“Ara!!!!” pekikan bagai toa masjid begitu menggema di setiap sudut rumah ku yang tak begitu besar,
Ku hembuskan nafas kasar, mendengar suara yang begitu mengusik telinga di pagi yang begitu cerah ini.
“Bangun!!! Anak gadis jam segini belum bangun! Pantes aja jodohmu ga nongol-nongol” gerutu wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu, yang tak lain adalah mama ku tercinta.
“Ara capek ma!!” gumamku enggan beranjak dari ranjang kecilku yang begitu nyaman.
“ih, bangun ga? Atau mama siram pakai air!”
Begitulah ancaman yang aku dengarkan setiap aku bangun siang, padahal aku juga tak bangun siang tiap hari, hanya saat hari libur saja, apalagi saat aku kena palang merah seperti saat ini, jadi aku ingin menikmati masa istirahatku setelah di forsir kerja hingga malam hari.
***
“Bukannya aku terlalu pemilih, tapi bagaimana aku mau memilih, kalau laki-laki saja tak ada yang mendekatiku, tak ada yang mengharap menjadi pendamping hidupku”—Humaira Mentari
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WS Ryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 7
🌺Happy Reading🌺
Malam semakin larut, agenda di rumah budhe Rosi akhirnya selesai setelah banyak orang berbicara mengenai sejumlah persiapan acara akbar untuk putri sang tuan rumah.
“Kamu kapan Ra? Udah disalip nih sama yang lebih muda” celetuk salah satu kerabatnya, beberapa saat setelah mendengar salam penutup acara.
Ara pun hanya tersenyum, “doanya aja budhe”
“Jangan terlalu pemilih ya Ra, nanti ga ada yang deketin malahan” timpal kerabat lainnya.
‘Huff, lagi-lagi omongan kaya gini lagi’
Ara pun hanya mengangguk dengan senyum tipisnya, kemudian berpamitan menghampiri mama nya yang sepertinya sudah beranjak dari duduknya untuk berpamitan pada sang tuan rumah.
“Ma, kita pulang sekarang?” tanya Ara mengabaikan resah hatinya, berusaha secepatnya pergi dari kediaman yang masih terlihat ramai ini.
“Iya, papa udah ngajak pulang, ayuh pamit ke budhe Rosi”
“Iya ma”
Keduanya pun medekati tuan rumah yang masih bercengkram dengan kerabat lain, lalu segera berpamitan dan menyusul kedua pria beda usia yang ternyata sudah berpamitan lebih dulu. Mereka tengah menunggu wanita kesayangan mereka di depan rumah sembari bercengkrama dengan kerabat lain yang hendak meninggalkan lokasi acara.
“Ayuh dek” ajak Ara pada adiknya yang masih asyik ngobrol dengan sepupunya.
“Iya kak,”
“Kakak ga ikut mobil aja?” tawar papa pada sang putri
“kakak temani adek aja pa, papa dan mama duluan aja” jawab Ara dengan santai kemudian mereka pun meninggalkan kediaman itu secara terpisah.
***
Beberapa hari berlalu, Ara mampu mengatasi rasa resahnya dengan kesibukannya di kantor, hingga tiba di hari Minggu sesuai dengan undangan rekan kerjanya, bahwa teman kerjanya itu akan mengadakan resepsi pernikahan hari ini.
Suasana rumah Ara begitu heboh, sang adik bangun kesiangan setelah shalat subuh tertidur kembali karena semalam membantu sang papa menurunkan barang di Toko. Alhasil dia malah kena omel sang mama karena melupakan tugasnya mencuci mobil kesayangan sang papa, belum lagi terlihat grusa-grusu menyiapkan keperluan yang akan dia bawa.
“Hati-hati dek, jangan ngebut-ngebut” nasihat sang kakak saat sang adik berpamitan kepadanya.
“iya kak, nanti adek bonceng teman kok ke lokasi surveynya”
“hmm, kabarin kakak kalau sudah sampai”
“siap kak” Farhan pun segera mengambil tas ranselnya dan beranjak menuju garasi untuk mengambil motornya, sementara Ara hanya menggelengkan kepala melihat tingkah sang adik.
Kedua orang tuanya telah berangkat ke Toko sejak 1 jam yang lalu, sementara ia akan berangkat ke rumah Rindi 30 menit lagi.
Setelah membereskan meja makan, Ara pun bersiap kemudian meninggalkan rumah menuju kediaman Rindi dengan motor kesayangannya.
Pagi yang cerah mengiringi perjalanannya yang cukup jauh, senyum bahagia tersungging dari bibir tipisnya.
“Wah, cepat amat mbak” celetuk Rindi setelah menjawab salam dari Ara yang memasuki gerbang rumahnya.
“Lainnya belum pada datang ya?”
Ya teman satu timnya akan berkumpul di rumah Rindi sesuai kesepakan mereka tempo hari, hanya jamnya baru mereka tentukan kemarin.
“Hmm, masih perjalanan mungkin mbak”
“hmmm, ya sudah tunggu dulu aja kalau gitu” ucap Ara sembari melepas jaketnya, memperlihatkan gaun brokat berwarna peach yang ia kenakan terlihat dengan jelas.
“Masuk dulu mbak” ajak Rindi yang juga terlihat sudah siap dengan kebaya modern berwarna Biru muda.
“iya,” Ara pun mengikuti juniornya itu kedalam rumah,
Terlihat seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik duduk sembari menonton acara telivisi.
Ara pun menyapanya, kemudian menyalaminya dengan takzim.
“Assalamu’alaikum tante”
“Wa’alaikumusalam, siapa ini?” tanya wanita bingung karena belum pernah melihat wanita yang kini berdiri di depannya.
“Ara tante, temannya Rindi”
“ohw, duduk nak”
“Silakan di minum dulu kak” ucap Rindi tiba-tiba yang ternyata telah mengambilkan air minum untuk tamunya.
Ara pun melihat pria yang menurutnya asing ikut berdiri di samping rekan kerjanya, mengerutkan dahinya, sepertinya tadi saat masuk dia tak melihatnya, namun kini dia telah berdiri menatapnya.
“Ini Mbak Ara ma, yang waktu itu antar Rindi”
“Ohw,” mama Rindi hanya mengangguk tersenyum,
“Mbak Ara ini mama Rindi dan ini Mas Hafa yang tiap hari antar jemput aku” lanjutnya memperkenalkan anggota keluarganya.
Ara pun berdiri kembali dan menyalami pria yang tengah menatapnya dengan tersenyum, mereka berjabat tangan saling menyebutkan nama, kemudian duduk di sofa yang bersebrangan.
“Kalian satu kantor?”
“Iya tan, kebetulan juga satu divisi” jawab Ara dengan menampilkan senyum manisnya.
“Oh ya? sudah lama kamu kerja di situ?’
“Hmm, lumayan tan, hampir 5 tahun”
“wah lama juga ya”
“Iya ma, mbak Ara ini senior aku” lanjut Rindi menimpali obrolan keduanya, sementara satu-satunya laki-laki yang duduk di situ hanya diam menyimak.
“Rumah kamu di mana nak?”
“Desa P tan, beda kecamatan tan, agak jauh dari sini”
“Oh ya? trus ke sini tadi naik apa? Kok tante ga dengar ada mobil masuk halaman”
“Motor tan, Ara lebih suka naik motor, lebih cepet”
“wah, yang bener? naik motor sendiri?” tanya mama Rindi dengan takjub
“Iya tante” Ara hanya mengangguk mengiyakan.
“Kamu ga takut nak?”
Ara nyengir memperlihatkan gigi putihnya, “sudah biasa tente, lagian ke mana-mana lebih cepet pakai motor” lanjutnya.
“betul itu, seru tau ma, kemarin Rindi di boncengin mbak Ara, Mas Hafa sih ga bolehin Rindi naik motor.” Timpal Rindi sembari merajuk pada sang mama, mengadukan sang kakak.
“Emang kamu bisa kemudikannya? Orang ga bisa juga?” timpal Hafa yang sedari tadi diam.
“Ya kan bisa belajar, ya kan Mbak Ara?” Rindi mencebikan bibirnya kemudian meminta dukungan dari rekan kerjanya.
“Iya” Ara menimpali sembari tersenyum kikuk, merasa tak enak karena dirinya mereka keluarga ini jadi berdebat.
“tuh kan” jawab Rindi antusias. “boleh ya?”
“ga usah aneh-aneh dek, Mas Hafa kan larang kamu ada maksudanya, lagian mama juga ga ijinin” timpal mama Rindi yang merasa jengah dengan perdebatan kecil kedua anaknya.
Hafa pun tersenyum penuh kemenangan dan meledek sang adik lantaran mendapat dukungan sang mama. Sementara Ara hanya memperhatikan mereka, suasana hangat keluarga ini hampir sama dengan keluarganya, hingga tanpa sadar membuatnya begitu nyaman.
“Maaf ya nak, mereka ini emang suka begini kalau di rumah, tante kadang pusing kalau mereka sama-sama ga mau diem”
Ara tertawa pelan, “gapapa tante, Ara juga suka gitu kalau sama adek, suka debat hal-hal kecil”
“Oh ya? Ara berapa bersaudara?”
“2 bersaudara tan, ada adek yang masih kuliah sekarang”
“adeknya cewek?”
“cowok tan, tapi kalau lagi mode cerewet melebihi cewek tan” tak sengaja Ara malah terkikik meceritakan sang adik.
Keduanya pun larut dalam obrolan ringan seputar keluarga, mengabaikan kakak beradik yang sedari tadi hanya tersenyum penuh arti mendengarkan pembicaraan mereka. Hingga terdengar salam dari teman kerja Rindi yang baru saja datang.
Tbc