NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 – Riak di Sungai Mayat, Tali Pocong yang Terputus

Tiga hari telah berlalu sejak malam penyegelan. Kampuang Binuang tampak tenang dari luar. Tapi ada yang berbeda. Suara jangkrik tak sekeras dulu, angin malam lebih pengap, dan bau amis tipis kadang menyelinap dari arah sungai.

Bahri duduk di teras rumah Mak Tundun sambil membaca ulang catatan kuno. Reno memandangi sungai yang mengalir tenang di kejauhan, tapi mata airnya terasa dingin menusuk.

“Kau perhatikan itu?” tanya Reno lirih.

Bahri menoleh. “Apa?”

“Sungai itu... airnya seperti kehitaman. Dan kemarin malam, aku dengar suara orang mandi, padahal tak ada siapa-siapa.”

Bahri menutup buku. “Sungai itu dulu disebut Batang Kubuak. Konon, mayat-mayat korban Palasik dulu dibuang ke sana.”

Tiba-tiba Ucup berlari dari belakang rumah, napasnya tersengal. “Bahri... Ajo... cepat ke hulu sungai. Ada warga yang lihat sesuatu.”

Mereka bertiga segera menuju tempat yang dimaksud. Di sana, beberapa warga sudah berkumpul. Di tengah sungai yang dangkal, seekor kambing mati mengapung, matanya mencuat seperti dicekik sesuatu.

“Bukan tenggelam biasa,” kata Bahri sambil mendekat. “Lehernya... seperti dikunyah.”

Warga mulai berbisik-bisik:

“Jangan-jangan Palasik belum sepenuhnya pergi.”

“Ada anak kecil yang katanya lihat kepala terbang lagi tadi malam.”

“Ini pasti akibat pengorbanan tempo hari...”

Bahri berdiri dan menatap sungai. Ia merogoh kantong kecil, mengambil sejumput abu daun sirih dan menaburkannya ke air. Abu itu mengambang sebentar, lalu perlahan terserap ke dalam air.

Cahaya redup menyala dari dasar sungai, membentuk pola wajah menyeringai. Reno mundur spontan.

“Itu... bukan pertanda baik.”

Malam itu, mereka berjaga di tepi sungai. Bahri, Reno, Ajo, dan Ucup bersembunyi di balik semak. Tak ada cahaya. Hanya bunyi air dan dedaunan yang bergerak.

Jam menunjukkan tengah malam.

Tiba-tiba, dari arah hulu, terdengar suara perempuan menangis. Pelan, menyayat, seperti jerit hati yang tak bisa diluapkan.

“Dengar itu?” bisik Ajo.

“Jangan bereaksi. Tunggu,” jawab Bahri.

Tapi Ucup sudah merayap pelan mendekati suara itu. Di balik semak, ia melihat seorang perempuan muda berdiri di tengah sungai, rambut panjang menutupi wajah.

“Maaf, Nyi... kenapa menangis malam-malam di tengah sungai?” tanya Ucup ragu.

Perempuan itu perlahan menoleh.

Wajahnya bukan wajah manusia. Wajahnya penuh luka terbuka, matanya kosong, dan mulutnya... sobek hingga ke telinga.

Ucup mundur, tergelincir ke air. Perempuan itu melayang ke arahnya, rambutnya mengepul seperti kabut, tubuhnya mulai memanjang seperti ular.

“UCUP!” teriak Ajo.

Bahri melompat dan melempar segenggam garam ke arah makhluk itu. Suara jeritan menggema, lalu perempuan itu menghilang dalam semburat kabut berdarah.

Ucup terduduk di air, wajahnya pucat. “Demi semua jenis kacang... itu... bukan manusia.”

Bahri menarik napas panjang. “Kita tutup satu gerbang. Tapi ternyata... ada lebih dari satu.”

Reno menatap langit. “Dan sungai ini... bisa jadi gerbang lama yang kembali terbuka.”

Di kejauhan, suara tawa kecil terdengar. Tawa anak kecil. Tapi bergaung, panjang... seperti gema dari dasar bumi.

Langit kampung Binuang sore itu memerah, bukan karena senja biasa, tapi karena seminggu ini, matahari seperti enggan menampakkan cahaya terangnya. Kabut lembab merayap dari kaki bukit, menyelimuti sawah-sawah yang mulai mengering dan ladang-ladang yang tak lagi ramai.

Bahri duduk di beranda rumah Mak Tundun, menatap kosong ke jalan tanah yang lengang. Di sebelahnya, Ucup sedang sibuk menggigit sisa emping yang disimpan dalam kotak besek.

“Cup, kau masih ingat cerita Mak Tundun soal pocong yang lari-lari di pemakaman lama?” tanya Bahri tiba-tiba.

Ucup mengangguk pelan. “Ingat, Ri. Katanya itu bukan pocong biasa. Pocongnya bisa nyaringin suara bayi nangis... padahal malam-malam sepi, mana ada bayi nangis tengah kuburan.”

Ajo muncul dari arah dapur dengan kepala penuh tepung. “Woy, siapa yang nyimpen saringan bolong di atas tempat beras? Aku masak nasi malah dapet bubur.”

“Lah, kau yang sok jadi tukang masak. Saringan itu warisan dari Mak Tundun, jangan salahin alatnya, salahin tanganmu,” balas Ucup.

Ajo cemberut. Tapi suasana santai itu berubah seketika saat Reno datang berlari tergopoh-gopoh dari jalan atas. Napasnya berat, keringat dingin membasahi dahinya.

“Kalian... kalian dengar suara dari kuburan atas?”

Mereka langsung berdiri. Bahri menatap tajam. “Apa maksudmu?”

“Tadi sore aku ngantar nenek-nenek pulang dari pasar. Lewat jalan pemakaman tua. Kupikir ada orang nyanyi di dekat nisan. Suaranya merdu, tapi... makin lama makin kayak jeritan.”

Ucup menelan ludah. “Aku bilang juga apa, itu pocong nyanyi, Ri.”

Ajo mengambil senter dan sebilah bambu dari sudut beranda. “Yuk, kita periksa. Daripada malam-malam dia datang ke sini ngajak dangdutan.”

Sore beranjak malam saat mereka tiba di pemakaman lama. Tanahnya basah meski tak hujan. Batu-batu nisan ditumbuhi lumut, beberapa sudah miring dan retak.

“Eh, itu... lihat di bawah pohon waru,” bisik Reno.

Sebuah kain putih tampak tergantung rendah dari dahan. Tapi ujungnya robek, dan di tanah... tampak bekas jejak menyeret.

“Pocong ini lepas ikatannya... dia bisa berjalan,” kata Bahri pelan.

“Kau yakin itu bukan kain cucian warga?” tanya Ucup.

“Cucian siapa yang digantung di pemakaman?” balas Ajo cepat.

Tiba-tiba, angin berhembus. Pohon waru bergoyang. Dari balik rimbunnya, terdengar suara:

“Hik... hik... aku belum selesai... tali ku belum diikat...”

Suara itu menggema dari bawah tanah. Suara yang lirih, memelas, dan menyeret hati untuk datang lebih dekat.

Bahri berjongkok di depan salah satu nisan tua. Di sana, tanahnya tergali sebagian. Di atasnya, ada bungkusan kain kafan kecil... seperti potongan tali pocong.

“Kita harus mengikat ulang,” ucapnya pelan.

“Siapa yang mau ngiket? Jangan-jangan dia langsung bangun terus nyambit kita pakai batu nisan,” ujar Ucup sambil mundur pelan.

Ajo menatap kain itu, lalu melihat sekeliling. “Kayaknya kita butuh bantuan orang tua. Biar dia yang pimpin.”

Mereka kembali ke rumah Mak Tundun. Di sana, perempuan tua itu sudah duduk dengan mata tertutup. Seolah ia tahu apa yang terjadi bahkan sebelum diceritakan.

“Pocong itu... namanya Marni. Dulu dia mati bunuh diri karena tunangannya tak pulang dari rantau. Tali pocongnya memang tak diikat. Orang kampung takut mengikat karena katanya arwahnya bakal marah.”

“Kalau tak diikat, arwahnya gentayangan,” ujar Bahri.

Mak Tundun mengangguk pelan. “Bawa aku ke sana. Tapi kita harus bawa bunga kenanga, air rendaman sirih, dan batang serai.”

Malam makin larut saat mereka kembali ke pemakaman. Kali ini bersama Mak Tundun, dan beberapa warga yang diam-diam ikut karena penasaran. Udara makin dingin. Asap putih keluar dari tanah.

Mak Tundun duduk bersila di depan liang yang tergali. Di tangannya, seikat bunga kenanga dan tali putih.

“Marni... kalau kau masih di sini, kami minta izin untuk mengikat tali itu. Supaya kau tenang. Supaya jalanmu lurus.”

Tanah bergoyang pelan. Kain kafan yang tadi terlihat, kini terangkat sedikit. Dan dari dalam, terdengar suara pelan.

“Ikutkan aku... ke tempat di mana ia menungguku...”

Bahri dan Reno membantu Mak Tundun mengikat kembali tali pocong itu. Ucup dan Ajo berdiri dengan pelita, menjaga suasana tetap terang.

Begitu tali diikat, kain itu mengepulkan asap wangi. Kabut perlahan menghilang. Udara jadi hangat kembali.

Tapi sebelum mereka pergi, satu nisan di ujung berderak. Dari bawahnya, terdengar suara anak kecil tertawa pelan.

Ucup mematung. “Itu suara lain, kan?”

Mak Tundun berdiri. “Kalau yang itu... bukan urusan kita malam ini. Tapi kampung ini... belum sepenuhnya bersih.”

Mereka pulang dalam diam. Tapi semua tahu, malam itu... hanya salah satu dari banyak rahasia yang bangkit dari tanah Kampuang Binuang.

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!