi.
"Siapa itu di depan?." teriak Ayahku memanggil.
Emang dasar kelakuan Ayahku kalau parkir motor suka sembarangan, main taro seenak jidat ngalangin jalan, nggak lihat apa lahan parkir luas. Mana alarm motor nya sensitif sekali di senggol dikit aja bunyi.
"Meong, meong," Aku meniru kan suara kucing agar Ayah tidak curiga.
"Oh kucing, dasar motor aneh di tabrak kucing aja main bunyi-bunyi aja alarm nya, buta kali tuh motor ngga bisa bedain mana maling atau kucing. Kalau tau gitu mending kemarin beli motor Nam*x aja." ucap Ayah menggerutu.
"Dasar aneh malah mencak-mencak sendiri nggak jelas." gumamku sembari tersenyum lega karena berhasil mengelabui keberadaan diriku dari Ayah.
.
.
.
Aku masuk ke dalam rumah sudah ada Bayu di ruang tamu.
"Bayu kenapa kamu di luar, bukannya tiduran aja di kamar?." tanyaku begitu masuk ke rumah sudah ada Bayu yang sedang menonton televisi.
"Aku bosan Kak, di kamar terus."
"Oh ya sudah, dimana Ibu?." tanyaku begitu tak melihat Ibu bersama Bayu. Tadi saat keluar dari rumah Nenek, Ibu sudah cepat pergi sebelum kedatangan Ayah.
"Di kamar mungkin, aku kesel sama Ibu. Masih mau aja di suruh ke rumah Nenek." gerutu Bayu.
"Kamu nggak tahu aja alasan Ibu ke sana." jawabku sembari melepaskan tas lalu duduk di samping Bayu.
Rasanya tubuh ku sangat lelah sekali, setelah sekolah sambil berjualan. Lalu aksi tadi yang sangat menegangkan membuat tubuhku capek.
"Emang apa yang Ibu lakukan di sana?." tanya Bayu penasaran.
Tiba-tiba Ibu keluar dari kamar. Kami berdua menoleh ke arahnya.
"Kamu nggak ketahuan kan, Sin?." tanya Ibu kemudian duduk di sofa depan ku.
"Enggak lah, Bu. Sinta jago kalau main detektif-detektif hehehe." jawabku terkekeh.
"Apa yang Ibu dan Kak Sinta lakukan di rumah Nenek?."
"Ibu mengambil perhiasan yang di rampas Nenek." Jawab ku sekenanya lalu memakan gorengan yang ada di meja.
"Emang Ibu punya perhiasan? kok aku nggak tahu?." tanya Bayu.
Pertanyaan Bayu sama dengan apa yang aku tanyakan pada Ibu, karena selama ini kami berdua tidak pernah melihat Ibu memakai perhiasan, satu-satu nya perhiasan Ibu yang Ibu pakai hanya cincin kawin saja.
Ayah boro-boro membelikan Ibu perhiasan, wong ngasih untuk kebutuhan dapur aja pas-pasan. Itulah yang sering jadi bahan curhat Ibu kepada ku. Padahal untuk ukuran manager sebuah perusahaan, Ayah pasti mampu membelikan Ibu perhiasan.
Sudah lah emang dasar nya, Ayah itu pelit sama keluarga.
"Ibu punya perhiasan warisan dari Nenek Sri, Nenek kamu merampas nya waktu kalian masih kecil. Pantas saja kalian tidak akan ingat." Jawab Ibu.
Aku memperbaiki duduk dan menatap Ibu "Bu aku punya kabar baik." ucapku.
"Apa itu?." tanya Ibu penasaran lalu aku mengeluarkan uang hasil jualan hari ini pada Ibu.
"Masya allah banyak sekali, Nak." Ibu seperti tidak percaya dengan apa yang di lihat nya.
"Yeay makan enak kita hari ini," Bayu terlihat jauh bersemangat, seperti nya adik ku itu sudah sembuh.
Aku memaklumi antusiasme adik ku itu, karena memang kami jarang makan-makanan enak.
"Kamu pikiran nya makanan mulu, kita tabung dulu uang nya. Keuntungan dari hasil jual gorengan itu belum seberapa Bayu." ucap ku yang tidak ingin menghabur-hamburkan uang dari hasil dagang yang untungnya saja tidak seberapa, boleh saja beli makanan enak tapi sewajar nya.
"Tapi bagaimana bisa, kalau di hitung-hitung makanan yang terjual, uang yang di dapat nggak akan sampai begitu banyak, Sinta." tanya Ibu yang dilanda kebingungan.
"Iya itu, 150.000 itu uang booking teman-teman Sinta, Bu. Jadi untuk besok kita buat makanan nya yang banyak. Berhubung kantin sekolah sedang renovasi jadi bukan hanya teman sekelas Sinta saja yang beli tapi yang di luar kelas pun beli dagangan Sinta, Bu." jelas ku.
"Alhamdulillah, berarti emang rezeki kita, Nak. Ibu jadi tambah semangat kalau begitu, belum apa-apa sudah banyak yang pesen." ucap Ibu sembari tersenyum senang.
"Nanti sore ke grosir nya Sinta, kalau sekarang kamu pasti capek."
"Kalau sore grosir keburu tutup, Bu. Ya sudah Bayu anter aja Ibu ke grosir. Bayu sudah sehat kok Bu. Ayo keburu tutup grosir nya!." sanggah Bayu dan hendak berdiri namun di tahan olehku.
"Biar sama Sinta aja Bu!, Sinta nggak capek kok." sahutku kembali.
"Ayolah kak Sama Bayu aja, mana sini kunci nya kak." kekeh Dimas.
"Kalian kenapa jadi ribut. Sudah Sin kasihan kunci motor ke adikmu. Ibu sama Bayu aja. Kamu istirahat dulu gih, makan atau apa gitu." titah Ibu.
"Ya udah nih!." Aku menyerahkan kunci motor pada Bayu.
Pada akhirnya Ibu memutuskan untuk belanja bahan baku dagangan bersama Bayu.
Aku pun pada akhirnya menuruti apa yang di perintahkan Ibu. Aku hendak berganti baju lalu ke dapur untuk makan karena perut ku sudah keroncongan sejak tadi.
.
.
.
Bersambung....