NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:262
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Wajah di Balik Kertas

Elara mengerjap. Sekali. Dua kali.

Di bawah sorot lampu koridor yang remang, foto polaroid di tangannya tampak… biasa saja.

Tidak ada goresan merah di leher pria itu. Tidak ada ekspresi marah yang mengerikan. Wajah di foto itu kembali tersenyum lebar, merangkul wanita di sebelahnya dengan hangat. Dan tulisan tinta merah darah di belakangnya? Lenyap.

Yang tersisa di balik kertas foto itu hanyalah tulisan pudar menggunakan pensil: Desember, 1980.

"El?" suara Rian terdengar cemas, tangannya masih mencengkeram bahu Elara. "Kamu lihat apa? Apa yang salah sama foto ini?"

Elara merasakan lututnya lemas. Rasanya seperti tanah tempatnya berpijak baru saja dicabut. Apakah dia sudah gila? Apakah stres akibat writer’s block dan isolasi ini akhirnya mematahkan kewarasannya?

"Tadi..." suara Elara tercekat. Dia menelan ludah yang terasa pahit. "Tadi ada tulisan. Ada darah. Pria di foto ini... dia..."

Rian mengambil alih foto itu dari tangan Elara yang gemetar. Dia mengamatinya di bawah cahaya lampu. Alis tebalnya bertaut.

"Ini... memang mirip aku," gumam Rian, nadanya campuran antara kaget dan bingung. Dia menatap foto itu, lalu menatap pantulan dirinya di cermin lemari di dalam kamar. "Potongan rambutnya beda, bajunya kuno. Tapi struktur wajahnya... gila. Mirip banget."

"Siapa dia, Yan? Kakekmu?" tanya Elara, berharap ada penjelasan logis. Silsilah keluarga, genetika, kebetulan—apa saja asalkan bukan hantu.

Rian menggeleng pelan. "Kakek meninggal sebelum aku lahir, dan setahuku dia nggak pernah punya villa di gunung. Papaku juga nggak pernah cerita punya kerabat di sini. Mungkin cuma kebetulan, El. Orang yang mukanya mirip kan banyak di dunia ini."

"Tapi dia ada di sini, Yan. Di villa ini. Di foto yang disembunyikan di laci kamarku," desak Elara, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Dan tadi... suara ketukan itu..."

"WOY! ADA APAAN SIH?!"

Pintu kamar depan terbanting terbuka. Bobi muncul dengan pose siaga tempur. Dia mengenakan kaos bergambar kartun Spongebob dan memegang sebuah tripod kamera dalam posisi memukul, seolah itu adalah tongkat bisbol.

Di belakangnya, Sarah menyusul dengan wajah bantal yang terlihat sangat terganggu, namun matanya menyiratkan kewaspadaan.

"Gue denger suara gedor-gedoran," kata Bobi, menurunkan tripodnya sedikit saat melihat tidak ada perampok atau zombie. "Gue kira ada maling, udah siap gue geprek kepala mereka pake tripod ini. Rian, lo apain Elara sampai dia pucat begitu?"

"Nggak ada yang ngapa-ngapain, Bob," jawab Rian lelah. "Elara nemu sesuatu. Dan dia denger suara aneh."

"Suara apa lagi?" Sarah memijat pelipisnya. "Tadi piano, sekarang apa? Drum band?"

"Ketukan," jawab Elara lirih. "Di dinding kamar Rian. Iramanya sama kayak piano tadi sore. Dan suaranya... dari bawah. Seperti orang merangkak."

Hening.

Angin di luar menderu kencang, menggoyangkan jendela koridor hingga bergetar. Ucapan Elara sukses membuat kantuk Bobi dan Sarah hilang seketika.

"Oke, itu spesifik banget dan gue nggak suka visualisasinya," komentar Bobi, bulu kuduk di lengannya berdiri. Dia merapatkan diri ke Sarah. "Sar, lo kan pengacara. Bisa nggak lo somasi hantunya biar pergi?"

"Diam, Bob," desis Sarah. Dia melangkah mendekat, mengambil foto dari tangan Rian. Matanya menyipit meneliti gambar itu. "Tahun 1980. Berarti 40 tahunan yang lalu. Ini pasti pemilik lama atau penyewa sebelumnya. Soal mirip Rian... ya, agak nyeremin sih miripnya. Tapi bisa aja ini efek pareidolia. Otak kita mencocok-cocokkan pola wajah."

Sarah selalu punya jawaban logis. Biasanya, itu menenangkan Elara. Tapi kali ini, tidak. Karena Sarah tidak melihat darah yang tadi dilihat Elara. Sarah tidak merasakan kebencian yang memancar dari foto itu.

"Kita tidur di satu kamar aja malam ini," usul Rian tiba-tiba. Suaranya tegas, tidak menerima bantahan. "Kamar ini paling besar. Gue sama Bobi bisa tidur di karpet atau sofa. Elara sama Sarah di kasur."

"Setuju!" seru Bobi cepat, mungkin terlalu cepat. "Solidaritas tanpa batas. Bukan karena gue takut ya, tapi demi menjaga kerukunan umat bertetangga."

"Terserah," gumam Sarah, meski bahunya terlihat rileks. Dia jelas lega tidak harus tidur terpisah.

Mereka pun memindahkan bantal dan selimut. Rian menggelar sleeping bag yang dibawanya di lantai, di dekat kaki tempat tidur. Bobi meringkuk di sofa panjang di sudut kamar dengan selimut menutupi seluruh tubuh sampai hidung.

Lampu dimatikan, menyisakan lampu tidur kecil di nakas yang memancarkan cahaya oranye redup.

Elara berbaring di samping Sarah yang sudah memunggungi dia. Namun, mata Elara tetap terbuka, menatap langit-langit kamar yang tinggi. Bayangan dahan pohon dari luar jendela bergerak-gerak di plafon seperti cakar raksasa.

"El," bisik sebuah suara dari bawah.

Elara menengok ke sisi tempat tidur. Rian sedang berbaring telentang di lantai, menatapnya. Jarak wajah mereka hanya terpisah ketinggian kasur.

"Kamu belum tidur?" tanya Elara pelan.

"Nungguin kamu tidur dulu," jawab Rian. Dalam keremangan, tatapannya begitu lembut. "Maaf ya, liburan ini jadi kacau."

"Bukan salah kamu," Elara mengulurkan tangannya yang menggantung di tepi kasur.

Tanpa ragu, Rian menyambut uluran tangan itu. Menggenggam jemari Elara yang dingin dengan tangannya yang hangat dan kasar. Ibu jarinya mengusap punggung tangan Elara perlahan, memberikan ritme yang menenangkan. Jauh lebih indah daripada ritme metronom sialan itu.

"Aku takut aku gila, Yan," bisik Elara, satu tetes air mata akhirnya lolos jatuh ke bantal. "Tadi aku bener-bener lihat darah di foto itu. Nyata banget."

"Aku percaya," jawab Rian mantap.

"Kamu percaya ada hantu?"

"Aku percaya kamu melihat apa yang kamu lihat. Dan kalau kamu takut, itu alasan yang cukup buat aku untuk waspada," kata Rian. "Kamu nggak gila, El. Mungkin tempat ini memang... punya energi yang salah."

Kata-kata itu menyusup ke dalam hati Elara, menghangatkan bagian yang beku karena ketakutan. Dia tidak butuh divalidasi secara logika seperti yang dilakukan Sarah. Dia hanya butuh seseorang yang berdiri di sisinya, bahkan jika dunia terasa tidak masuk akal.

"Makasih, Rian."

"Tidurlah. Aku di sini. Aku pegang tangan kamu sampai pagi."

Perlahan, rasa lelah mengalahkan rasa takut. Elara mulai terbuai oleh kehangatan tangan Rian dan suara napas teratur teman-temannya. Matanya memberat.

Dunia mimpi mulai menariknya.

Namun, tepat sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, Elara mendengar suara itu lagi.

Kali ini bukan ketukan. Bukan piano.

Melainkan suara senandung.

Seorang wanita bersenandung lirih, nadanya meliuk-liuk sedih, menyanyikan lagu pengantar tidur yang asing. Suara itu tidak berasal dari luar kamar, tidak juga dari lantai bawah.

Suara itu berasal dari bawah tempat tidur. Tepat di bawah punggung Elara.

Mata Elara terbuka lebar seketika. Tubuhnya kaku, lumpuh oleh teror murni. Genggaman tangannya pada Rian mengeras.

Rian merasakan perubahan itu. "El? Kenapa?"

Elara tidak bisa menjawab. Dia tidak berani bergerak. Dia tidak berani bernapas. Karena dia sadar, kasur tempatnya berbaring terasa sedikit berguncang, seolah ada seseorang di kolong ranjang yang sedang menahan tawa sambil bersenandung.

Lalu, senandung itu berhenti. Digantikan oleh satu bisikan serak yang menembus ketebalan kasur, langsung ke telinga batinnya.

"Kamu tidur di tempatku..."

Rian yang melihat mata Elara terbelalak menatap langit-langit dengan ekspresi horor, langsung bangkit duduk. "Elara! Bangun!"

Guncangan di kasur berhenti.

Elara tersentak bangun, menghirup udara rakus seolah baru saja tenggelam. Keringat dingin membasahi piyamanya.

"Mimpi?" tanya Rian cemas, wajahnya kini sejajar dengan wajah Elara.

Elara menatap Rian, lalu menatap Sarah yang masih tidur pulas, dan Bobi yang mendengkur halus. Tidak ada yang mendengar senandung itu. Hanya dia.

"A-aku..." Elara ingin berteriak bahwa ada sesuatu di bawah kasur. Tapi lidahnya kelu. Jika dia bilang ada hantu di bawah kasur, mereka harus mengeceknya. Dan Elara tidak siap untuk melihat apa yang ada di sana.

"Mimpi buruk," akhirnya Elara berbohong, suaranya gemetar. "Cuma mimpi buruk."

Rian menatapnya ragu, tapi tidak mendesak. Dia kembali memegang tangan Elara lebih erat. "Udah, jangan dipikirin. Itu cuma bunga tidur. Aku di sini."

Elara mengangguk, tapi dia tidak berani memejamkan mata lagi. Sepanjang sisa malam itu, dia berbaring kaku, mendengarkan keheningan, sambil berdoa agar pagi segera datang.

Karena dia tahu, di bawah sana, dalam kegelapan kolong tempat tidur, sesuatu sedang menunggu giliran untuk bermain...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!