“Jadi kapan internet saya aktif kembali? Saya tidak akan menutup teleponnya jika internet saya belum aktif!” hardik Peter.
“Mohon maaf Pak, belum ada kepastian jaringan normal kembali. Namun, sedang diusahakan secepatnya,” tutur Disra.
“Saya tidak mau tahu, harus sekarang aktifnya!” ucap Peter masih dengan nada tinggi.
Disra berniat menekan tombol AUX karena ingin memaki Peter. Namun, jarinya tidak sepenuhnya menekan tombol tersebut. “Terserah loe! Sampe bulu hidung loe memanjang, gue ladenin!” tantang Disra.
“Apa kamu bilang? Bisa-bisanya memaki pelanggan! Siapa nama kamu?” tanya Peter emosi.
Disra panik, wajahnya langsung pucat, dia melihat ke PABX-nya, benar saja tombol AUX tidak tertanam kebawah. Sehingga, pelanggan bisa mendengar umpatannya.
Gawat, pelanggan denger makian gue!
***
Novel pengembangan dari cerpen Call Center Cinta 🥰
Ikuti kisah seru Disra, yang terlibat dengan beberapa pria 😁
Happy Reading All 😍
IG : Age_Nairie
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon age nairie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 Babi
“Saya serius!” tegas Melvin.
Tidak pikir panjang, dia akan menjadikan Disra miliknya tanpa harus mengulur waktu. Tidak peduli pula dengan usia mereka yang masih tergolong teramat muda. Tidak pernah menyangka mereka bertemu karena provider internet dan tak akan pernah Melvin melepaskan gadis itu lagi.
“Gila!” maki Disra. “Emang ….”
Tina datang dengan membawa secangkir teh untuk Melvin. Sontak membuat Disra mengurungkan melanjutkan makiannya.
“Silakan diminum Pak Peter,” ujar Tina sembari meletakan secangkir teh di atas meja.
“Terima kasih, Bu. Panggil saja saya Peter atau Melvin,” jelas Melvin.
“Oh begitu, baiklah Nak Peter,” ucap Tina masih berdiri di tempat tanpa ada keinginan untuk beranjak pergi.
“Bu, kami masih ada urusan. Aku keluar sebentar dengannya, ya,” izin Disra.
Dia ingin menjauhkan Melvin dari rumahnya. Dia tahu sifat ibunya yang sangat jelas menyukai Melvin. Tak ingin jika sang ibu berbicara sembarangan akan menggiring opini dia dan Melvin memiliki hubungan.
“Memang tidak bisa bicara di sini saja?” tanya Tina.
“Nggak bisa, Bu. Bukan sekedar obrolan. Kerusakan internet Pak Melvin berada di … emm … rumah kabel,” jelas Disra bingung menjelaskan pada sang ibu.
“Rumah kabel?” tanya Tina bingung karena memang dia tidak mengerti tentang jaringan.
“Iya, kotak besi yang suka ada di pinggir perlintasan jalan itu loch,” jelas Disra seumum mungkin. Tidak mungkin dia menjelaskan secara terperinci fungsi rumah kabel dalam jaringan internet.
“Emang kamu sekarang jadi teknisi lapangan? Kamu nggak takut hitam kerja lapangan? Bukannya kamu bilang kalau kamu itu teknisi melalui telepon saja?” tanya Tina berentet. Sedangkan Melvin hanya tersenyum melihat interaksi ibu dan anak di depannya.
“Nanti Disra jelasain ya. Nggak enak sama pelanggan. Disra pergi dulu, Bu.” Disra langsung menarik tangan sang ibu dan mencium punggung tangannya. “Disra pamit.”
Dahi Tina berkerut, dia memang tidak berpendidikan tinggi. Namun, dia merasa ada yang aneh dengan pemaparan anaknya. Perusahaan besar membiarkan pelanggan datang ke rumah karyawan kecil dan bukan ke kantor cabang atau kantor pusat untuk keluhan pelanggan. “Jangan lupa kunjungi Bapak. Ibu sudah menyiapkan makanan untuk Bapak.”
“Sekalian Disra bawa aja!" serunya.
Disra melirik kotak di atas meja makan dan mengambilnya. Dia beralih ke Melvin. “Ayo Pak, kita perbaiki internetnya,” ajaknya pada Melvin.
Melvin hanya tersenyum. “Saya izin pamit, Bu,” ujarnya pada Tina.
“Oh, iya. Hati-hati,” ucap Tina.
Disra menggiring Melvin untuk keluar dari rumahnya. Menuju ke taman yang tidak banyak orang berlalu lalang.
“Sekarang, katakan apa yang Anda mau?” tanya Disra.
“Sudah aku katakan. Aku akan bertanggung jawab padamu,” jelas Melvin.
Disra mendengus. “Sepertinya Anda kebanyakan belajar hingga mengeluarkan kata-kata omong kosong seperti itu.”
“Bukan omong kosong. Tapi itu sungguh-sungguh,” jelas Melvin.
Disra menggusar rambutnya. “Kita hentikan di sini. Aku tidak akan meminta maaf karena kau pun juga bersalah. Di tambah lagi, aku sudah dipecat dari pekerjaan. Jadi, anggap saja aku sudah menerima ganjarannya. Mari kita lupakan yang telah berlalu, anggap saja tidak pernah terjadi!” tegas Disra.
“Aku serius dengan perkataanku,” jelas Melvin menarik lengan Disra.
Disra melihat lengannya yang disengal oleh Melvin. “Lepaskan tanganmu! Jika kau tidak suka dengan makianku tempo lalu. Kau bisa melaporkanku pada polisi. Aku yakin kau memiliki bukti rekamannya!” tegas Disra menepis tangan Melvin setelah itu pergi meninggalkan pria itu sendiri.
Melvin hanya menatap kepergian Disra. Dia sadar telah berbuat gegabah. Tidak seharusnya dia langsung mengajak Disra menikah.
“Bisa-bisanya ketemu orang gila!” gerutu Disra masih berjalan menuju halte bus.
Dia menepati janjinya pada sang ibu. Dia pergi ke tempat ayahnya ditahan. Memberikan makanan pada sang ayah tanpa bisa menjanjikan kebebasan sang ayah.
Setelah mengunjungi sang ayah, dia pergi ke warnet dekat kampusnya. Hari sudah siang membuatnya enggan untuk pulang dan memilih mengahabiskan waktu untuk mencari pekerjaan. Membuka emailnya dan mulai melamar ke berbagai perusahaan. Tanpa disadari Disra. Melvin berada di kabin warnet yang berbeda dengan Disra.
Melvin mengikuti perginya Disra. Hingga ia tahu kasus yang sedang menimpa ayahnya. Mulai mengetikan pada komputer yang digunakannya.
Tidak sulit baginya untuk meretas. Melvin menyelidiki gadis pujaannya. Mulai dari jenjang pendidikan, melihat IPK yang didapat Disra selama perkuliahan, hingga saat ini dia bekerja. Bahkan Melvin bisa tahu apa yang sedang Disra lakukan di dalam warnet.
“Resepsionis, Teller, Costumer Service, aish! Harus pandai merias diri,” lirih Disra melihat lowongan pekerjaan yang lebih banyak mencari front liner.
“Desk Collection, nggak jauh-jauh sama headset sih. Programmer, design grafis,” gumamnya lagi. “Oke lah, semua aja gua lamar, mana duluan aja yang manggil dah.”
Disra mulai memasukan surat lamaran menggunakan email. Beruntung semua kelengkapan untuk melamar pekerjaan sudah di scan dan disimpan dalam email. Semua lowongan yang dikiranya masuk kriterianya dia masukan semua CV dirinya.
Detik demi detik terlewati. Dirinya hanya fokus mencari pekerjaan. Hingga ponselnya berdering. “Hallo, Beb,” sapa Disra. Bukan berarti kekasih memanggil teman dengan ‘Beb’. Hal itu dilakukan Disra pada hampir semua teman dekatnya.
“Elo mau bareng nggak? Gue lewat tempat kerja loe nih!” seru Felix.
“Gue dah nggak kerja, sekarang lagi di warnet deket kampus. Loe ke sini aja, Lix.”
“Ya udah, gua langsung ke kampus dah.”
Disra mematikan sambungan teleponnya dan melanjutkan mencari pekerjaan. Hingga dirinya lelah dan keluar dari warnet dan bertepatan dengan kedatangan Felix.
“Ciprut! Libur loe?” tanya Felix baru turun dari motornya.
“Dipecat gue! Bukan libur!” dengus Disra.
“Kok bisa?”
“Panjang ceritanya. Dah, entar gua ceritain. Laper nih, traktir gua nasi goreng ya!” seru Disra.
“Ya udah ayo. Naek motor ja ya.”
“Oke.”
Disra naik ke atas motor Felix dan meninggalkan warnet. Melvin hanya bisa melihat kepergian Disra dan Felix dari balik pintu kaca warnet buram. Pintu yang tak tampak terlihat dari luar. Tangannya mengepal, tidak rela jika Disra pergi dengan pria lain.
Felix tertawa terbahak-bahak setelah mendengar cerita Disra yang memaki pelanggan dan ternyata pelanggan tersebut adalah dosen mereka. Namun. Disra melupakan lamaran Melvin. Dia hanya berpikir bahwa sang dosen hanya omong kosong belaka.
“Jangan banyak ketawa loe!” Disra memasukan timun ke dalam mulut Felix.
Felix tidak marah, dia memakan timun tersebut. “Kebiasaan maki orang sih, jadi keterusan di tempat kerja ‘kan!”
Disra tak menggubris ejekan Felix. “Ada lowongan nggak di tempat loe?” tanya Disra.
“Apa ya, paling banyak yang dicari lulusan sarjana.”
“Yang D3 lah, kaya loe gitu! Tapi, nggak pa-pa juga sih yang kriteria S1‘kan gua bisa ngelamar pake transkip nilai!” seru Disra.
“Udah nggak ada lowongan kalau buat data analys. Tapi, nanti gua coba liat ya. Kayanya ada dech buat costumer service. Loe kan udah pengalaman di dunia call center. Delivery Support Quality Assurance bisa tuh loe lamar. Atau mungkin ngelamar jadi Customer Operations Team Lead.”
“Nggak jauh-jauh dari call center. Lama-lama jadi Miss Call deh gue!”
“Yang penting ‘kan nggak open BO (Booking Out)!” kekeh Felix.
“Ngaco loh! Loe pikir gue l*nte!”
“Harga diri tinggi ye. Mending mulung dari pada open BO.”
“Bukan! Itu karena gua nggak laku! Kurang cantik and kurang bahenol!” gurau Disra.
Felix dan Disra tertawa bersama. “Idung loe minimalis sih!” ejek Felix.
“Kucing makin pesek makin mahal! Jangan salah loe!”
“Emang loe kucing!” seru Felix. Dia lelah tertawa mengambil air mineral dan meminumnya. “Ya udah, kalau ada yang kosong gue langsung kabarin loe,” ujar Felix.
“Apa aja dech, yang penting gua interview dulu. Syukur-syukur diterima. Abis Kerja loe kayanya enak bener,” ucap Disra.
“Enaklah, makan bebas di sana. Cemilan cepuluh boleh dimakan sepuasnya!” ujar Felix membanggakan tempat kerjanya di salah satu perusahaan e-commerce terbesar.
“Pantesan tambah lama loe kaya babi, tambah endut!” ejek Disra.
“Ye, emang gua suka makan babi. Enak tahu, apalagi lemak babi yang pekat, itu bisa bikin kulit mulus tanpa tanpa harus pake skin care.” Felix menunjuk pipinya yang mulus tanpa jerawat.
“Kampret! Entar deh gue makan kalau si babi dah halal,” canda Disra terkekeh.
“Ngaco loe! Babinya di sunat dulu ya,” tambah Felix ikut terkekeh.
“Sebelum babi disunat, mending loe dulu yang di sunat!”
“Meskipun gua bukan muslim. Gua disunat kali waktu kecil!”
“Masa!” seru Disra.
“Nggak percaya? Mau bukti nggak?”
“Dih, ogah! Bisa muntah-muntah gua!”
“Belum tahu aja enaknya!”
Mereka tertawa bersama. Persahabatan yang terjalin membuat mereka bebas berekspresi. Tidak ada saling tersinggung dalam perbedaan mereka. Hanya melihat ketulusan dalam pertemanan. Sejenak, Disra melupakan segala permasalahan yang ada.
dandan yg cantik, pake baju kosidahan buat Dateng kondangan Marvin /Facepalm/