NovelToon NovelToon
Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi / Harem / Romansa / Dokter
Popularitas:387
Nilai: 5
Nama Author: latifa_ yadie

Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sihir yang Terlarang

Sejak malam hujan itu, istana tak lagi sama.

Langit seolah tak berhenti muram. Setiap pagi terasa seperti sore yang panjang — sunyi, lembab, dan penuh tatapan curiga.

Dan di tengah semua kekacauan itu, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh… sesuatu yang tidak seharusnya ada dalam tubuh manusia biasa.

Awalnya kecil.

Setiap kali aku menyentuh luka, rasanya hangat — bukan karena darah atau kulit, tapi hangat dari dalam diriku sendiri. Luka yang seharusnya butuh waktu berminggu-minggu, sembuh dalam satu malam.

Dan setiap kali hujan turun, benda-benda di sekitarku bergetar pelan, seperti merespons sesuatu yang tak terlihat.

Aku pura-pura tidak sadar, tapi hati kecilku tahu: ini bukan kebetulan.

Suatu pagi, Yuna datang dengan wajah cemas.

“Nona Mika, kau harus lihat ini!”

Dia menyeretku ke halaman belakang. Di sana, tanaman obat yang kutanam beberapa hari lalu tumbuh dua kali lebih besar dari biasanya.

“Aku baru menyiramnya kemarin malam,” kata Yuna. “Tapi pagi ini, semua mekar.”

Aku jongkok, menyentuh salah satu daun. Hangat. Seolah tanaman itu hidup karena sesuatu dariku.

Yuna menatapku seperti melihat hantu. “Kau… kau punya kekuatan?”

Aku menatap tanganku sendiri. “Aku gak tahu, Yuna. Tapi rasanya… ada yang berubah.”

“Jangan bilang siapa pun,” katanya cepat. “Kalau tabib Aiko tahu, dia pasti lapor ke Permaisuri.”

Aku mengangguk pelan. “Ya. Ini antara kita.”

Tapi dalam hati, aku tahu rahasia tidak pernah bisa disembunyikan lama di tempat seperti ini.

Sore itu, Akira datang menemuiku di ruang medis.

Wajahnya lelah, tapi tatapannya tetap tajam.

“Kau tidak keluar seharian?” tanyanya.

“Tidak. Aku sibuk dengan pasien dan tanaman.”

“Tanaman?”

Aku tersenyum kecil. “Ternyata aku lebih hebat dari yang kukira. Tumbuhan-tumbuhan itu tumbuh lebih cepat.”

Dia menatapku, curiga. “Bagaimana bisa?”

“Aku juga gak tahu.”

“Jangan lakukan apa pun tanpa memberitahuku,” katanya tegas.

“Aku cuma berkebun, bukan bikin bom.”

“Di dunia ini, berkebun pun bisa jadi dosa kalau kau menyentuh hal yang salah.”

Nada suaranya membuatku diam.

Aku tahu maksudnya. “Sihir?” tanyaku pelan.

Dia mengangguk. “Sihir terlarang. Dulu pernah ada yang memanipulasi kehidupan — menyembuhkan, menghidupkan, bahkan mengubah bentuk benda. Tapi akhirnya semua berakhir tragis.”

“Kenapa?”

“Karena manusia tidak pernah tahu kapan harus berhenti.”

Dia menatapku dalam-dalam. “Kalau benar kau punya kekuatan itu, Mika… maka kau bukan cuma tamu di dunia ini. Kau ancaman — bagi mereka yang takut kehilangan kekuasaan.”

Aku menelan ludah. “Dan bagi mereka yang menginginkan kekuatan itu?”

Dia mengangguk pelan. “Mereka akan mencarimu.”

Tiga malam kemudian, firasatnya terbukti.

Aku sedang tidur ketika suara langkah pelan terdengar di luar kamarku.

Awalnya kukira penjaga, tapi bayangan yang kulihat di bawah pintu terlalu kecil dan cepat.

Aku diam, menahan napas.

Pintu perlahan terbuka — dan seseorang masuk.

Aku refleks mengambil benda pertama yang bisa kugapai — vas bunga — dan mengayunkannya ke arah bayangan itu.

BRAK!

“Aduh! Nona Mika, aku ini!”

“Yuna!?” aku hampir menjerit. “Kau ngapain tengah malam begini?”

Dia memegangi kepalanya. “Aku… aku mendengar sesuatu di taman. Ada cahaya biru.”

“Cahaya biru?”

“Iya! Seperti kilat kecil, tapi berputar di udara. Aku takut.”

Aku langsung mengambil jubah. “Tunjukkan.”

Kami berlari ke taman belakang. Hujan baru saja berhenti, tapi tanah masih basah dan udara dingin menggigit.

Dan di sana — di tengah kolam — aku melihatnya.

Cahaya biru berputar seperti pusaran air kecil, menggantung di udara, memantulkan bayangan bulan. Bentuknya indah, tapi menggetarkan.

Aku melangkah maju.

“Mika! Jangan dekat!” teriak Yuna.

Tapi entah kenapa, kakiku terus bergerak. Cahaya itu terasa… memanggilku.

Semakin dekat, semakin kuat aku merasakan sesuatu di dadaku — detak yang bukan detak jantung biasa.

Lalu, brakk!

Pusaran itu meledak jadi percikan kecil, dan semuanya gelap sesaat.

Aku jatuh berlutut, terengah-engah.

Yuna berlari menghampiri. “Kau baik-baik saja?”

Aku mengangguk lemah. “Ya… aku cuma—”

Aku berhenti bicara, karena di telapak tanganku ada simbol bercahaya — bentuk spiral dengan empat garis kecil di sekitarnya.

Simbol yang sama persis dengan ukiran yang kulihat di dinding kuil waktu pertama kali aku datang ke dunia ini.

“Mika…” suara Yuna gemetar. “Itu… sihir kuno.”

Keesokan paginya, aku dipanggil ke aula utama.

Di sana sudah ada Permaisuri Mei, Aiko, dan beberapa pejabat istana. Akira duduk di ujung ruangan, wajahnya tanpa ekspresi.

“Aku dengar ada kejadian aneh semalam,” kata Permaisuri dengan senyum tipis.

Aku menunduk. “Hanya kilatan cahaya, Yang Mulia.”

“Dan tanganmu?”

Aku spontan menutup telapak tanganku. “Hanya luka kecil.”

“Boleh kulihat?” tanyanya lembut tapi tajam.

Aku menatap Akira, mencari petunjuk. Dia mengangguk kecil — tanda untuk tidak melawan.

Dengan enggan, aku membuka telapak tanganku.

Cahaya samar masih berdenyut di sana.

Beberapa pejabat berbisik panik.

“Sihir terlarang…” gumam Aiko dengan nada ketakutan dan kagum bersamaan.

Permaisuri Mei berdiri pelan. “Aku sudah menduga. Wanita ini bukan manusia biasa. Dia yang disebut dalam legenda: Penjaga Gerbang Waktu.”

Aku membeku. “Penjaga… apa?”

“Orang yang bisa membuka batas antara masa lalu dan masa depan. Orang yang datang bersama hujan.”

Akira berdiri cepat. “Itu hanya dongeng.”

“Dongeng?” Suara Permaisuri tiba-tiba meninggi. “Kalau begitu, bagaimana kau jelaskan tanda di tangannya? Atau cara luka prajuritmu sembuh dua kali lebih cepat sejak dia datang?”

Ruangan hening.

Aku menatap Akira.

Dia menatap balik, tegas tapi cemas.

Permaisuri mendekatiku, langkahnya lembut tapi menekan. “Katakan, Mika dari dunia lain. Apakah kau datang untuk membuka gerbang waktu?”

Aku menggeleng cepat. “Aku bahkan tidak tahu apa itu gerbang waktu!”

“Bohong!” seru Aiko. “Aku melihat sendiri tanaman-tanaman tumbuh saat kau menyentuhnya!”

Aku mundur selangkah. “Aku tidak bermaksud melakukan apa pun!”

Permaisuri Mei menatapku tajam. “Sihir adalah dosa, tapi kekuatanmu bisa menyelamatkan kerajaan — atau menghancurkannya. Pilih, Mika. Berdiri di sisi siapa kau?”

Aku terdiam. Semua mata tertuju padaku.

Tapi sebelum aku sempat bicara, suara keras memotong udara.

“Dia di sisiku.”

Semua orang menoleh — Akira.

Tatapannya tajam, suaranya berat tapi tenang. “Mika di bawah perlindunganku. Siapa pun yang mencoba menyentuhnya, akan berurusan denganku.”

“Akira,” suara Permaisuri merendah, “kau tidak mengerti apa yang kau lindungi.”

“Justru karena aku mengerti,” jawabnya dingin. “Kau ingin mengendalikan kekuatannya untuk tujuanmu sendiri.”

Aku menatap keduanya bergantian.

Suasana tegang, seperti dua pedang yang saling mengancam tanpa suara.

Akhirnya, Permaisuri tersenyum kecil. “Baiklah. Tapi ingat, Pangeran. Jika wanita itu kehilangan kendali, darah pertama yang akan tertumpah adalah milikmu.”

Dia berbalik dan pergi bersama Aiko.

Begitu pintu menutup, aku langsung bicara pelan. “Apa maksudnya… Penjaga Gerbang Waktu?”

Akira menatapku serius. “Legenda kuno. Dulu, pernah ada seseorang dari dunia lain yang datang membawa tanda di tangannya. Dia membuka gerbang antara masa — dan menghancurkan setengah kerajaan.”

“Jadi aku… bisa melakukan itu?”

“Kalau kau tak bisa mengendalikannya, ya.”

Aku menatap tanganku. Cahaya di sana sudah memudar, tapi rasanya seperti api yang masih hidup di bawah kulit.

“Bagaimana aku bisa menghentikannya?”

Dia mendekat, memegang tanganku dengan hati-hati.

“Dengan tidak takut.”

“Aku takut, Akira.”

“Aku juga,” katanya pelan. “Tapi selama aku di sini, kau tidak akan sendirian.”

Aku menatapnya.

Untuk sesaat, dunia terasa diam.

Tidak ada istana, tidak ada sihir, hanya dua orang yang berdiri terlalu dekat di antara ketakutan dan kepercayaan.

Malam itu, aku duduk di balkon kamar, menatap langit.

Hujan belum turun, tapi awan menumpuk berat.

Telapak tanganku masih terasa hangat, seperti ada sesuatu yang menunggu keluar.

Aku menatap langit dan berbisik,

“Kalau benar aku Penjaga Gerbang Waktu… apa yang harus kujaga? Masa lalu? Masa depan? Atau seseorang di antaranya?”

Dan di kejauhan, aku bisa melihat cahaya biru kecil menari di langit, seolah menjawab pertanyaanku.

Aku tahu, mulai malam ini, hidupku tidak lagi tentang bertahan —

tapi tentang menghadapi sihir yang terlarang,

dan rahasia yang mungkin akan membuka semua gerbang yang seharusnya tetap tertutup.

1
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
Aixaming
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!