NovelToon NovelToon
Kontrak Pacar Pura-Pura

Kontrak Pacar Pura-Pura

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Kekasih misterius / Perjodohan
Popularitas:152
Nilai: 5
Nama Author: SineenArena

Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 - Debut Kantin

Yuni tidak tidur.

Dia mencoba.

Dia berbaring di ranjangnya yang sempit, menatap langit-langit yang retak.

Suara musik dangdut dari kamar sebelah baru berhenti jam dua pagi.

Suara pertengkaran dari kamar seberang mulai lagi jam tiga.

Jam lima, dia menyerah.

Dia bangkit, menyalakan teko listrik.

Dia membuka laptopnya.

Bukan untuk esai "Pergeseran Makna".

Dia membuka file PDF skenario Juan.

Dan di tab sebelahnya, "Aturan Dasar Catur".

Hidupnya terasa absurd.

Dia memaksakan diri menghafal.

Kesan Pertama (Yuni): Menganggap Juan berbeda dari mahasiswa teknik lainnya, lebih serius soal belajar.

Dia mendengus.

"Serius soal belajar menipu, mungkin," gumamnya.

Dia membaca fakta tentang Juan. Alergi debu.

Dia membaca fakta (palsu) tentang dirinya. Suka Nasi Goreng Gila.

Dia benci pedas.

Luar biasa.

Dia meminum teh pahitnya.

Perutnya melilit.

Bukan hanya karena teh.

Hari ini.

Jam 12.

Kantin Teknik.

Debutnya.

Dia merasa seperti akan maju ke panggung teater terbesar di dunia, tanpa latihan.

Dia melihat ke lemari kainnya.

Kostumnya.

Kemeja flanel kotak-kotak yang sudah pudar.

"Agar konsisten. 'Cerita'-nya, saya suka kamu apa adanya. Sederhana."

Kata-kata Juan terngiang.

Dia merasa dimanipulasi.

Dia merasa seperti... properti panggung.

Tapi properti panggung yang dibayar mahal.

Dia menatap ponselnya.

Mengecek saldo banknya.

Angka itu masih di sana.

Nyata.

"Oke," batinnya. "Kostum. Skenario. Akting."

"Ini pekerjaan."

Jam 11:30.

Yuni mulai berjalan.

Dia sengaja berjalan kaki dari fakultasnya.

Dia butuh waktu untuk mempersiapkan mental.

Kampus terasa berbeda hari ini.

Udara terasa lebih berat. Matahari terasa lebih menusuk.

Dia berjalan dari wilayah Fakultas Sastra yang tenang, rindang, dan sedikit kuno.

Melewati Fakultas Hukum yang megah dan kaku.

Hingga akhirnya, dia tiba di wilayah Fakultas Teknik.

Dunianya berbeda.

Gedung-gedungnya lebih modern, lebih industrial.

Banyak beton ekspos.

Dan mahasiswanya.

Mereka bergerak dalam kelompok-kelompok besar.

Mereka berisik.

Mereka tertawa keras.

Mereka terlihat... dominan.

Yuni menarik kerah kemeja flanelnya.

Dia merasa seperti rusa yang masuk ke kandang serigala.

Jam 11:58.

Dia berdiri di seberang pintu masuk Kantin Teknik.

Tempat itu besar. Jauh lebih besar dari kantin sastra.

Dindingnya banyak kaca.

Dan penuh.

Suara dengungan ratusan orang berbicara terdengar sampai ke luar.

Jantung Yuni berdebar sangat kencang hingga dia takut dia akan pingsan.

Dia bisa kabur.

Dia bisa berbalik. Bilang dia sakit perut.

Ponselnya bergetar.

Juan: "Saya di dalam. Dekat pintu. Jangan berdiri di luar seperti orang hilang. Masuk."

Yuni memejamkan mata.

Dia sudah dibayar.

Dia menarik napas panjang.

"Ini akting," bisiknya pada diri sendiri. "Kamu adalah 'Yuni' versi skenario."

"Kamu percaya diri. Kamu pintar. Kamu tidak terintimidasi."

Bohong.

Dia melangkah.

Mendorong pintu kaca yang berat itu.

Hal pertama yang menghantamnya adalah... suara.

Riuh. Berdengung.

Dan bau makanan. Minyak. Kopi.

Semua mata tertuju padanya.

Tidak.

Belum.

Belum ada yang memperhatikannya.

Dia hanya mahasiswi lain yang mencari makan.

Dia melihat Juan.

Sulit untuk tidak melihatnya.

Dia tidak berdiri di dekat pintu. Dia bohong.

Dia duduk di meja utama.

Tepat di tengah kantin.

Meja yang paling besar.

Dan dia tidak sendirian.

Ada tiga laki-laki lain di mejanya.

Teman-temannya.

Perut Yuni melilit.

Ini jebakan.

Ini tidak ada di perjanjian.

Dia bilang "kita". Bukan "kita dan teman-temanmu".

Yuni membeku di pintu.

Salah satu teman Juan melihatnya.

Dia menyikut Juan.

Juan mengangkat kepalanya.

Mata mereka bertemu dari seberang ruangan.

Juan tidak tersenyum.

Dia hanya menatap Yuni.

Tatapannya berkata: "Kemarilah. Sekarang."

Yuni merasa kakinya menolak bergerak.

Teman-teman Juan sekarang semua menatapnya.

Bingung.

Lalu, seisi kantin mulai menyadari.

Juan, si populer, sedang menatap... siapa?

Seorang gadis di pintu.

Gadis dengan kemeja flanel pudar.

Bisikan dimulai.

Yuni tidak bisa mendengarnya, tapi dia bisa merasakannya.

Seperti listrik statis di udara.

Juan mengangkat alisnya sedikit.

Sebuah perintah tanpa suara.

Yuni menelan ludah.

Dia memaksakan kakinya melangkah.

Satu langkah.

Dua langkah.

Dia berjalan melintasi lautan wajah-wajah asing.

Dia merasa telanjang.

Setiap langkah adalah siksaan.

Dia bisa merasakan tatapan mereka.

Menganalisis kemejanya.

Menganalisis jeans-nya yang biasa.

Menganalisis sepatunya yang sudah usang.

"Siapa itu?"

"Anak mana?"

"Kok sama Juan?"

Kali ini dia bisa mendengarnya.

Dia terus berjalan.

Fokus pada satu titik.

Juan.

Dia adalah tujuannya.

Dia sampai di meja.

Hening di meja itu.

Ketiga teman Juan menatapnya.

Satu kurus tinggi, satu berkacamata, satu lagi berbadan besar.

"Hai," kata Yuni. Suaranya serak.

Juan menatapnya.

"Lama sekali," katanya.

Tidak dingin. Tidak hangat. Hanya fakta.

"Macet... di Sastra," kata Yuni.

Kebohongan pertama hari ini.

Teman Juan yang berkacamata tertawa pelan. "Macet jalan kaki?"

Yuni memerah.

"Duduk," kata Juan.

Dia menunjuk kursi di sebelahnya.

Bukan di seberangnya. Di sebelahnya.

Lebih intim.

Lebih... terlihat.

Yuni duduk.

Dia meletakkan tas ranselnya di lantai.

"Juan," kata si kurus tinggi. "Nggak ngenalin nih?"

Mata Juan masih menatap Yuni.

Lalu dia tersenyum.

Bukan senyum tipis. Senyum lebar.

Senyum yang ada di poster-poster kampus.

Senyum yang membuat gadis-gadis menjerit.

Senyum itu ditujukan padanya.

Yuni terkejut.

Itu palsu. Dia tahu itu palsu.

Tapi itu... sangat meyakinkan.

"Oh, iya," kata Juan, seolah dia lupa.

Dia meletakkan tangannya di sandaran kursi Yuni.

Sebuah gerakan posesif yang kasual.

Yuni menegang.

"Kenalin," kata Juan, suaranya terdengar ke seluruh penjuru meja.

"Ini Yuni."

Dia berhenti sejenak.

Membiarkan nama itu menggantung.

"Pacar gue."

Hening.

Ketiga temannya membeku.

Si kurus tinggi menjatuhkan sendoknya.

Bunyi dentingnya terdengar sangat keras.

"Pacar?" ulang si kacamata.

"Sejak kapan?" tanya si besar.

"Baru," kata Juan. "Tiga minggu."

Sesuai skenario.

"Yuni, ini Bimo, Rian, dan Gofur," kata Juan, menunjuk teman-temannya.

Yuni tersenyum kaku. "Hai."

Mereka bertiga masih menatapnya seolah dia adalah alien.

"Lo... pacaran sama Juan?" tanya Bimo (si kurus).

"Kok bisa?"

"Kenapa nggak bisa?"

Suara Juan yang memotong. Tajam.

Membela.

Tapi itu juga bagian dari skenario.

Juan akan bersikap protektif di depan umum.

Yuni teringat catatan di lampiran.

"Gue ketemu Yuni di perpus," kata Juan.

"Dia yang nolongin gue cari buku buat proyek."

"Yuni anak Sastra."

"Sastra?" Gofur (si besar) menggaruk kepalanya. "Jauh bener main lo, Juan."

"Belum makan, kan?" tanya Juan, kembali menatap Yuni.

Nadanya melembut.

Ini akting. Ini akting. Yuni mengingatkan dirinya sendiri.

"Belum," kata Yuni.

"Mau apa? Steak? Ayam geprek?"

Yuni panik.

Dia melihat daftar harga di dinding.

Semuanya mahal.

"Samain aja," katanya cepat.

"Oke," kata Juan.

Dia tidak beranjak. Dia menatap Rian (si kacamata).

"Yan, pesenin."

"Hah? Gue?"

"Iya. Steak dua. Medium rare. Sama es teh manis dua."

"Gila lo. Nyuruh gue," gerutu Rian. Tapi dia berdiri.

Juan meletakkan dompetnya di meja.

"Sialan lo, Tuan Muda," kata Rian, tapi dia mengambil dompet itu dan pergi.

Juan kembali fokus pada Yuni.

Dan seisi kantin masih memperhatikan.

"Jadi," kata Bimo, menyipitkan matanya.

"Anak Sastra, ya?"

"Iya," kata Yuni.

"Suka... ngapain?"

"Baca," jawab Yuni.

"Cuma baca?"

"Dia jago catur," kata Juan.

Yuni menegang. Sialan.

"Oh ya?" mata Bimo berbinar. "Gue juga main. Nanti kapan-kapan kita..."

"Nggak," potong Juan. "Dia mainnya sama gue aja."

Lagi.

Sikap posesif palsu itu.

Teman-temannya terlihat semakin bingung.

Juan yang mereka kenal tidak seperti ini.

Juan yang mereka kenal... ganti-ganti pasangan seperti ganti baju.

Dan tidak pernah... serius.

Tidak pernah... protektif.

Makanan datang.

Rian meletakkan nampan dengan kasar.

"Nih," katanya.

Satu piring steak diletakkan di depan Yuni.

Aromanya... enak.

Dia sudah lama tidak makan daging.

"Makan," kata Juan.

Yuni mengambil garpu dan pisau.

Tangannya sedikit gemetar.

Dia mencoba memotong daging itu.

Agak alot.

Dia makan dalam diam.

Sementara ketiga teman Juan memberondongnya dengan pertanyaan.

"Semester berapa?"

"Tinggal di mana?"

"Kenapa mau sama Juan?"

Yuni menjawab satu per satu.

"Semester lima."

"Di kos, dekat gerbang belakang."

Pertanyaan terakhir...

Dia menatap Juan.

Minta tolong.

"Gue yang ngejar dia," kata Juan, sambil mengunyah kentang goreng.

"Susah banget dapetinnya."

Ketiga temannya tertawa.

"Nggak mungkin!" kata Gofur. "Mana ada cewek yang nolak lo?"

"Yuni beda," kata Juan.

Dia menatap Yuni.

Tatapannya... hangat.

Palsu. Palsu. Palsu.

Tapi Yuni merasakan pipinya memanas.

Sial.

"Dia nggak kayak kalian," lanjut Juan. "Dia punya otak."

"Wah, parah lo," kata Bimo.

Yuni terus makan.

Dia hanya ingin ini selesai.

Dia ingin kembali ke kamar kosnya.

"Gue ke toilet sebentar," kata Yuni.

Dia harus pergi. Dia butuh udara.

Dia berdiri.

"Mau gue anter?" tanya Juan.

Seisi meja hening lagi.

"Nggak," kata Yuni cepat. "Aku tahu toilet di mana."

Dia berjalan cepat.

Merasakan tatapan Juan, dan teman-temannya, dan seisi kantin, di punggungnya.

Dia masuk ke toilet.

Membasuh wajahnya dengan air dingin.

Dia menatap cermin.

Wajahnya pucat. Pipinya memerah.

Dia terlihat... ketakutan.

"Sialan," bisiknya.

Akting Juan terlalu bagus.

Dia terlalu profesional.

Dia kembali ke meja.

Lebih tenang.

Mereka sudah selesai makan.

"Kelas gue mulai jam satu," kata Yuni.

"Oke," kata Juan. "Aku antar."

"Nggak usah," kata Yuni. "Aku bisa jalan."

"Aku antar."

Bukan tawaran. Perintah.

"Ayo."

Dia berdiri.

Dia mengambil tasnya.

"Duluan ya, guys," kata Juan pada teman-temannya.

"Gila," kata Bimo pelan, tapi cukup keras untuk Yuni dengar.

"Juan beneran... bucin."

Juan tidak mempedulikannya.

Dia berjalan di samping Yuni.

Keluar dari kantin.

Hening.

Tidak ada lagi yang bicara.

Mereka berjalan keluar ke sinar matahari.

"Tadi itu..." kata Yuni, memecah keheningan.

"Apa?"

"Intens."

"Bagus," kata Juan. "Itu tujuannya."

"Mereka percaya. Setidaknya, mereka bingung. Itu awal yang bagus."

Mereka sampai di batas antara Fakultas Teknik dan Fakultas Hukum.

"Cukup sampai sini," kata Yuni.

"Oke."

Juan berhenti.

"Tugas pertamamu selesai," katanya. "Aktingmu... lumayan."

"Lumayan?"

"Kamu terlihat ketakutan setengah mati."

"Ya, tentu saja!"

"Tapi itu bagus," kata Juan. "Itu sesuai."

"Seolah kamu kaget karena 'akhirnya jadian sama Juan'. Sesuai."

Yuni tidak tahu harus tersinggung atau tidak.

"Sampai ketemu," kata Juan.

"Tunggu." Yuni menahannya.

"Apa?"

"Teman-temanmu. Kamu tidak bilang mereka akan ada di sana."

"Kejutan membuat akting lebih natural," kata Juan.

"Jangan lakukan itu lagi."

Juan menatapnya. "Aku yang bayar, Yuni. Aku yang atur permainannya."

Yuni terdiam.

Dia benar.

"Baca lagi skenarionya," kata Juan.

"Akan aku kabari tugas berikutnya. Hafalkan."

Dia berbalik dan berjalan kembali ke wilayahnya.

Meninggalkan Yuni sendirian.

Yuni memegang tali tasnya erat-erat.

Debutnya selesai.

Rasanya... mengerikan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!